Hukum sebagaimana secara umum dipahami sebagai suatu norma atau kaidah yang mengatur setiap manusia supaya tercapainya suatu keadilan.
Keadilan dalam konteks ini tentu memiliki arti yang “linier” dengan ketertiban dan keteraturan.
Hadirnya hukum sebagai norma atau kaidah menjadi semakin spesifik ketika negara memiliki peran penting dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Mengacu pada pandangan Satjipto Rahardjo, sebelum era terbentuknya negara-bangsa (era pra-negara), hukum dibentuk oleh komunitas-komunitas kecil masyarakat secara informal dan bahkan beberapa diantaranya bersifat tidak tertulis(Rahardjo, 2010).
Hukum yang terbentuk di era pra-negara, dibentuk oleh komunitas-komunitas kecil masyarakat secara informal dan bahkan beberapa diantaranya bersifat tidak tertulis inilah yang kemudian lazim disebut sebagai hukum adat (Engelenhoven, 2020).
Pada perkembangan lebih lanjut, ketika geliat membentuk negara bangsa (nation-state) menjadi semakin masif, hukum menemukan relevansinya dengan karakteristik yang positif yaitu: bersifat tertulis, dibentuk oleh pejabat yang berwenang, serta berlaku secara langsung bagi masyarakat (Suswoto, 2018).
Meski saat ini hukum di Indonesia dibentuk dengan “logika” negara bangsa (nation-state) dengan karakteristik hukum yang sifatnya tertulis dan menjamin kepastian bagi masyarakat, namun realitanya hukum yang tertulis tidak selalu linier dengan orientasi untuk mewujudkan keadilan di masyarakat.
Terdapat contoh dan berbagai kasus yang menunjukkan bahwa hadirnya “hukum yang tertulis” tidak berarti dapat menyelesaikan orientasi keadilan yang ada di masyarakat.
Bahkan, secara “lebih keras” dapat dianggap bahwa hadirnya “hukum yang tertulis” justru menimbulkan ketidakadilan model baru.
Kasus mengenai adanya hukum tertulis tetapi tidak selalu mengarahkan pada aspek keadilan dapat dilihat dalam beberapa kasus, seperti kasus Nenek Minah yang “hanya” karena mengambil kakao dari tanah perusahaan sang nenek justru harus merasakan proses peradilan pidana yang berbelit dan cenderung tidak adil (Nenek et al., 2022).
Kasus lain misalnya adalah kasus Baiq Nuril yang mana hanya karena ingin menunjukkan adanya pelecehan seksual melalui media elektronik, Baiq Nuril justru harus “berurusan” dengan hukum pidana dalam hal ini adalah UU ITE.
Kasus yang akhir-akhir ini sedang “viral” misalnya adalah kasus Rempang yang mana masyarakat “lokal” Melayu dengan tradisi dan hukum adatnya yang sudah lama mendiami Rempang justru harus “digusur” oleh proyek mega-strategis yang dicanangkan oleh pemerintah.
Tak ketinggalan, kasus yang juga sedang viral adalah kasus sianida “Jessica-Mirna” yang kembali viral setelah dibuat film dokumenter.
Sebagian contoh kasus di atas adalah contoh “kecil” dari berbagai kasus hukum yang ada di Indonesia.
Hampir semua contoh kasus di atas sejatinya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Tetapi yang menjadi masalah adalah, mengapa hadirnya peraturan perundang-undangan tetap saja menimbulkan berbagai kasus hukum, contohnya beberapa kasus yang dicontohkan di atas.
Dari uraian contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa sekalipun telah terdapat peraturan perundang-undangan namun tetap saja hukum tidak dapat berlaku secara optimal dalam mewujudkan keadilan.
Dengan mengacu pada pandangan Lawrence M. Friedman mengenai sistem hukum (legal system) dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan hanya bagian kecil dari sistem hukum (Dicky Eko Prasetio, 2021).
Lawrence M. Friedman mengenai sistem hukum (legal system) berpandangan bahwa suatu sistem hukum harus terdiri dari tiga aspek, yaitu: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum (Friedman, 1975).
Substansi hukum dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tingkah laku manusia. Struktur hukum adalah aparatur penegak hukum yang melaksanakan berjalannya suatu peraturan perundang-undangan dan budaya hukum merupakan suatu perspepsi, sikap, serta orientasi dari aparatur hukum dan masyarakat dalam menjalankan suatu hukum.
Senada dengan pandangan Lawrence M. Friedman mengenai sistem hukum (legal system) di atas, problematika hukum yang menegaskan mengapa ketika suatu peraturan perundang-undangan sudah ada namun di sisi lain keadilan masih belum dapat ditegakkan nyatanya relevan jika dilihat berdasarkan tiga sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman di atas.
