Saya sangat menyesalkan seorang public figure dengan corong yang luas, mengajarkan pengambilan kesimpulan dalam matematika berdasarkan asumsi.
Jerome Polin, seorang Youtuber yang kuliah di Waseda University jurusan matematika terapan, sudah dikenal luas terutama di kalangan anak muda. Kanal Youtube-nya sudah memiliki jutaan subscribers. Termasuk saya, yang sudah subscribe kanalnya sejak beberapa tahun yang lalu.
Malam tadi, saya mendapat notifikasi bahwa Jerome mengunggah video berjudul “COBA NGERJAIN TEKA-TEKI VIRAL! KALO BISA = JENIUS!?” Tanpa pikir panjang, saya pun menontonnya.
Sampai di tengah video, Jerome membahas soal teka-teki bergambar yang kurang lebih demikian (lihat gambar header).
Dia mulai mengerjakan dengan mencari nilai variabel yang dilambangkan sebagai bunga merah. Ketemulah nilainya 20.
Kemudian, dia mencari nilai variabel yang dilambangkan sebagai bunga biru. Ketemulah nilainya 5.
Setelah itu, dia mencari nilai variabel yang dilambangkan bunga kuning. Ketemulah nilainya 1.
Terakhir, dia menghitung nilai yang ditanyakan. Dia kemudian mengatakan bahwa bunga biru dalam soal dan bunga biru yang ditanyakan, berbeda.
Dalam soal, ia katakan bunga birunya memiliki 5 kelopak (seharusnya, secara biologi, penyebutan yang benar adalah mahkota). Sedangkan yang ditanyakan, dia katakan bunga birunya memiliki 4 kelopak.
Kemudian ia katakan lagi, karena bunga biru dengan 5 kelopak memiliki nilai 5, maka bunga biru dengan 4 kelopak memiliki nilai 4.
Sampai di sana, saya berhenti menonton. Bagi saya, ini adalah kesesatan berpikir dalam sains, terlebih matematika. Jika selama ini, Jerome selalu tidak bisa membedakan mana nol dan kosong, mana minus dan negatif, saya tidak ambil pusing. Toh, itu kesalahan yang masih bisa ditolerir jika dilakukan masyarakat awam. Tetapi, kali ini kesalahannya sudah sangat fatal. Ini masalah pola berpikir.
Saya pun memberikan komentar di videonya sebagai berikut.
Aku juga orang matematika. Menurutku, yang bunga itu ya jawabannya (20 × bunga biru berkelopak 4) + 1. Variabel yang dilambangkan sebagai bunga biru dengan 4 kelopak tidak didefinisikan sebelumnya. Kalau menentukan nilainya dari banyaknya kelopak saja, artinya itu hanya asumsi. Lalu kalau nilai 1 kelopaknya 1, aku bisa nanya juga: berapa nilai daunnya? Berapa nilai tangkainya? Atau berapa nilai noktah kuningnya?
Maksudku begini. Sejak awal, semestanya mendefinisikan 3 variabel sebagai bunga merah, bunga biru, dan bunga kuning. Bunga sebagai satu kesatuan.
Lantas, kenapa tiba-tiba kita memecah kembali salah satu variabelnya berdasarkan mahkota (di sini disebut kelopak) saja? Lalu kalau mau dipecah, bagaimana dengan daunnya? Bagaimana dengan bagian bunga lainnya?
Analoginya. Jika b+b+b=60, b+a+a=30, dan a−2c=3. Maka berapa nilai dari c+b×å? Variabel å di sini jelas tidak boleh kita tentukan nilainya berdasarkan variabel a. Meski ada kesamaan bentuk di sana, keduanya adalah variabel yang berbeda. Begitu juga bunga tadi, meski ada kesamaan bentuk, keduanya jelas dua bunga yang berbeda.
Komentar tersebut kemudian naik dan menuai pro dan kontra. Saya masih menanggapi beberapa yang kontra, sampai akhirnya mereka ad hominem. Di sini saya tahu, bahwa diskusi tidak layak lagi untuk dilanjutkan.
Lebih kecewa lagi ketika Jerome lebih memilih menanggapi “komentar receh” ketimbang mau berdiskusi mengenai hal ini.
Saya ingat betul, dosen saya dulu lebih ekstrem lagi mengatakan bahwa apel + pisang (banyak ditemukan dalam soal anak SD) tidak bisa dijumlahkan karena keduanya variabel yang berbeda.
Jika yang dioperasikan adalah harganya, misalnya, maka itu baru bisa dihitung. Di sini, saya sudah mencoba moderat dengan mau menjumlahkan bunga-bungaan. Mungkin jika dosen saya tahu, saya sudah dipecat sebagai mahasiswanya.
Saya sangat menyesalkan seorang public figure dengan corong yang luas, mengajarkan pengambilan kesimpulan dalam matematika berdasarkan asumsi.
Selain Jerome, sebelumnya saya pernah mengkritisi seorang Sujiwo Tejo karena mengatakan kesalahan konsep matematika dalam buku Tuhan Maha Asyik (saya akan buat tulisan yang berbeda mengenai hal ini).
Namun, bukan mereka sebagai personal yang saya kritisi. Ini semua murni substansi. Demi kemajuan matematika dan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa.