Alangkah mahal momen malam bulan purnama hari ini. Dulu, situasi itu amat istimewa. Sekarang, sudah banyak yang lupa dan mengabaikannya.
Masih ingat saat penerangan PLN belum begitu merata, saat masih banyak desa gelap-gulita dan hanya beberapa rumah yang diterangi petromak.
Banyak juga yang hanya lampu teplok kecil bekas kaleng cat dari minyak tanah.
Saat di mana kita masih sangat akrab dengan penanggalan bulan. Bahkan saking antusiasnya dengan purnama, kalender bulan sudah setara akrabnya dengan kalender masehi.
Bahkan tetangga seringkali bertanya hari pasaran dan nama bulan kalender rembulan. Mereka lebih akrab dengan jumadil awal atau suro daripada mei atau april.
Jika bagi kita kalender masehi pasti hafal, karena menghitung tanggal merah dan hari libur sekolah. Tetapi, jika kalender rembulan kaitannya dengan obak, dan menikmati purnama rembulan.
Saat malam istimewa untuk bermain, mengeluarkan keringat, sorak-sorai dan bertengkar kecil-kecilan mengasah urat dan ketangkasan serta insting.
Bagi anak desa, mendapat surplus cahaya malam hari hanya saat rembulan sedang semangat-semangatnya menampakkan diri.
Selain itu, malam hanya ada gelap gulita dan kesunyian dengan jangkrik, kunang yang kerlap-kerlip dan kelelawar mencari makan.
Bulan purnama, selain menjadi malam bermandikan cahaya, juga saat paling strategis outbond malam hari. Mulai petak umpet, hingga gobak sodor.
Bahkan, jika banyak personil dan punya bola, ya sepakbola. Dan bagi orang tua, berkumpul bersama tetangga dan keluarga dengan alas sak wadah pupuk yang dijahit dengan tali rafia agak jadi lebih lebar.
Meskipun hanya dengan hidangan sederhana, singkong goreng, kerupuk tepung tapioka, tempe goreng dan wedang kopi atau wedang sereh.
Tanggal limolas padang jingglang mbulane bunder, (ser)
Aku dikudang sok yen gede dadi dokter (dikudang Mbok ‘e)
Lirik lagu ciptaan Didi Kempot di atas merupakan gambaran betapa bulan purnama bukan momen yang sederhana. Ia layak dirayakan dengan hikmat rasa syukur yang mendalam.
Sekarang, saat PLN makin banyak kulakan energi, seakan bintang-bintang sudah malu menampakkan diri. Purnama hanya angin lalu, dan makin diabaikan.
Dan nasib sama juga dialami kalender rembulan, sudah makin jarang yang membaca dan hampir hilang tiap cetakan kalender terbaru.
Mungkin baru dibaca saat menjelang awal Ramadhan atau mencari kapan Hari Raya Idul Fitri saja.
Memang, alam mudah menyesuaikan diri. Dunia sudah berputar sangat cepat. Saat itu masa yang hanya diterangi kunang dan rembulan, kita rekreasi ke tempat banyak lampu.
Dan kini saat lampu sudah membanjiri desa, dan kota kita entah kapan akan rekreasi ke tempat kunang-kunang dan cahaya rembulan serta bintang-bintang.
Dan alangkah mahal momen malam bulan purnama hari ini. Meski dulu, situasi di atas amat istimewa, sekarang sudah banyak yang lupa dan mengabaikannya.
Kapas, 20 Maret 2020