Hukum supaya berlangsung secara optimal dan efektif tidak hanya dapat berjalan hanya mendasarkan pada substansi hukum berupa peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga harus menjaga supaya aspekk struktur dan budaya (kultur) hukum juga berjalan beriringan untuk mewujudkan keadilan.
Tulisan ini berupaya menganalisis aspek sistem hukum (legal system) sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dalam perspektif hukum di Indonesia.
Makna Negara Hukum Indonesia
Hukum di Indonesia sejatinya memiliki relevansi dengan gagasan negara hukum yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang artinya hukum memiliki kedudukan tertinggi dalam mengatur setiap tindak tanduk masyarakat Indonesia.
Pemahaman mengenai hukum di Indonesia tentu harus dimaknai secara luas yang artinya tidak hanya sekadar peraturan perundang-undangan saja.
Suteki misalnya menggambarkan bahwa negara hukum Indonesia merupakan negara hukum dengan adanya berbagai norma atau kaidah yang berlaku secara simultan bagi masyarakat, seperti: norma hukum negara, norma kesusilaan, norma adat, norma sosial (kesopanan), serta norma agama (Suteki, 2013).
Bahkan, dalam pandangan yang lebih modern, mengacu pada gagasan Jimly Asshidiqie bahwa terdapat norma etika (ethics norm) yang eksistensi dan penerapannya harus mendapatkan perhatian dan dapat disejajarkan dengan norma-norma lainnya (Asshiddiqie, 2021).
Perkembangan adanya berbagai norma hukum di Indonesia tersebut secara singkat menegaskan bahwa hukum di Indonesia sejatinya tidak tunggal.
Hukum di Indonesia sejatinya bersifat “multilegal” dengan berbagai norma yang berlaku yang ada di masyarakat.
Jika mengacu pada gagasan sistem hukum Lawrence M. Friedman, jika substansi hukum secara umum dimaknai sebagai peraturan perundang-undangan maka hal tersebut tidak tepat karena cenderung melakukan restriktifikasi atas makna hukum di Indonesia.
Luasnya makna hukum di Indonesia membuat pemahaman mengenai substansi hukum di Indonesia harus diperluas, setidaknya bukan hanya “hukum yang tertulis”, tetapi termasuk juga “hukum tidak tertulis” yang berlaku dan eksis di masyarakat.
Pemahaman mengenai substansi hukum di Indonesia yang bersifat meluas ini juga sejatinya diamini oleh UU No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP (KUHP Baru) yang mana secara tegas KUHP Baru mengamini dan memfasilitasi adalah hukum yang hidup di masyarakat (living law) sebagai bagian dari hukum di Indonesia (Yuber Lago, Yuni Priskila Ginting, 2023).
Dengan adanya fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa substansi hukum di Indonesia sejatinya lebih luas dari gagasan substansi hukum sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, sehingga substansi hukum tidak hanya sekadar peraturan perundang-undangan saja, tetapi termasuk juga hukum yang hidup dan berlaku di masyarakat.
Pada gagasan Lawrence M. Friedman selanjutnya adalah berkaitan dengan struktur hukum.
Struktur hukum dipahami oleh Lawrence M. Friedman sebagai “pelaksana” substansi hukum yang dalam hal ini adalah aparat penegak hukum.
Pemahaman mengenai aparat penegak hukum di Indonesia juga harus dipahami secara luas, hal ini berarti yang disebut penegak hukum bukan hanya aparat hukum formal seperti Polisi, Jaksa, Satpol PP, beserta aparatur lainnya.
Dalam konteks ini, aparatur penegak hukum bersifat luas termasuk juga aparat penegak hukum yang masih eksis pada masyarakat hukum adat seperti Pecalang yang ada di Bali, Cakrabuana sebagai polisi adat Masyarakat Adat Sendi Mojokerto, serta berbagai aparatur adat yang sifatnya lokal lainnya.
Hal ini sejatinya mengindikasikan bahwa, sekalipun gagasan struktur hukum yang dikemukakan Lawrence M. Friedman lebih berorientasi pada strktur hukum formal, namun dalam konteks keindonesiaan, pemahaman mengenai struktur hukum harus dibaca secara luas termasuk aparatur penegak hukum lokal yang ada pada masyarakat hukum adat.
Aspek selanjutnya dalam sistem hukum Lawrence M. Friedman adalah terkait dengan budaya hukum.
Dalam pandangan Lawrence M. Friedman, budaya hukum atau kultur hukum sejatinya terbagi menjadi dua, yaitu budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal.
