Sebagaimana momen ulang tahun diperingati untuk merayakan kehidupan, Steinbeck bagi saya juga masih hidup.
Di pagi jelang terang, ketika bintang-bintang masih bersinar dan ujung paling timur langit masih berwarna kuning pucat, aku bangun tidur sembari mengingat hari apa ini?
Tanggal 27 Februari, apa yang kulupakan? Valentine sudah lewat, cokelat-cokelat diskon yang dipajang di etalase-etalase toko dan mini market sudah dikembalikan di harga normal, dan apa yang kulupakan?
Aku baru ingat bahwa ini hari yang begitu penting. Sebuah peringatan yang tidak pernah kutandai dalam kalender dan alarm HP, tapi tersimpan rapi dalam ingatan.
Ya, tepat 118 tahun yang lalu, penulis favoritku lahir di Salinas, California, Amerika Serikat.
Penulis ini kukenal lewat novelnya yang berjudul Of Mice and Men, cerita tragis sekaligus konyol mengenai kehidupan dua orang sahabat, George dan Lennie.
Steinbeck, begitu ia dikenal, adalah penulis yang selalu mengangkat kehidupan orang-orang terpinggirkan di Amerika.
Kisah-kisah yang diceritakannya pun potret sederhana masyarakat di Amerika pada masanya: tentang kondisi masyarakat Amerika pasca perang, tentang kelompok-kelompok yang tak diakui di dalam masyarakat, impian kelas menengah bawah mendapatkan hak-haknya, dan lain sebagainya.
Amerika yang dulunya saya bayangkan sebagai negara adidaya, negara paling berkuasa dengan segala pengetahuan, teknologi, dan modernitas yang membuatnya menjadi ‘penjajah dunia’, nyatanya punya sisi lain yang barangkali bukan cuma saya, tapi juga kamu semua luput mengetahuinya.
Sisi lain yang begitu manusiawi, begitu lumrah, dan juga dekat dengan kita semua. Itu semua diangkat Steinbeck dengan sudut pandang yang lain dari yang kita lihat dalam keseharian.
Bagaimana ia mendeskripsikan Dora tanpa mendefinisikannya sebatas profesi, bagaimana ia mendeskripsikan Danny dan teman-temannya tanpa pula melekatkan stigma, dan bagaimana ia membuat pembacanya melihat tragedi dengan berbagai cara dan rasa. Entah membumbuinya dengan komedi satir, atau disajikan ‘plain’ sehingga pembaca bisa merasakan melankolia yang utuh.
Di tengah arus Hemingway, saya, entah bagaimana, justru memilih untuk menjejali diri dengan Steinbeck. Saya tidak punya alasan khusus, dan barangkali memang rasa suka tidak butuh dijelaskan dengan alasan-alasan.
Dua hari lalu, saya membuat janji untuk melakukan review terhadap karyanya yang baru saya selesaikan. Kala itu saya membaca The Pearl, cerita tentang Kino, istrinya – Juana, anaknya – Coyotito, dan juga berlian yang berhasil ditemukan, juga bagaimana berlian itu hilang kembali.
Dengan amat sangat menyesal, saya tidak bisa menepati janji itu. Karena sampai dengan hari ini, buku tersebut belum mampu saya selesaikan. Saya tahu bahwa janji harus ditepati, untuk itu saya menunda review yang saya janjikan. Tapi, untuk mengalihkan rasa bersalah itu, saya membuat tulisan ini.
Lewat tulisan ini pula saya ingin memberikan ucapan sekaligus apresiasi untuk Kakek ideologis saya, John Steinbeck. Selamat ulang tahun, Kek.
Sebagaimana momen ulang tahun diperingati untuk merayakan kehidupan, Steinbeck bagi saya juga masih hidup. Ia mengabadikan diri lewat karya-karyanya yang senantiasa dibaca oleh orang-orang, termasuk pula saya. Selamat 118 tahun, Kek.