Quo Vadis Mahkamah Konstitusi? – Kalimat menohok yang dilayangkan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam penutup dissenting opinion-nya pada saat memutus perkara tentang batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Kalimat itu tidaklah sembarangan terucap, banyak kalangan dari akademisi ataupun masyarakat umum yang senada dan mempertegas pernyataan beliau (Saldi).
Maknanya, mau dibawa kemana Mahkamah Konstitusi (MK) jika sebagai institusi penegak konstitusi tertinggi malah terjebak dalam belenggu politik dan konflik kepentingan yang menyebabkan stabilitas demokrasi terguncang.
Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa pada Senin (16/10/2023), MK telah meng-geger-kan pemerhati konstitusi dengan mengabulkan gugatan terhadap permohonan No: 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Kini, ketentuan sosok capres dan cawapres tidak hanya sebatas berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Tetapi memunculkan alternatif opsi yakni dia yang pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan MK tentang batas usia capres dan cawapres kali ini membawa arus perdebatan yang ramai karena sangat erat dengan muatan politis. Setidaknya ada beberapa indikasi yang mengarah pada konklusi negatif bagi mahkamah.
Di antaranya tentang perbedaan sudut pandang antara satu perkara dengan perkara yang lain (inkonsistensi), bagaimana memaknai independensi yang selayaknya, adanya perbedaan pandangan (dissenting opinion) diantara hakim konstitusi, arus politik yang mengerucut pada dinasti politik, dan kejanggalan lainnya.
Padahal, kita tau bersama bahwa MK selama ini dalam banyak kesempatan sering menolak permohonan judicial review karena bukan kewenangan mahkamah dan mengatasnamakan open legal policy (kebebasan hukum yang terbuka bagi pembuat undang-undang).
Misalnya dalam perkara ambang batas pada pencalonan presiden (presidential threshold) yang selalu ditolak setiap kali ada permohonan masuk. Demokrasi yang sudah berjalan cukup positif secara konseptual dan implementatif di negara ini harus dijaga bersama.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yudikatif harus mampu memilah dan meletakkan pondasi-pondasi konstitusi negara sesuai tempatnya. Jangan biarkan praktik juristocracy atau judicial policy making (lembaga peradilan yang memainkan peran dalam membuat kebijakan) menenggelamkan konsep ideal dari demokrasi. MK wajib hukumnya untuk tetap menjadi penjaga konstitusi, bukan menjaga kepentingan politik.
Inkonsistensi Mahkamah Konstitusi Kelembagaan MK kembali dipertanyakan oleh banyak kalangan, pasca putusan yang cukup menggemparkan beberapa hari yang lalu. Putusan MK tersebut secara tidak langsung telah mempertontonkan perubahan pandangan secara drastis wal sekejap kepada rakyat Indonesia.
Padahal dalam kesempatan dan hari yang sama, mereka telah memutuskan 3 perkara yang pada pokonya relatif sama yaitu tentang permohonan perubahan pasal 169 huruf q tentang batas usia capres-cawapres pada UU Pemilu.
Penolakan terhadap permohonan perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan PSI beserta 4 pemohon perseorangan, nomor 51/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan Partai Garuda, dan nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Erman Safar dkk sebenarnya mampu membawa angin segar terhadap kepastian dan tegaknya konstitusi.
Namun hanya berselang beberapa saat MK kemudian mengabulkan satu permohonan yang dilayangkan oleh mahasiswa UNS yang terkesan sangat debateble. Tidak konsistennya jalan dan cara berfikir mahkamah dapat mengartikan bahwa dalam tubuh institusi ini sudah menurunkan kadar kewibawaan juga marwahnya sendiri.
Pokok-pokok permasalahan yang membuat MK terkesan inkonsisten (tidak tegak lurus) terhadap fungsi dan tanggung-jawabnya sebagai penegak keadilan konstitusi negara dalam hal ini berkaitan erat dengan aspek open legal policy, legal standing, elected officials yang mengubah Paradigma Hakim dan penerimaan kembali pasca permohonan ditarik.
Pertama, 3 (tiga) putusan MK sebelumnya (Putusan Nomor 29, 51 dan 55 tahun 2023) dengan tegas menyatakan bahwa pengaturan tentang batas usia capres dan cawapres adalah murni menjadi domain pembentuk undang-undang, artinya mahkamah menganggap dirinya tidak berwenang mencampuri perkara yang menjadi kebebasan bagi pembuat undang-undang untuk menetapkan aturan khususnya atau biasa disebut sebagai open legal policy.
