Pagi hari Hatta menempuh pendidikan di sekolah Belanda. Sementara petang harinya, selepas Magrib tiba, Hatta memperoleh pendidikan agama.
Angin politik di Parlemen Belanda bergeser seiring kemenangan kelompok liberal. Akibatnya desakan agar pemerintah Belanda memperhatikan nasib pribumi Hindia Belanda mengemuka.
Pemerintah Belanda didesak untuk memperbaiki kondisi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan penduduk pribumi Hindia Belanda atas nama balas budi. Lahirlah kemudian Politik Etis.
Satu di antara bagian dari Politik Etis adalah didirikannya sekolah di Hindia Belanda. Sampai paruh kedua abad ke-19 tiada sekolah yang didirikan untuk pribumi. Meski dapat dipahami, pendirian sekolah oleh Belanda adalah untuk mengisi jabatan di perusahaan dan birokrasi pemerintah Belanda. Efek samping yang ditakuti Belanda, dari adanya sekolah adalah lahirnya kesadaran kebangsaan.
Sekolah-sekolah Belanda didirikan dengan dua corak utama: elitis dan dualitis. Elitis karena sekolah yang didirikan Belanda menggunakan bias strata sosial. Sekolah berbahasa Belanda hanya diperuntukkan untuk anak-anak Belanda, priyayi, atau anak saudagar. Pribumi bawah tentu terbatas aksesnya terhadap sekolah ini.
Sekolah buatan Belanda bercorak dualitis karena netral terhadap agama. Sekolah-sekolah ini tidak menjadikan agama sebagai pelajaran. Didikan agama tidak ada di sekolah-sekolah Belanda ini.
Di sisi lain, kedatangan pribumi dari berhadi di Makkah (biasanya diikuti bermukim beberapa waktu untuk menimba ilmu), memunculkan lembaga pendidikan keagamaan berbasis surau, langgar, dan pondok. Lembaga pendidikan ini hanya engajarakan agama tanpa pengetahuan umum.
Begitu gambaran singkat pendidikan Indonesia di awal abad ke-20. Dualisme lembaga pendidikan modern dan keagamaan yang berbeda arah dan orientasi.
Bung Hatta termasuk yang mendapat kesempatan dan akses pendidikan yang baik. Posisi dan nama Kakeknya memudahkan Hatta untuk masuk sekolah Belanda baik ELS (SD), MULO (SMP), maupun PHS (SMA/K) di Jakarta. Di pagi hari Hatta menempuh pendidikan di sekolah Belanda ini.
Petang harinya, selepas Magrib Hatta memperoleh pendidikan agama dari surau. Di dekat rumah kakeknya Bukittinggi, terdapat surau terkenal milik Syekh Djamil Djambek. Di surau inilah Hatta memperoleh pendidikan agama.
“Dasar didikan agama adalah mengaji dengan berlagu,” kenang Hatta. Di sini terasa sekali olehku suatu kelemahanku. Aku cepat belajar mengetahui huruf Arab, cepat pandai membaca Juz Amma, yang diajarkan dengan menghafalkan sekali, tetapi mengaji berlagu aku tak pandai,” tulis Hatta di otobiografinya. Bung Hatta juga belajar fikih, tafsir, dan nahwu.
Gemala, putri kedua Hatta, menyanjung tulisan Arab Bung Hatta rapi, indah, dan bagus. “Saya selalu melihat tulisan Arab yang Ayah goreskan di buku untuh dicontoh selalu rapi tanpa salah (setipan). Saat Ayah mengajari saya mengaji, saya kagum dengan keindahan tulisan Ayah,” kenang Gemala.
Kawan-kawan kecil Hatta di Bukittingi, kebanyakan hanya mengaji di surau dan tidak bersekolah. Pagi dan siang hari kawan-kawan Hatta membantu orang tuanya bekerja di sawah. “Buat apa sekolah. Sekolah itu kan bikinan Belanda untuk menjinakkan kita, lebih baik dijauhi saja. Asal kita rajin mengaji pengetahuan kita tak kalah dengan mereka yang bersekolah.” Begitu alasan mereka.
Setelah pindah sekolah di Padang, pelajaran agama Bung Hatta sempat teehenti. Baru saat di MULO Padang, Bung Hatta menerima lelajaran agama dari Haji Abdullah Ahmad.
Haji Abdullah Ahmad dan juga Syaikh Djamil Djambek dikenal sebagi tokoh pembawa gagasan modernisme Islam. “Mereka mencoba menanam paham yang rasional dalam ajaran Islam,” tulis Bung Hatta dalam Untuk Negeriku. Modernisme Islam bagi Hatta adalah pilihan yang wajar, ungkap Schulte Nordholt.
Didikan agama yang diperoleh Hatta di surau dan sekolah, juga diperoleh dari didikan keluarga. Keluarga Bukittinggi begitu disiplin dalam mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Didikan agama yang sangat membekas diperoleh dari keluarga Batuhampar terutama dari Ayah Gaek Rasjid pamannya.
Pokok ajaran Islam perihal tauhid yang diajarkan pamannya menjadi perkara agama yang begitu membekas dalam jiwa Hatta. “Tidak ada tempat takut, hanya Allah. Orang Islam yang berjalan di atas jalan Allah tidak perlu gentar, tidak perlu takut, sekalipun berada seorang diri. Alla senantiasa di sisinya.”
Dua jalur didikan yang diperoleh Hatta itu menjadi pangkal kepribadiannya. Sjahrir mengenang Hatta sebagai puncak seorang intelektual Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat sekaligus seorang konservatif dalam agama.
Ungkapan senada diutarakan Deliar Noer, bahwa Hatta adalah wujud seorang dari perpaduan antara kesadaran agama dan tradisi dengan pemikiran modern Barat.
Demikian didikan yang dileroleh Hatta membentuk keseluruhan kepribadiannya baik dalam ucapan dan laku. Laku dan ucapannya senantiasa sejalan. Kepribadian Hatta yang diinsafi ajaran agama nampak dalam perilakunya.
Selama di Belanda Hatta tidak pernah main perempuan, salat dan puasa Ramadan selalu terjaga, dan tidak minum bir. Ada kejadian lucu, saat teman-teman Hatta memesan bir, Hatta memesan es dingin. Teman-teman Hatta menertawai karena harga segelas es dingin lebih mahal dari segelas bir.
Begitu pun, Hatta terkenal pribadi yang jujur, disiplin, teguh pendirian, dan tawakkal menerima pahit-getir perjuangan. Hatta adalah cermin negarawan moralis yang tiada banding, kenang Buya Syafi’i Ma’arif.
Wujud keagamaan Hatta tampak bagaikan garam yang tak berwarna mencolok tetapi memberi pengaruh dan rasa bagi orang lain. Tidak seperti gincu yang warnanya mencolok tetapi rasanya hambar. Beragama lebih kepada isi bukan tampilan fisik luar.