Dari lagu keramat berjudul Boulevard of Broken Dreams, kita belajar bahwa kesepian dan kesendirian adalah produk dialektika antara diri sendiri dan diri dengan sekitar.
Awal bulan ini, perbincangan tentang Green Day sempat ramai di kalangan warganet. Faktor utama adalah judul lagu Green Day: Wake Me Up when September Ends. Sebuah lagu sedih tentang seorang anak yang kehilangan ayahnya.
Sebenarnya ini tren yang biasa di media sosial. Sebagaimana bulan Juni ramai membincangkan sajak Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono, Guns n Roses di bulan November dengan November Rain, dan Linkin Park di bulan Desember dengan This is My December. Tema paten tahunan.
Kembali ke Green Day. Jika harus menyebut satu lagu favorit dari Green Day, Boulevard of Broken Dreams adalah jawabanku. Lagu yang dirilis tahun 2004, beberapa bulan setelah aku lulus SMA. Sebuah lagu tentang kesepian dan kesendirian seseorang yang kehilangan mimpi-mimpinya.
Dunia ideal, sepertinya, hanya ada di mimpi dan cita. Di mana tidak ada mimpi dan cita-cita yang berisi keburukan dan kegagalan. Dunia nyata adalah antitesisnya: kegagalan dan keberhasilan berada pada probabilitas yang sama. Dunia nyata adalah koreksi dan penyesuaian; penerimaan dan penolakan.
Boulevard of Broken Dreams. Jalan bagi orang yang mimpinya hancur. Green Day menggambarkan orang yang hancur mimpinya sebagai orang yang berjalan di sebuah jalan besar dan merasa kesepian dan kesendirian. Kesendirian dan kesepian itu kondisi diri, bukan kondisi sekitar: sepi dan sendiri di tengah keramaian.
Begitu sepi dan sendiri, seolah-olah hanya bayangan diri yang berada di belakang diri. My shadow’s the only one that walks beside me. Bayangan yang selalu mengikuti bisa jadi sebuah metafor: bayang-bayang kegagalan di masa lalu adalah ‘hantu’ yang selalu menjadi sebab untuk mengambil langkah dan bangkit.
Kesendirian dan kesunyian adalah hasil dialektika dalam diri sendiri yang belum tuntas. Belum menemukan jawaban ke mana harus mengarah. I walk a lonely road, the only one that I have ever known, Don’t know where it goes, But it’s home to me, and I walk alone.
Kondisi sepi dan sendiri sebagaimana di atas akan makin buruk jika tidak ada orang dekat, keluarga, atau teman yang mendekat dan menemani. “Hal yang paling menakutkan bukanlah merasa sendiri, akan tetapi dikelilingi oleh orang yang membuatmu merasa sendiri,” tulis warganet di kolom komentar YouTube. Sometimes I wish someone out there will find me.
Peribahasa ini tampaknya sangat tidak mengenakkan: kesuksesan memiliki banyak orang tua, sementara kegagalan adalah yatim piatu. Saat berhasil banyak yang mendekat, dan mendaku dekat-erat-hangat. Sebaliknya, saat gagal, satu-persatu menjauh dan tidak mau mendaku.
Sebagaimana kebanyakan kita, lebih bersemangat dalam berbagi kebahagiaan dan kesuksesan. Sebaliknya menutup rapat kegagalan dan kesedihan. Kondisi yang terakhir itu meminta kita semua untuk melatih kepedulian dengan sesama.
Kesepian dan kesendirian, dengan demikian adalah produk dialektika antara diri dengan diri, juga antara diri dengan sekitar. Mungkin ini penting kita ingat kembali: orang-orang terdekat kita, lebih membutuhkan kita saat sedang gagal, sepi, dan sendiri.