Dari yang semula beranggapan sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian secara sekejap berpindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan “mengabulkan sebagian” Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sehingga artinya perkara batas usia capres dan cawapres ini termasuk kewenangan MK, meskipun konsep demokrasi tidak mengindahkan kondisi tersebut.
Kenyataan ini sebenarnya menjurus ke arah ikut campurnya ranah yudikatif dalam pembentukan undang-undang (juristokrasi).
Kedua, legal standing pemohon yang mengajukan judicial review dalam perkara tersebut terasa agak dipaksakan.
Betapa tidak, kepentingan hukum yang dirugikan dari pemohon hanya sebatas “kekaguman” pada satu sosok pemuda yang dianggap inspiratif dan diidolakan yang berpotensi dirugikan jika peraturan tentang batas usia capres dan cawapres tidak direvisi.
Bahkan, dalam permohonan tersebut juga mencatut dengan lugas nama salah satu pemimpin daerah di jawa tengah yang kini tengah santer dibicarakan dalam kontestasi politik nasional. Apabila kita mau menelisik lebih jauh makna legal standing, maka tentunya dapat dipahami bahwa legal standing dimaksudkan untuk kondisi seseorang/ pihak terkait ditentukan secara legal mempunyai hak mengajukan perkara.
Hak yang dirugikan yang timbul dari permohonan ini sungguh sederhana,. Seharusnya mahkamah mampu memilah lebih jernih lagi siapa saja yang secara hukum dapat mengajukan dan siapa yang tidak diterima permohonannya.
Ketigat, elected officials yang mengubah Paradigma Hakim dalam amar Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang mencengangkan ini diputus oleh sembilan hakim konstitusi secara tidak mutlak.
Hal ini menandakan bahwa di dalam mahkamah sendiri terjadi pergejolakan yang serius, tidak hanya mencakup pertentangan dalil sebagaimana lumrahnya melainkan ada ekspresi “kemarahan” jika mengutip bahasa yang dilontarkan oleh Zaenal Arifin Mochtar (Pakar Hukum Tata Negara UGM) pada selasa (17/10/2023).
Fakta ini didukung dengan hanya lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian”. Meskipun diantaranya tiga Hakim Konstitusi sepakat memadankan atau membuat alternatif usia 40 tahun dengan “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Sedangkan dua Hakim Konstitusi yang lain memaknai petitum Pemohon hanya sebatas “pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai gubernur”. Dua Hakim Konstitusi tersebut sejatinya juga masih bertahan pada prinsip opened legal policy dalam menentukan kriteria jabatan gubernur yang dapat disamakan.
Pilihan jabatan publik berupa elected official termasuk pemilihan kepala daerah, kelima hakim berada pada titik singgung atau titik arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” adalah jabatan gubernur bukan jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, seharusnya permohonan tertolak atau tidak terterima oleh makna “mengabulkan sebagian”.
Jika dihadapkan dengan rumusan akademiknya, maka perubahan atau penambahan terhadap persyaratan bagi capres dan cawapres mestinya ditempuh melalui mekanisme legislative review yaitu dengan merevisi UU Pemilu.
Makna Dissenting Opinion 4 Hakim Konstitusi
Pengujian tentang batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden yang terkandung dalam norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang masuk ke MK tidak hanya satu, tetapi belasan. Menurut penuturan Saldi Isra (16/10/2023) permohonan tersebut terbagi ke dua gelombang.
Perkara Nomor 29, 51, dan 55 adalah permohonan atau perkara gelombang pertama, sedangkan Perkara Nomor 90 dan 91 termasuk perkara gelombang kedua.
Putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 meskipun telah dikabulkan pada pokoknya, namun dalam prosesnya tidak satu suara.
Setidaknya terdapat 4 hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams. Sementara 2 hakim konstitusi menyampaikan concurring opinion, namun jika dilihat lebih mendalam dua hakim tersebut dalam penjelasannya lebih condong kepada dissenting opinion yaitu oleh Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh.
Kemudian 3 hakim lainnya menyetujui putusan. Pada akhirnya, keputusan dikabulkan dengan formula 5 – 4 yang menegaskan bolehnya jalan capres dan cawapres dibawah 40 tahun asalkan ber-pengalaman sebagaimana yang terdapat pada amar putusan.
