Sabtu pagi, aku meninggalkan Hotel Bahagia bersama teman-teman baru dengan wajah agak mengantuk. Sejuk pagi sedikit pengar. Langit masih memucat manja. Dan kami tetap tersenyum ceria.
Hari pertama, aku memulai dengan cerita baru dari para penutur yang berangkat dari tanah kelahirannya. Sebagian di antara kami membawa catatan lautnya, membawa catatan leluhurnya, membawa catatan tembakaunya, membawa catatan nasibnya sendiri.
Pagi itu masih cukup bising bagiku, dengan suara transportasi yang sama sekalipun nyaris tak terselamatkan dari kedua telingaku. Dua mobil angkutan umum (mikrolet) bakal membawaku jalan ke laut, menikmati batasnya pandang, teriknya cuaca, dan puluhan nasib nelayan membaringkan perahu-perahu kecil di pesisir laut Jawa tanpa pantai.
Aku sengaja memilih naik mikrolet berwarna biru kuning, angkutan sepuh seperti ini, jarang kutemui di kota kecilku, sebagian besar bemigrasi memilih naik ojek online dibandingkan mobil sepuh yang sedikit pengap dan berdesak-desakan dengan penumpang sebangsanya. Apalagi menjelang siang dan sore para pedagang sekaligus anak-anak sekolah pertaruhkan nasib surut di dalamnya.
Angkutan Mikrolet meninggalkan halaman Hotel Bahagia. Mataku dimanjakan dengan bangunan-bangunan tua arsitektur Belanda, deretan pemukiman tua, dan flayer-flayer tahun politik di sepanjang jalan Bandar Grisse menafikan estetika lanskap kota dari cerita anak kecil kehilangan cita-cita.
Entah! Tak secepat temanku, yang mudah sekali menghafal nama-nama jalan, nama gang, nama tempat ibadah, nama pohon, nama perempatan, dan nama teman Residensi.
Sejak lama aku mengenal Gresik sebagai Kota Industri, dengan segala pembangunan dan peremajaan tata kelola kota yang sepuh menjadi lebih nyaman dipandang kedua mata para wisatawan. Gelak tawa nyaris tak berhenti, ketika kami sama-sama ingin membawa oleh-oleh satu karung semen Gresik dari sudut kota.
Hari masih tetap sabtu, tapi waktu tak pernah bosan menghitung angkat dari satu sampai dua belas hingga puluhan abad usia kota ini. Gresik dengan berbagai peranan sosial dan budaya menjadikan pengunjung sepertiku sebuah lanskap yang baru dan utuh untuk menelanjangi lebih dalam tentang hiruk-pikuk religiusitas, sosial, dan budaya, bahkan peradaban sedang berjalan.
Aku hanya beberapa kali melewati lampu merah, lorong pasar hingga sampai di lokasi, aku melihat sebuah bangunan Balai Kambang yang lumayan besar di Kelurahan Lumpur, dengan bentuk yang khas, terbuat dari kayu jati dengan atap genting berbahan tanah liat berwarna merah kecoklatan.
Konon Balai Agung yang disebut dengan Bale Kambang. Menurut penuturan warga, sekitar pada tahun 1506 Masehi, nelayan desa setempat menemukan onggokan delapan kayu besar berukiran gaya Banyuwangi yang khas, tengah mengambang di bibir pantai di sekitar Geladak Gede berdiri sekarang ini. Warga bertanya-tanya, bagaimana mungkin delapan kayu berukiran khas itu bisa hanyut dari ujung timur sampai ke ujung utara Pulau Jawa.
Mereka kemudian memindahkan kayu-kayu ke tempat lain supaya tidak mengganggu kapal atau perahu yang bakal berlabuh. Anehnya, setiap kali dipindahkan, onggokan kayu itu selalu kembali ke pantai desa. Akhirnya, warga setempat berinisiatif memanfaatkan delapan kayu itu sebagai tiang penyangga untuk membangun sebuah tempat untuk beristirahat sekaligus berkumpul (balai). Begitulah sedikit cerita.
Di sisi kiri depan bangunan balai juga terdapat sebuah lampion berbentuk kubus yang keempat sisinya terdapat lukisan karya maestro lukis Masmundari (Damar Kurung), seorang seniman fenomenal. Dengan karya yang memuat sosio-kultural masyarakat, maka Damar Kurung menjadi bagian dari salah satu benda khas Kota Gresik.
Setelah itu, aku sesekali mengambil gambar di sekitar, riuh gembira teman-teman pecahkan suasana, sebagian memilih duluan menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gadukan Ikan, sebagiannya ada yang masih menemui beberapa warga yang ada di sekitar Balai Kambang.
