Menulis biografi orang tua adalah perihal mulia. Sebab, siapa pula yang akan menulis mereka — jika bukan raja dan bukan ulama besar — kalau bukan kita, anak-cucu mereka.
Kita yang sering membaca dan mempelajari biografi orang lain, terasa tak adil jika tak pernah mempelajari biografi orang tua sendiri sebagai muasal keberadaan kita di muka bumi.
Karena itu, pemahaman tentang dari mana kita berasal dan sejauh mana kita mengenal moyang terjauh, sudah sepatutnya kita ketahui.
Berpijak pada paradigma di atas — dan sebuah maqolah dari Imam Al Ghazali: jika kau bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka menulislah — komunitas Gerakan Literasi Pesantren (Gerlip) mencoba me-manifestasikan paradigma tersebut kedalam giat penulisan.
Para peserta kompak menulis kisah tentang asal muasal mereka lahir di dunia. Menulis dan mencari tahu siapa sosok moyang terjauh yang masih bisa digapai dan dicari tahu informasinya.
Yang secara otomatis, menggiring mereka pada sebuah fragmen bagaimana awal mula orang tua mereka bertemu, jatuh cinta, dan melahirkan mereka di dunia.
Menulis biografi orang tua adalah perihal yang mulia. Sebab, siapa pula yang akan menulis mereka — jika bukan raja dan bukan ulama besar — kalau bukan kita, anak mereka.
Tapi tak hanya mulia, namun sulit. Kenapa sulit? Karena tak ada referensi apapun soal kisah mereka. Kalaupun ada, yang membuat adalah mereka sendiri, kelak, saat tulisan itu jadi ditulis.
Di tengah proses penulisan, masalah muncul. Sejumlah peserta mengaku sedang ada masalah dengan orang tuanya. Sehingga mereka sedang dalam proses “tidak berbicara” pada mereka.
Tentu saja itu bukan masalah sederhana. Sebab, untuk melakukan wawancara, observasi dan penggalian data, peserta harus bersinggungan dengan orang tua yang notabene satu-satunya sumber data primer.
Dan karena menulis kisah tentang nenek moyang tak ada referensi lain selain orang tua itu sendiri, mau tidak mau, masalah dengan orang tua harus diselesaikan secara jantan. Agar tugas menulis tetap berjalan.
Alhasil, peserta yang semula bermasalah dengan orang tua, harus mengambil jalan kooperatif berdamai dengan orang tua: salim, peluk, dan kembali ngobrol bersama orang tua.
Saya membayangkan, saat peserta melakukan wawancara pada orang tua yang sebelumnya sedang tidak berbicara, pasti dipenuhi perasaan malu-malu sekaligus lega yang luar biasa tenteramnya.
Saat hasil tulisan dikumpulkan, bermacam tulisan biografi pun membuat saya terpukau. Bagaimana tidak terpukau, mayoritas peserta mampu menjangkau nasab terjauh.
Tak berhenti pada orang tua dan kakek. Bahkan ada kisah biografi yang mampu menjangkau wareng atau kakeknya kakek. Dan itu pastinya amat sulit. Sebab, lagi-lagi, yang ditulis bukan seorang raja. Dan jelas itu biografi pertama mereka yang pernah dibikin.
Wareng adalah tingkat kelima dari posisi peserta saat ini. Ilustrasi hirearki-nya: Orang tua, Kakek-nenek, Buyut, Canggah dan Wareng. Praktis, berada di urutan kelima di atas posisi kita.
Dan yang membuat istimewa, tulisan itu tak ditulis berbasis deretan nama khas daftar absensi. Tapi dibentuk dan dipoles layaknya sebuah kisah naratif ala novela. Ada tokoh, plot, dan tentu saja, alur cerita.
Dari bermacam kisah yang dikumpulkan itu, para peserta dan (tentu saja saya sendiri), menyadari satu hal penting. Bahwa moyang kita pernah muda. Pernah merasakan kesengsem pada lawan jenis dan pernah galau karena cinta— seperti kita.
Bagaimana kisah cinta atau perjodohan Wareng membawa fragmen baru berupa episode kisah cinta Canggah, Buyut, Kakek-nenek, hingga orang tua yang pada akhirnya melahirkan kita di dunia, adalah sebuah pelajaran penting.
Menulis Nasab menjadi kegiatan yang menyenangkan untuk dilakukan. Sebab, ia mengkolaborasikan bermacam tahap penelitian. Mulai wawancara, penggalian data, observasi dan tentu saja, ruang berimajinasi.
Ya, sekali lagi. Menulis biografi orang tua adalah perihal mulia. Sebab, siapa pula yang akan menulis mereka — jika bukan raja dan bukan ulama besar — kalau bukan kita, anak mereka.