Catatan selintas tentang Ibadah Haji.
“OH! Bukankah hari ini, para calon haji di Makkah sedang bersiap-siap untuk memulai pelaksanaan ibadah haji!”
Demikian gumam bibir saya, dini hari tadi, ketika menyadari bahwa hari ini, di Makkah, adalah Hari Tarwiyah. Segera, benak saya pun “melayang-layang”. Ya, “melayang-layang” jauh, menuju kota Makkah al-Mukkarramah. “Melayang-layang” demikian karena teringat perjalanan seroang Rasul yang erat kaitannya dengan ibadah haji di Kota Suci itu: Nabi Ibrahim a.s.
Lo, memang ada kaitannya antara Hari Tarwiyah dengan Nabi Ibrahim a.s.?
Perlu dikemukakan, dalam bahasa Arab, tarwiyyah secara harfiah berarti “menyiapkan air” untuk dibawa ke Arafah dalam rangka naik haji. Dulu kala, di Arafah tidak terdapat persediaan air. Tidak seperti dewasa ini. Karena itu, para calon haji, pada hari ke-8 Dzulhijjah, pun “menyiapkan air”. Selain arti “menyiapkan air”, tarwiyyah juga mempunyai arti lain. Yaitu “berpikir atau merenung”. Karena itu, hari Tarwiyah juga disebut sebagai “hari untuk merenung dan berpikir”. Penamaan yang demikian itu erat kaitannya dengan kisah Nabi Ibrahim a.s. yang diperintahkan Allah Swt. untuk mengorbankan putranya, Ismail a.s. melalui mimpi. Mimpi itu terjadi pada malam delapan Dzulhijjah.
Nah, bermimpi demikian, Nabi Ibrahim a.s. pun merasa ragu tentang kebenaran mimpinya tersebut: apakah mimpi itu benar berasal dari Allah Swt., sehingga menjadi perintah yang harus dilaksanakan. Atau mimpi itu hanya berasal dari setan untuk mengganggunya. Ternyata, pada malam berikutnya, sang Nabi kembali mengalami mimpi serupa.
Mulailah timbul keyakinan dalam hati beliau bahwa perintah tersebut benar berasal dari Allah Swt. Namun, sang Nabi belum melaksanakan perintah dalam mimpinya tersebut. Malam berikutnya lagi, beliau kembali mengalami mimpi serupa. Karena mimpi ini telah tiga kali terjadi, maka esoknya (siang hari tanggal 10 Dzulhijjah) Nabi Ibrahim a.s. memutuskan untuk melaksanakan mimpi tersebut setelah terlebih dahulu berdiskusi dengan putranya, Ismail, dan istrinya, Hajar.
Keraguan dan kegoncangan hati yang dialami Nabi Ibrahim a.s. tersebut dapat dimengerti dan dipahami. Betapa tidak, Nabi Ibrahim a.s. diperintahkan untuk menyembelih putranya sendiri, seorang putra yang cukup lama diharapkan kehadirannya.
Berkaitan dengan kejadian yang membuat Nabi Ibrahim a.s. mengalami pergolakan batin yang luar biasa tersebut, Dr. Ali Shariati memaparkannya dengan indah dalam sebuah bukunya berjudul Hajj:
“Kini, Ismail, anak lelaki itu, tumbuh bagaikan sebatang pohon kekar. Ia mendatangkan kecerahan dan kebahagiaan dalam hidup Ibrahim. Ia adalah harapan, cinta, dan putra ayahnya. Namun, tidak diduga, wahyu Allah turun, ‘Ibrahim! Letakkanlah pisau ke leher putramu. Dan, dengan tanganmu sendiri, sembelihlah ia!’
Betapa sulit dibayangkan, bagaimana kegoncangan jiwa Ibrahim ketika menerima wahyu itu. Kita tidak akan kuasa merasakan kegoncangan itu, meski andai kala itu kita bersama Ibrahim. Duka hatinya tak tertanggungkan dan terbayangkan. Begitu menerima wahyu itu, Ibrahim, hamba Allah yang paling patuh dan tokoh pemberontak yang paling terkenal dalam sejarah, gemetar dan goyah. Seakan hendak roboh. Seakan tokoh sejarah yang tak terkalahkan itu sedang mengalami kehancuran. Batinnya sangat goncang begitu menerima wahyu itu. Namun, wahyu itu adalah perintah Allah!
Peperangan terbesar adalah perang melawan diri sendiri. Kini, ksatria yang tampill sebagai pemenang dalam peperangan terbesar itu menjadi goncang, lemah, takut, termangu, dan putus asa. Ibrahim mengalami konflik dalam batinnya. Siapakah yang lebih ia sayangi: Allah atau Ismail? Inilah keputusan yang sangat sulit diambil. Dan engkau, siapakah yang lebih engkau sayangi: Allah atau dirimu sendiri? Keuntungan atau nilai? Ketergantungan atau kemerdekaan? Politik atau kenyataan? Berhenti atau terus berjalan? Kesenangan atau kesempurnaan diri? Menikmati hidup atau menanggung derita tanggung jawab? Hidup untuk hidup itu sendiri atau hidup untuk tujuannya? Kedamaian dan cinta atau keyakinan dan perjuangan? Mengikuti karaktermu yang asli atau kehendakmu yang sadar? Mengabdi pada perasaanmu sendiri atau mengabdi pada keyakinanmu? Menjadi seorang ayah atau melaksanakan perintah Allah? Mementingkan hal yang relatif atau melaksanakan perintah Allah? Dan, terakhir, siapakah yang engkau pilih: Allah atau Ismail? Wahai Ibrahim, pilihlah salah satu di antara keduanya!”
Ternyata, pergolakan pikiran luar biasa Nabi Ibrahim a.s. tersebut “terbaca” oleh putranya, Ismail. Ia pun menenangkan ayahnya dan berucap, “Ayah. Patuhilah Allah. Janganlah ragu untuk melaksanakan perintah-Nya. Nanti akan engkau ketahui, sejatinya aku pun patuh kepada-Nya dan Insya Allah kuasa menanggungkannya.”
Selepas ayah dan anak itu sepakat untuk melaksanakan penyembelihan, mereka kemudian berjalan menuju sebuah bukit batu yang kemudian disebut Bukit Kurban. Dalam perjalanan, Iblis menggoda dan membujuk keduanya agar penyembelihan itu tidak dilaksanakan. Mereka berdua tidak tergoda. Malah, mereka kemudian melempar Iblis dengan batu kerikil supaya menghentikan godaannya. Namun, Iblis tetap mengejar mereka dan kembali membujuk agar niat mereka diurungkan. Namun, keduanya tetap berbulat tekad untuk melaksanakannya. Kembali mereka mangusir dan melempar Iblis.
Kisah dan teladan hidup yang sangat indah. Tak aneh jika jejak sejarah yang ditinggalkan Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya tersebut kemudian dikukuhkan Rasulullah Saw. dalam sebagian ritus-ritus ibadah haji yang merupakan napak tilas perjalanan hidup Nabi Ibrahim a.s., istrinya, Hajar, dan putranya, Nabi Ismail a.s.
Semoga kita dapat meneladani jejak langkah Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya tersebut. Kiranya demikian!