Aku melanjutkan perjalanan menuju Gadukan Ikan. Baru pertama kali aku melihat aktivitas seperti ini, karena di kotaku sama sekalipun tidak pernah ada, karena tidak bersinggungan langsung dengan laut. Apalagi pantai dengan tutur cerita romantik dan prahara riuh ombak. Wiuwiuwiu.
Situasi tidak pernah sepi, walaupun gemuruh ombak masih jauh, terpotret beberapa orang sedang bergerembol, ada yang nongkrong di warung kopi, bincang-bincang pagi di depan rumah, ada yang melakukan aktivitas jasa pengantar ikan dengan gerobak yang ditarik dari depan serupa becak china, ketika memulai peradaban tumbuh dan berkembang.
…
Selesai keliling di sekitar Gadukan Ikan, aku duduk santai berbincang dengan warga sekitar. Hampir setengah jam, semua rasa penasaranku kutanyakan kepadanya. Ia memperkenalkan diri dengan nama Pak Anwar Solih, seorang warga setempat yang bekerja sebagai jasa angkut ikan menggunakan gerobak tarik.
Pak Anwar merupakan warga asli yang berdomisili di kelurahan Lumpur. Ia bercerita tentang pergulatan dan perkembangan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gadukan Ikan selama puluhan tahun. Ia mempertaruhkan hidup bersama keluarganya dari hasil kerja kerasnya di Gadukan Ikan. Meski pendapatan tidak menentu yakni hanya lima ribu sekali antar, hal itu tidak menjadikannya rapuh berusaha sampai sepuh.
Kata Pak Anwar, pelelangan ikan adalah suatu kegiatan di suatu tempat pelelangan ikan guna mempertemukan antara penjual dan pembeli ikan sehingga terjadi transaksi harga ikan yang disepakati bersama. Para nelayan dan petani tambak dari beberapa daerah melakukan transaksi di Gadukan Ikan setiba musim panen.
Di sisi lain, TPI sudah lahir sejak zaman para wali yang dilanjutkan zaman penjajah Belanda dalam kondisi sederhana. Mesti kita tahu bahwa Gresik merupakan kota sepuh hampir separuh wilayahnya berada pada bibir pantai sekitar 140 km yang berada di Pulau Jawa dan Pulau Bawean, maka keberadaan tempat pelelangan ikan pun ada di mana-mana, seperti di Ujung Pangkah, Panceng, dan di Lumpur kota Gresik.
Matahari tepat di atas kepala. Aku masih tetap ingin melanjutkan obrolan ringan. Tempat pelelangan ini secara geografis berada di paling utara kota Gresik, tepatnya di pantai sebelah barat pelabuhan Gresik dengan jarak kurang lebih 150 meter. Ada yang menarik bahwa Tempat Pelelangan Ikan dikelola oleh suatu wadah organisasi yang disebut LKML (Lembaga Ketahanan Masyarakat Kelurahan) di kelurahan Lumpur. Demi menunjang keberlanjutan sistem ekosistem perdagangan secara lokal, meminimalisir monopoli perdagangan dan meningkatkan solidaritas kebudayaan.
Dirasa cukup banyak informasi yang sudah didapat. Aku melanjutkan perjalan ke laut. Nampak sebuah bangunan khas Jawa, yaitu Bale. Ternyata Bale di daerah pesisir tidak hanya satu, ada Bale Gede, Bale Cilik, Bale Purbo, Bale Wonorejo, dan Bale Pesusuan.
Di balik berdirinya bale-bale tersebut teryata juga memiliki fungsi. Selain digunakan tempat istirahat para nelayan, Bale Gede sebagai ruang sentral pertemuan kebudayaan, misalnya memperingati Haul Mbah Sindujoyo sebagai tokoh leluhur Lumpur, berbagai macam aktivitas kegiatan untuk mengenang jasanya.
Masyarakat lumpur juga mengabadikan nama Mbah Sindujoyo sebagai nama jalan raya kelurahan. Spirit kebudayaan setempat sangatlah kuat, kaya akan nilai-nilai empirik, spiritual, dan sosial. Tentu bagiku sebuah fenomena baru, suatu aktivitas sedekah bumi menjadi sentral pertemuan setiap tahun di pesisir laut utara Gresik.
Di tengah akulturasi Kebudayaan, warga setempat masih meyakini Jawa sebagai satuan pulau yang masih utuh tentang nilai sekaligus ajaran Jawa sebagai transformasi energi untuk keberlanjutan ekosistem warga setempat. Alangkah serunya ketika aku berkunjung bertepatan dengan aktivitas sedekah bumi. Bisa mendengarkan Tembang Macapat malam hari, dan pagi kecil dilanjutkan tradisi Bandungan (sedekah laut).
** **
Perjalanan dalam mengikuti Residensi Literatutur selama tiga hari yang diadakan oleh Yayasan Gang Sebelah, Gresik, Jawa Timur.
Sangat informatif tulisannya.