Sore itu adalah Sabtu yang tak akan pernah kamu lupakan. Ponselmu berdering setelah beberapa saat diam saja tergeletak di atas kasur. Sebuah pesan di aplikasi WhatsApp, dari orang yang begitu istimewa, “aku di Bojonegoro.”
Tiga kata itu saja bisa mengubah mood-mu sepanjang hari. Seketika kamu bersiap menemuinya. Ini memang bukan kali pertama kalian bertemu, ternyata ketiga kalinya, dan hatimu masih berdebar-debar.
Sebisa mungkin kamu bersikap biasa. Sebiasa mungkin. Setelah mandi, mengenakan atasan berwarna biru muda dan celana kaos berwarna biru tua, kamu memacu motormu ke jalanan di Jalan Panglima Sudirman.
Kenapa tidak di Panglima Polim saja? Karena kamu ingin semuanya berjalan diam-diam. Segala di antara kalian, dirimu dan laki-laki berambut sebahu itu, berjalan diam-diam.
Dia, laki-laki berambut sebahu itu, duduk menghadap timur, di halaman sebuah mini market. Dia membaca sebuah buku, Junot Diaz, kalau kamu tidak salah ingat. Kamu berjalan perlahan, sembari menamatkan laki-laki yang sedang sibuk dengan bukunya itu.
Ia meminum minuman kaleng yang ia beli. Tangan kirinya sibuk memegang rokok surya pro berwarna merah. Kenapa kamu hafal semua ini?
Menyingkirkan gugupmu, kamu melangkahkan kaki sedikit lebih cepat, menutup paksa bukunya dan bercanda, lalu menyodorkan tanganmu untuk berjabat tangan.
“Udah lama?”
“Dari jam 3 tadi.”
“Kenapa baru ngabarin jam 4?”
“Pengen baca buku dulu.”
Agar lebih leluasa bicara, kamu mengajaknya menggeser tempat ke sebuah warung kopi. Kamu memilih satu tempat yang dekat saja, karena jalanan di hari sabtu lebih macet dari hari-hari biasanya.
Kalian memilih untuk singgah ke Warung Kopi Satron dan membiarkan motor kalian berdiam di halaman mini market tersebut. Warung Kopi Satron belum begitu ramai, tapi segera akan ramai.
Muda-mudi akan datang bermalam minggu. Berdiskusi, berkencan, atau hanya ngobrol dengan teman-teman.
“Kopi hitam dan milo hangat,” katamu pada pramusaji di sana.
Warung kopi itu tak menyediakan cemilan. Sama sekali tak ada kentang goreng, atau sekadar sosis goreng untuk mengganjal perut.
“Kamu udah makan?”
“Udah tadi waktu mau berangkat.”
Baiklah. Dia tidak lapar. Kamu yang semula berniat mengajaknya pindah tempat, kemudian mengurungkan niat itu.
Di warung kopi itu kamu duduk menghadap barat, sedang dia di sebelah barat, duduk menghadapmu. Kamu benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa senangmu. Seperti anjing yang berlarian, menggoyang-goyangkan ekor, dan berisik jika tuannya datang. Sebuah kerinduan panjang yang tertebus.
Kalian dengan asyiknya mengobrol tentang apa saja. Tidak, kamu dengan kesedian membuka telinga lebar-lebar, mendengar semua cerita-ceritanya, dan ia juga seperti tak lelahnya mengoceh tentang apa saja hingga tak terasa jam menunjukkan pukul 23.00.
Malam begitu cepatnya habis, kalian diam-diam tak menginginkan pertemuan itu segera berakhir. Tapi seketika dia berlari, mengundang tanyamu. Kamu lupa bahwa kamu masih memarkir motor di halaman mini market, dan satu pramuniaga di mini market tersebut harus menunggui motor kalian dengan mukanya yang sudah kelelahan.
“Maaf ya, Mas.”
“Iya, nggak apa. Lain kali di parkir di warung kopi saja.”
“Iya, Mas. Maaf, ya.”
Kalian berdua tertawa, menertawakan keteledoran kalian.
Di atas, kamu lihat bulan nampak penuh. Matanya purnama yang menyempurnakan malammu.
Diam-diam kamu ingin sekali membungkus kebahagiaan malam itu dengan puisi, tapi segera dia membuka resleting tasnya dan menyodorkan sebuah buku padamu. Tentang Cinta karangan Allain de Botton.
“Aku cari versi baru tapi nggak nemu. Ini buku favoritku. Buatmu, tapi kalau kamu nggak suka, nggak akan kamu baca, kembalikan saja ke aku.” Katanya sembari menyodorkan buku bersampul biru muda, dengan gambar awan dan jendela dan lambang hati.
Kamu menerima buku itu dengan bahagia. Sangat-sangat bahagia, tapi menyadari perpisahan akan segera terjadi, mood-mu seketika berubah. Dalam perpisahan malam itu, kamu menjabat tangannya lebih lama. Tentu itu diperbolehkan. Dia juga pernah menjabat tanganmu lebih lama sebelumnya.
Yang begitu menyedihkan dari sebuah kebahagiaan adalah ketika ia akhirnya menemui ujung. Seketika kamu merasa sudah kehilangan banyak hal, padahal tak satu pun jadi milikmu.
Hari ini kamu berjalan kembali, memarkirkan motormu di mini market yang sama, yang sedang bermasalah dengan perijinan. Kamu datang sendirian, duduk di kursi depan setelah membeli sebotol air mineral.
“Nostalgic is denial of painful present.” Itu kalimat yang dia ucapkan setahun lalu, di sebuah cafe di kota seberang ketika kamu menghampirinya. Bukan, itu adalah kalimat yang dia kutip dari Bukowski, Penyair yang ia kagumi.
Yes, Nostalgic is denial of painful present. Nostalgia adalah penolakan terhadap kesedihan saat ini. Mengenang hari-hari indah kalian, membaca kembali teks-teks yang kalian tukar saban hari, yang ia kirimkan untuk menghiburmu di tengah malam, saat matamu menolak untuk tidur. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk bertahan menghadapi hari-hari sepimu.
Ketika bulan kembali bersinar penuh, dan ia kembali dengan lolongan panjangnya, dengan emotikon-emotikon sedih di setiap story yang ia unggah…betapa kamu membenci semua itu, tapi diam-diam merindui, mengirimkan pelukan di dalam doa.
“Mengapa cinta begitu rumitnya?”
“Jika itu sederhana, mungkin ia serupa warung makan. Orang-orang seenaknya akan singgah dan pergi begitu saja.”