“Oh, menarik kisah silat ini.”
Demikian gumam bibir saya kemarin. Bibir saya bergumam demikian ketika saya sedang membaca kisah silat Cina yang seru. Sejak kecil, saya memang menggemari kisah-kisah silat Cina. Entah berapa puluh buku silat Cina yang telah saya lahap.
Dalam kisah silat Cina tersebut diceritakan, pesilat yang menjadi tokoh utama cerita, ternyata, berhasil menguasai ilmu persilatan tingkat tinggi karena dia memiliki “ingatan fotografis”. Dengan ingatan tersebut, tentu disertai latihan yang ketat dan keras, level ilmu silatnya pun segera melesat cepat karena kitab-kitab babon persilatan dengan mudah dia ingat lewat “ingatan fotografis” tersebut. Dan, segera pula, ia jadi “bintang pesilat”.
Lantas, apa kaitan “ingatan fotograpis” tersebut dan kemampuan bercerita?
“Deg!” Begitu gelora benak saya ketika tahu tentang “ingatan fotografis” tersebut. Entah mengapa, begitu tahu tentang “ingatan fotografis” tersebut, saya baru menyadari, ternyata saya memiliki “ingatan fotografis” yang sangat kuat. Sebagai contoh, saya masih ingat sekali gaya dan apa yang dituturkan Gus Mus ketika mengunjungi adiknya, Gus Adib di gotakan kami di Pesantren Krapyak, pada Acara Haul K.H. Munawwir pada 1975.
Lewat “ingatan fotografis” yang kuat ini pula, karena saya pernah menyusun Kamus Indonesia-Inggris-Arab setebal 700 halaman dan masih ingat puluhan ribu kosakata Arab dan Inggris yang pernah saya tulis dalam kamus tersebut, hingga kini saya dengan mudah memahami dan menikmati karya-karya dalam bahasa Arab dan Inggris. Apa pun jenis karya-karya itu.
Di sisi lain, lewat “ingatan fotografis” itulah saya dengan mudah dapat menceritakan dengan rinci tentang sosok, kota, atau perjalanan yang saya lalukan. Ini karena saya dengan mudah mampu mengingat apa yang pernah saya lihat dan dengar.
Mungkin, karena itu, ada seorang sahabat yang berkata, “Awas jika ketemu Rofi’. Dia mampu menceritakan pertemuan dia dengan kita secara rinci, meski itu telah terjadi bertahun-tahun kemudian!”
Di sisi lain, “ingatan fotografis” itu kadang membuat kepala saya pening. Rasanya, kepala saya penuh dengan “data dan cerita”. Solusinya? Saya pun kluyuran tak tentu tujuan: demi melupakan “data dan cerita” yang membikin pening kepala itu.
Namun, panjenengan tak usah kuatir jika bertemu dengan saya, nggih. Saya tahu kok etika sebagai penulis!