Kawan diskusi saya yang satu ini memang sangat unik. Biar gak penasaran, yuk baca hasil jandoman bersama sosiolog muda dari kampus tersohor di timur Jawa Dwipa ini.
Jandom atau jagongan atau cangkrukan atau ngobrol-ngobrol sebagai ajang silaturahim dengan Cak Eko Prasetio merupakan sebuah pertemuan lekas menabung rindu.
Dalam catatan pengembaraan, nama Eko Prasetio tercatat sebagai guru sekaligus kawan diskusi. Ia merupakan senior yang bukan hanya sekadar senior, walau dalam hal merokok ia jarang dan mungkin juga tidak pernah nyusu geni (nyuni) rokok senior, wqwqwq.
Namun, dia beberapa kali mengingatkan saya akan pentingnya mencari ilmu, tak jarang ketika terjadi obrolan dengannya, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya merupakan mata kuliah kehidupan.
Setelah melipat jarak Lamongan, Gresik, Bojonegoro, dan Tuban (LGBT), pertemuan terjadi. Sebelum bertemu Cak Eko, saya menemui Masrudin alias Firdi, ia sejarawan muda dari Kota Pudak, Gresik.
Setelah memperoleh wasilah dari Firdi ketika ngopi dini hari di dekat aliran Sungai Bengawan Solo, saya berkeinginan untuk jandom empat mata bersama Cak Eko. Kebetulan, Cak Eko, Firdi, dan saya pernah tinggal satu atap di sebuah asrama yang berada di Kota Pahlawan.
Di hari yang berbeda. Setelah menghitamkan aspal Pantura, saya langsung menemui Cak Eko. Karena telah beberapa bulan tak jumpa. Pertemuan terjadi di sekitar Jembatan Sosrodilogo.
Walau rintik hujan barusan membasahi bumi Angling Dharma, tak menyurutkan langkah untuk bertemu. Aliran sungai Bengwan Solo, pohon jati, lemah mbet, dan angin yang berdesir menjadi saksi bisu obrolan yang ditemani dengan dua cangkir kopi.
Ketika melihat Cak Eko, selain mengingatkan pada kalimat “masuk Pak Eko” juga mengingatkan saya pada pemeran cecep di film garapan Aris Nugraha ‘Preman Pensiun’ Ditambah lagi dengan gaya Cak Eko dalam berkendara, benar-benar mengingatkan saya pada sosok Cecep.
Ngomong-ngomong soal berkendara. Di malam itu, Cak Eko juga memberi ilmu plus pengetahuan tentang berkendara. Bagaimana tipikal sepeda motor pria dan wanita ketika digunakan bepergian jarak jauh, morfologi sepeda motor, dan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kendaraan beserta uborampenya dijelaskan oleh Cak Eko dengan bahasa yang sederhana dan tentunya mudah difahami.
Teori ketika melipat jarak yang diberikan Cak Eko pada malam itu merupakan suatu hal yang berharga. Selain itu juga, Cak Eko berpesan untuk jangan memakasakan diri ketika berkendara. Sisi ketauhidan dalam hal berkendara, juga secara tersirat disampaikan oleh Cak Eko.
Salah satu di antaranya tentang salat. Dalam hal bepergian jauh plus mengendarai sepeda motor, tentu salat juga digunakan untuk bernafas sejenak, memanjakan badan, dan tentunya menunaikan kewajiban. Dalam hal wudhu, air yang dibasuh ke muka dan beberapa bagian tubuh bisa membikin mata lebih melek plus mendinginkan badan.
Saya haqqul yaqin, mengingat Cak Eko juga merupakan pendekar yang kebetulan badannya juga kekar plus prestatif, kreatif, dan inovatif, ilmu dan pengalaman yang diberikan Cak Eko saya terima dengan senang hati.
Dan malam menjelang dini hari, ketika lekas ngopi dengan Cak Eko ihwal ketauhidan dalam kehidupan tergambar di sekitar lampu abang ijo.
Dimana, ketika berhenti di Ruang Henti Kendaraan (RHK) terdapat CCTV plus lampu merah, kuning, dan hijau.
Ya, itulah gambaran hidup. Ada kalanya kita harus ngegas, ngerem (berhenti) ketika lampu merah, dan melaju dengan santuy ketika lampu hijau menyala. Entah itu siang, maupun malam bahkan dini hari yang sunyi maupun pagi buta, tingkat ketertiban manusia dari sisi yang kecil, bisa dipelajari disekitar bangjo.
Selain itu, obrolan di malam hari yang sendu juga membahas tentang dunia kepenulisan. Mencoba untuk saling ngansu kaweruh ihwal kepenulisan. Juga membahas tentang beberapa karya dari HAMKA, Kang Abik, Goenawan Muhammad (GM), Pramoedya, Prof. Bagong (sosiolog Unair), Orhan Pamuk, Bung Mahbub, dan lain sebagainya. Dalam obrolan malam itu, khayalan berdasarkan pengalaman, muncul dengan sendirinya.
Seperti bagaimana situasi dan kondisi sungai Bengawan Solo tempo dulu, plus dan minus pembangunan di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi, dan juga perbandingan antara sungai Bengawan Solo dengan Danau Toba karena Cak Eko pernah menginjakkan kaki ke sana plus memiliki darah Minang juga.
Khayalanku, ketika malam itu, disaat menyaksikan gemerlap lampu di tubuh jembatan yang menghubungkan Kecamatan Bojonegoro dengan Trucuk tersebut, lebih kepada karya sastra (puisi) dari Eyang Sapardi berjudul Kartu Pos bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco.
Kira-kira, apakah akan lahir atau ada kartu pos bergambar Jembatan Sosrodilogo? Atau sebuah karya sastra (puisi) yang bercerita mengenai sisi plus-minus ihwal keberadaan jembatan tersebut ?
Dan sebelum berpisah, tak lupa ia juga menitipkan salam untuk Imam Besar Jam’iyyah Ahlith Thaqirah Al-Insomniah wa Jurnabiyah, wqwqwq.
Itulah, Nabs. Ikhtisar jandom bersama Muhammadiyin muda ‘Eko Prasetio’ dengan segala keunikan plus semangat belajar yang membara hinggap di sukma dan raga Eko Prasetio dimanapun berada. Matur suksma, Cak! Semoga engkau berkenan membalas tulisan yang sederhana ini.