Jauh sebelum Pemkab Bojonegoro mengusulkan wilayahnya menjadi kawasan Geopark Dunia (2024), potensi Geopark Bojonegoro ternyata sudah disinggung para leluhur pada sejumlah prasasti sejak ribuan tahun silam.
Sesuai Perpres Nomor 9 tahun 2019 tentang Pengembangan Geopark, dan Permen ESDM nomor 31 tahun 2021 tentang penetapan Geopark Nasional; Geopark dimaknai sebagai sebuah wilayah geografi, yang memiliki Situs Warisan Geologi (Geosite) dan bentang alam bernilai tinggi.
Di dalam kawasan Geopark, terdapat kesatuan aspek. Di antaranya; Warisan Geologi (Geoheritage), Keanekaragaman Hayati (Biodiversity), serta Keragaman Budaya (Cultural Diversity), yang dikelola untuk keperluan konservasi, edukasi, dan pembangunan perekonomian secara berkelanjutan.
Dengan ketentuan di atas, Bojonegoro tentu memiliki sejumlah unsur tersebut. Bahkan, tiga unsur penyusun Geopark Bojonegoro itu, sudah disinggung para leluhur sejak ribuan tahun silam, melalui gurat-gurat di atas prasasti.
Warisan Geologi (Geoheritage)
Kondisi pertambangan minyak dan gas (Migas) di wilayah Bojonegoro sudah disinggung para leluhur sejak lama. Ada sejumlah prasasti yang mencatat kondisi bentang alam Bojonegoro. Di antara yang fokus membahas Geoheritage, adalah Prasasti Telang (903 M).
Dalam Prasasti Telang dikeluarkan pada zaman Medang Kuno, tepatnya pada baris ke-8 lempeng b Prasasti Telang, terdapat teks dan kalimat yang secara tegas menyebut pengolahan potensi geologi di wilayah bantaran Sungai Bengawan. Prasasti dirilis Dyah Balitung (898 – 910 M) itu, jadi bukti bahwa apa yang saat ini dilihat, tak lepas dari peran luhur para pendahulu.
… garam. wě°as. paḍat. lṅa. wsi wsi. tamwaga gaṅsa ityewamādi saprakāra niŋ du°al pinikul kalima bantal iŋ satuhān pikupikulananya. tluŋ tuhān °iŋ sasīma. yāpu°an lwiḥ saṅka […].
Artinya: garam, beras, paḍat, minyak bumi, sejenis benda yang dibuat dari besi, tembaga, perunggu dan sejenisnya yang dijual dipikul kalima bantal dalam satu tuhān pikulannya, tiga tuhān dalam satu sīma. Jika lebih […].
Kajian Pustaka dilakukan Institut Bumi Budaya menyebut, kata Lna (Lenga), dalam Prasasti Telang merupakan kata yang dekat dengan Bahasa Kawi (Langga), artinya: unsur cair yang merembes dari celah batuan bumi. Kondisi alam tersebut, tentu sangat identik kawasan Telang Malo. Faktanya, selain galangan perahu Bengawan, Telang Malo juga dikenal sebagai pusat transaksi lengo (minyak bumi) tradisional dari Wonocolo Kedewan.
Lenga atau Minyak Bumi adalah komoditas khas Kedewan dan Malo. Sebab, komoditas didapat dari Wonocolo Kedewan itu, banyak diperjualbelikan di sepanjang Bengawan wilayah Telang Malo. Masyarakat sekitar juga menyebut entitas itu dengan istilah Lantung.
Di sepanjang bantaran sungai Telang (Malo) hingga bantaran Sudah (Malo), banyak ditemui bermacam jenis gerabah Dinasti Tang (618 – 907 M), yang kini disimpan di Museum Panjunan Kalitidu. Penemuan gerabah Dinasti Tang ini, menjadi fakta menarik, yang memperkuat posisi Sungai Bengawan di wilayah Telang (Malo) sebagai pusat perdagangan kuno.
Faktanya, penulis Belanda bernama A. J. Van der Aa, dalam laporan bertarikh 1857 M, mencatat kondisi sungai di Telang (Malo), sebagai pusat perahu-perahu perdagangan. Di lokasi Telang, terdapat pasar perahu (terapung) yang pinggir sungainya penuh pedagang. Ini menunjukan fakta bahwa hingga akhir abad 19 M, jejak peradaban Telang Malo masih terjaga.
Selain kata Lna (lenga), identitas lain termaktub dalam kata wsi wsi (produk besi) yang sangat identik wilayah Telang Malo. Tradisi metalurgi sudah dikenal sejak lama di wilayah Pegunungan Kendeng. Khususnya di Wonocolo Kedewan hingga Telang Malo. Keberadaan Pande Besi, bahkan menjadi khazanah lokal turun temurun yang bertahan hingga saat ini.
Dalam Prasasti Telang (903 M), istilah Lna (lenga) tentu identik Telang (Malo) dan Kedewan, yang merupakan pusat geologi hingga saat ini. Faktanya, Telang (Malo) berada pada Pusat Energi, titik pertemuan antara lapisan Zona Rembang, Zona Randublatung dan Zona Kendeng (Van Bemmelen, The Geology of Indonesia, 1949).
Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
Keanekaragaman Hayati Bojonegoro juga disinggung sejak berabad-abad silam. Di antara catatan prasasti yang, secara tidak langsung, mengabarkan itu adalah Prasasti Pucangan (1041 M). Prasasti dirilis Raja Airlangga itu, mendeskripsikan kemegahan Taman Pugawat di puncak Pegunungan Kendeng (Pandan).