Budaya hukum internal merupakan budaya hukum yang berkembang di suatu institusi hukum sedangkan budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum yang sifatnya luas, termasuk budaya hukum masyarakat pada umumnya(Syamsudin, 2015).
Mengacu pada aspek budaya hukum ini, Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali mengidentifikasi bahwa budaya hukum merupakan “ruh” dari sistem hukum(Ali, 2017).
Bahkan, Lawrence M. Friedman berkelakar bahwa tanpa budaya hukum yang baik suatu sistem hukum tidak akan dapat berjalan secara optimal seperti halnya “ikan yang mati dalam keranjang”.
Pendapat dari Lawrence M. Friedman tersebut secara gamblang menegaskan bahwa budaya hukum merupakan aspek terpenting dari suatu sistem hukum.
Hal ini dimaksudkan bahwa dengan budaya hukum yang baik, maka substansi dan struktur hukum dapat terlaksanakan secara optimal di masyarakat.
Ketidakadilan dalam Negara Hukum Indonesia
Sebagaimana dijelaskan di awal, adanya fenomena ketidakadilan dalam proses hukum menimbulkan problematika padahal sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang telah “tegas dan jelas” mengatur mengenai sesuatu hal.
Meski begitu, tidak berarti bahwa dengan adanya peraturan perundang-undangan maka hukum “dengan sendirinya” dapat mewujudkan keadilan.
Jika ditinjau melalui teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, nyatanya ketidakadilan dapat terjadi apabila tidak terdapat konsistensi antara substansi, struktur, dan budaya hukum yang masing-masing merupakan tiga komponen dalam suatu sistem hukum.
Hal ini dapat dicontohkan bahwa dengan tegas suatu peraturan perundang-undangan (substansi hukum) mengatakan bahwa “semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum” namun hal tersebut tidak didukung oleh integritas dan profesionalitas hukum yang mumpuni maka substansi hukum yang baim tersebut hanya menjadi “macan kertas”, suatu aturan hukum yang baik namun bersifat pigoratif dan hanya menjadi jargon dan minim implementasi.
Contoh substansi hukum “semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum” namun hal tersebut tidak didukung oleh integritas dan profesionalitas hukum yang mumpuni adalah adanya kasus “Jaksa Pinangki” yang mana baiknya suatu substansi hukum tidak selalu optimal dijalankan karena adanya aparat penegak hukum yang tidak berintegritas.
Contoh lain dari kasus tersebut adalah “Kasus Sambo” yang mana substansi hukum “justru” dijadikan sarana oleh oknum aparat penegak hukum (dalam hal ini Sambo cs) untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Hal ini menegaskan bahwa, sekalipun suatu substansi hukum itu baik, namun integritas dan profesionalitas aparatur penegak hukum yang baik juga diperlukan supaya substansi hukum dapat diterapkan oleh aparat penegak hukum yang tepat.
Hal ini sejalan dengan pandangan Taverne yang menyindir lemahnya integritas dan profesionalitas aparatur penegak hukum dengan menyatakan, “Berikan aku Jaksa, Polisi, dan Hakim yang baik, niscaya dengan hukum yang buruk sekalipun akan kuwujudkan keadilan” (Rahardjo, 2007).
Problematika lain terkait pertentangan antarkomponen dalam sistem hukum juga dapat dilihat dari pertentangan antara susbtansi hukum dan budaya hukum.
Hal ini dapat dicontohkan ketika substansi hukum menyatakan bahwa, “semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum” namun tanpa budaya hukum yang baik substansi hukum tersebut hanyalah ungkapan tanpa makna dan penerapan.
Hal ini misalnya dengan mengutip pada pandangan Jimly Asshidiqie bahwa secara umum, budaya hukum di Indonesia masih terjangkit “virus” yang bernama “feodalisasi”.
Virus feodalisasi ini sejatinya merupakan salah satu peninggalan masa lalu yang belum hilang di Indonesia (Asshiddiqie, 2017).
Budaya hukum feodal ini lebih melihat siapa dan bukan apa. Dalam konteks hukum, seorang anak “pejabat” tentu diperlakukan secara berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
Hal ini bahkan terkadang menimbulkan sinisme bahwa, “semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum, tetapi siapa dulu bapaknya?”.
Fenomena di atas sejatinya semakin menunjukkan bahwa antara substansi, struktur, dan budaya hukum adalah satu kesatuan sistem hukum yang harus berjalan secara bersamaan.
Hal ini berarti, apabila satu aspek saja tidak terpenuhi maka sistem hukum tersebut akan “cacat” dan hukum tidak akan optimal dalam melayani masyarakat sehingga menimbulkan adanya ketidakadilan.