Putusan terhadap Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang amarnya menolak permohonan pemohon dalam RPH dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi tanpa dihadiri Ketua MK Anwar Usman.
Delapan hakim konstitusi telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy). Sebelum ke-delapan hakim menyepakati itu, enam Hakim Konstitusi sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang.
Sedangkan dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion).
Namun menghadapi permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023, secara mendadak beberapa hakim tertarik terhadap model alternatif yang dimohonkan pada petitum Perkara tersebut.
Sayangnya mahkamah terlupa bahwa secara substansial perkara ini telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya dibacakan sendiri tidak jauh tenggang waktunya.
Perubahan signifikan tersebut membuat wacana liar semakin tak terbendung, mengingat dampak dari putusan ini tidaklah sepele. Belum lagi permohonan diterima setelah sempat ditarik kemudian diajukan kembali. Pemohon Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut.
Sehingga mengindikasikan banyak problem yang secara intitusional perlu lebih diperhatikan berhubungan dengan pencegahan terhadap kebocoran data yang sifatnya rahasia.
Pemberian Kesempatan Pemuda atau Hanya Menancapkan Dinasti Politik?
Mahkamah Konstitusi sebagai benteng konstitusi di negara ini jangan sampai terjerembab dalam pusaran politik dan conflict of interest. MK seyogyanya dapat mempertahankan independensi dan hakim-hakim konstitusi perlu menunjukkan integritasnya ketika memeriksa dan memutus perkara permohonan yang berkaitan dengan konstitusi, seperti problematika batas usia capres dan cawapres yang masih hangat hari-hari ini.
Sebenarnya kalau mau dicermati dengan seksama, putusan ini juga memiliki pengaruh positif terhadap peluang pemuda untuk berkiprah bagi negara pada tingkatan tertinggi. Dengan adanya pengalaman sebagai pemimpin daerah yang dipilih melalui elected officials baik yang telah atau sedang dalam masa kerja, maka mereka yang berkepentingan untuk melangkah maju ke kandidadisi/ pencalonan capres dan cawapres tidak lagi perlu menunggu usia 40 tahun.
Namun perlu kita telisik lebih jauh, momentum saat ini terlalu mepet jika dipaksakan adanya perubahan aturan tersebut. Meskipun tidak hanya tertuju pada satu orang saja yang berhak, akan tetapi masyarakat akan menduga-duga bahwa ini adalah bagian dari skenario yang dimainkan para pemegang kekuasaan demi melenggangkan seseorang sebagaimana isu yang berkembang akhir-akhir ini.
Semua perhatian kemudian tertuju pada walikota Solo yaitu Gibran (Anak Presiden Jokowi) karena sebelum putusan ini dibacakan tengah santer diperbincangkan akan maju menjadi bakal cawapres.
Kunci utama dalam problematika ini adalah ketegasan Bapak Presiden dan Mas Gibran, apakah mau dan berani mengambil kesempatan yang sudah terbuka ini. Namun patut diingat, resiko yang akan timbul pasti lebih jauh dari sekadar mewujdukan kemenangan.
Mengingat, potensi elektoral dan sumbangsih suara pendukung presiden Jokowi akan merapat apabila ada capres yang mampu menggandeng salah satu anak Presiden tersebut.
Perihal yang perlu diantisipasi adalah paradigma positif dan kepercayaan masyarakat terhadap presiden yang kini lebih dari 80% bisa turun drastis akibat tergerus persepsi oligarki atau dinasti politik.
Sebagai penutup tulisan ini, sebagai rakyat dan pemerhati konstitusi kita harus tetap percaya pada nilai-nilai kebaikan meskipun agak terhalang tirai kepentingan politis di tubuh lembaga yudikatif.
Harapan harus terus tumbuh, karena dengan harapan baik masyarakat akan dapat melihat mana hal yang benar dan yang salah. Oknum yang tidak mempertahankan integritas sebagai pemimpin lembaga negara bukan merupakan contoh yang baik untuk bernegara.
Pada akhirnya, kita akan menjadi saksi sejarah negara Indonesia di masa peralihan kepemimpinan ini. Antara menjadi saksi terciptanya pemimpin baru yang berintegritas dan dilakukan melalui cara-cara yang menegdepankan nilai etis ataukah jadi saksi bobroknya negara karena menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisi pribadi dan golongannya sehingga melupakan kesejahteraan masyarakat.
Penulis merupakan Dosen Hukum Fakultas Syariah dan Adab UNUGIRI