Deskripsi terkait kondisi alam itu, terdapat dalam bait ke 31 – 33 bagian Sanskerta. Di mana, disinggung kemegahan Gunung Pugawat yang tak kalah dari Taman Dewa Indra. Masyarakat pun pergi ke sana dengan mata gemetar takjub akan keindahannya.
Bait 33 Pucangan Sanskerta:
“Mendengar pertapaan kerajaan (Pugawat) yang tiada tara ini, yang tidak kalah dengan taman Dewa Indra, tak henti-hentinya masyarakat berlomba-lomba untuk pergi ke sana dan menatap dengan mata gemetar takjub [… ]
Faktanya, seorang peneliti Belanda bernama Roorda Eysinga, pada 1857 telah membuat laporan tentang kondisi alam di Puncak Pegunungan Kendeng (Pandan). Ia mencatat, puncak Pandan dipenuhi arca brahmana lengkap beserta patung raksasa yang dikelilingi tanaman pohon jambe (pinang).
Sayangnya, pada 1882, bermacam bukti akan keindahan panorama hayati beserta kemegahan taman pendhermaan itu, hilang karena ditenggelamkan oknum zaman. Seperti dicatat dalam laporan Archeologisch Onderzoek op Java en Madoera, 1910.
Keragaman Budaya (Cultural Diversity)
Bojonegoro yang dulu bernama Jipang, dikenal sebagai pusat peradaban sepuh, yang kaya akan kebudayaan luhur. Besarnya kebudayaan di Bojonegoro, dicatat sejumlah prasasti sejak lama. Di antaranya Prasasti Maribong (1246 M), dan Prasasti Adan-adan (1301 M).
Tamahastawanabhinnasrantalokapalaka. kumonaken irikang wanwa i maribong watek atagan jipang”. (baris ke-5 Prasasti Maribong).
Dalam Prasasti Maribong, tepat di baris ke-5, menerangkan bahwa Maribong yang semula bawahan Jipang, dinobatkan menjadi tanah simaswatantra oleh Raja Wisnuwardhana. Penobatan ini, disinyalir berhubungan dengan para Brahmana setempat yang telah membantu kakek Wisnuwardhana (Ken Anggrok) dalam menyatukan Jawa (Jenggala dan Panjalu).
Maribong dan Jipang, jelas menggambarkan wilayah Bojonegoro yang hingga kini pun masih ada. Sementara penobatan tanah simaswatantra, tentu berhubungan dengan adanya kantung peradaban beserta seperangkat nilai budaya yang dipeluk masyarakat di dalamnya.
Sementara dalam Prasasti Adan-adan (1301 M), secara jelas mengabarkan kondisi bukit Kendeng (Kedewan hingga Singgahan). Prasasti dirilis Raja Pertama Majapahit, Dyah Wijaya itu, menyebut keberadaan bermacam entitas pekerjaan beserta lembaga pendidikan kuno yang dikenal dengan istilah Bramosori. Di sana juga menyebut sebuah wilayah bernama Singgahan.
Terlebih, disebut pula keberadaan Wikhu dan Rsi yang menjaga nilai-nilai budaya luhur di wilayah Kendeng. Bahkan, dalam prasasti itu juga menyebut jelas bahwa sang raja telah menghadiahi sosok bernama Sri Paduka Rajarsi, pemimpin para Rsi di wilayah Kendeng, dengan hadiah sebuah wilayah bernama Adan-adan.
Faktanya, bukit Kendeng, yang membentang dari Kedewan hingga Singgahan, dikenal sebagai titik peradaban kuno. Tak hanya dikenal, bahkan hingga kini, masih tersisa jejak Peninggalan Para Rsi. Sayangnya, sejak 1931, besarnya jejak peradaban Para Rsi itu ditutup istilah Makam Kalang (Ind. Courant th. 1931).
Bojonegoro, secara historis, dicatat prasasti secara urut. Selain Prasasti Telang, Pucangan, Maribong, dan Adan-adan, masih ada banyak prasasti era Medang Kuno lain di Bojonegoro yang belum sempat diteliti mendalam.
Belum termasuk prasasti yang muncul lebih barusan seperti Prasasti Canggu (1358 M), Prasasti Sekar (1365 M), dan Prasasti Pamintihan (1473 M). Semua Prasasti itu, bercerita peradaban, nilai luhur, hingga konsep kebudayaan yang pernah ada di Jipang (Bojonegoro).
Meski sempat diklaim kota lain, prasasti-prasasti di atas, isinya justru menyebut dan menceritakan kondisi alam Kendeng dan Bengawan — dua entitas pagar alam Jipang (Bojonegoro dan sekitarnya). Meski tangan zaman berupaya melakukan pengubahan dan revisi, esensi prasasti selalu jujur dan tak pernah bisa dimanipulasi.
Dari data di atas bisa disimpulkan bahwa; baik dari elemen Geoheritage, Biodiversity, hingga Cultural Diversity, semua pernah terjadi di Bojonegoro. Dan semua terpahat rapi di Telang (903 M), Pucangan (1041 M), Maribong (1248 M), hingga Adan-adan (1301 M).
Geopark Bojonegoro memang sudah dibahas sejak ribuan tahun silam. Sekitar 1121 tahun sebelum Pemkab Bojonegoro mengusulkan wilayahnya menjadi bagian dari Geopark Dunia, leluhur telah mengawalinya. Ini jika dihitung dari eksistensi Prasasti Telang (903 M).
Dalam kaidah Lna (lenga), terdapat semiotika yang cukup menarik. Bahwa disembunyikan seperti apapun, minyak bumi akan tercium. Ditenggelamkan seperti apapun, minyak bumi akan selalu bisa mengapung di atas air. Begitupun fakta kejayaan dan kebesaran para leluhur.