Jajanan pasar tak hanya jadi cemilan atau panganan teman ngopi saja. Lebih dari itu, jajanan pasar juga punya peran penting dalam menjaga budaya dan tradisi Jawa.
Senja itu bagian barat Pasar Kota Bojonegoro terlihat lengang. Aktivitas pasar di pusat kota Ledre tersebut memang tak seramai pagi hari. Banyak lapak dan kios pedagang yang sudah tutup.
Namun, ada beberapa kios yang masih tetap buka hingga sore hari. Mayoritas adalah penjual snack atau jajanan pasar.
Letak dari lapak penjual jajanan pasar tersebut berada di bagian tengah Pasar Kota Bojonegoro. Perbatasan antara area pakaian dan kebutuhan sehari-hari.
Ketika memasuki lorong yang berisi para pedagang jajanan pasar tersebut, kita akan langsung disuguhi snack, camilan dan aneka makanan kecil lainnya. Jajanan tersebut ditata berjejer sedemikian rupa agar menarik perhatian.
Karena direnteng dan ditata rapi, orang-orang kerap menggunakan istilah jajanan renteng untuk menamai snack yang dijejer rapi tersebut.
Salah satu pedagang di lorong tersebut adalah Ahan. Ia merupakan pedagang yang sudah berjualan jajan dan snack selama hampir satu dekade di pasar kota Bojonegoro.
Menurut Ahan, mayoritas yang membeli dagangannya adalah orang yang akan menjual kembali. Istilah sederhananya “kulakan”.
“Mayoritas pelanggan saya itu orang yang punya warung di rumah atau tempat tinggalnya. Mereka kulakan di sini untuk dijual kembali,” ucap Ahan.
Jajanan yang dijual pun sangat beraneka ragam. Ada snack kemasan, camilan rumahan, hingga jajanan jadul yang mulai jarang ditemui. Dengan harga yang terjangkau, jajanan di Pasar Kota Bojonegoro bisa jadi pilihan untuk belanja makanan ringan untuk suguhan rumah atau camilan keluarga.
Jajanan Pasar sebagai Simbol Budaya dan Tradisi Jawa
Snack dan jajanan pasar tak hanya sebagai panganan saja. Ia kerap digunakan sebagai syarat untuk tasyakuran dalam memperingati sesuatu.
Masih menurut Ahan, orang-orang sering membeli jajanan pasar sebagai syarat tasyakuran. Seperti tasyakuran rumah baru atau kendaraan baru. Ada juga yang membeli untuk keperluan Tironan atau perayaan hari lahir berdasarkan tanggalan Jawa.
“Banyak yang beli untuk syukuran rumah baru, syukuran dapat pekerjaan, atau syukuran bisa beli kendaraan bermotor baru,” ujar Ahan yang biasa berjualan dengan Istrinya tersebut.
Dalam budaya Jawa, jajanan yang digunakan untuk tasyakuran memang harus berbeda jenis. Maka tak heran jika orang-orang sering mengkombinasikan jajan pasar tradisional dengan snack kemasan yang lebih modern.
Uniknya lagi, berdasarkan budaya Jawa, harus ada 7 jenis jajanan yang berbeda untuk tasyakuran. Hal ini sebagai perlambang meminta pertolongan dari yang Maha Kuasa. Karena angka tujuh dalam bahasa Jawa adalah Pitu. Dan kata Pitu sendiri kerap difilosofikan jadi pitulungan atau pertolongan.
Filosofi angka 7 sebagai pitulungan bisa ditemui di beberapa kuliner khas Jawa. Contohnya nasi tumpeng, yang harus memiliki tujuh elemen utama dalam penyajiannya. Selain nasi tumpeng, ada pula bubur jawa yang juga mewajibkan tujuh jenis berbeda pada penyajiannya.
Jajanan pasar tak sekadar jadi makanan ringan saja lho, Nabs. Dalam budaya dan tradisi Jawa, jajanan pasar menjadi perlambang harapan akan pertolongan dari yang Maha Kuasa.