Hari Kartini selalu diperingati. Namun, berbagai jenis penindasan terhadap perempuan masih membelenggu. Maka dari itu, “pilih nasib dan cari jalanmu, pada cahayamu sendiri!.
R.A. KARTINI merupakan puteri Jawa yang melampaui zamannya. Hidupnya tak terlalu lama, ia sangatlah muda dan sangat sebentar sekali menghirup napas di dunia ini.
Namun buah pikiran wabilkhusus ide-idenya, dan spirit kemajuan, kebebasan dan emansipasi wanitanya sampai hari ini menjadi kiblat perempuan Indonesia.
Dalam surat-suratnya, kita masih bisa turut merasakan bagaimana resah dan gelisahnya menjadi perempuan Jawa yang kala itu masih terikat dengan adat istiadat yang memasung ruang gerak wanita, tidak hanya dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat, melainkan juga dalam hal kebebasan menerima pendidikan yang layak dan setara dengan laki-laki.
Dari sekian banyak wanita Jawa yang terikat dan terkurung oleh adat istiadat, bisa dibilang Kartini merupakan salah satu bahkan mungkin satu-satunya yang beruntung pada zaman itu, lantaran ia hidup di lingkungan keluarga yang sangat menyukai kemajuan.
Bahkan kakek beliau Pangeran Ario Tjondronegoro merupakan Bupati Jawa Tengah yang pertama membuka pintunya untuk tamu dari jauh seberang lautan, yang dalam suratnya kepada Nona E.H. Zeehandelaar ia sebut sebagai Peradaban Barat.
Dibilang beruntung juga karena Kartini merupakan perempuan yang diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) sebuah sekolah dasar yang hanya diperuntukkan peranakan bangsa Eropa, Timur Asing, dan Bangsawan Pribumi.
Hingga usianya yang ke-12 tahun, dia harus segera menanggalkan keinginannya untuk melanjutkan studi ke Eropa sebab diusianya yang 12 tahun tersebut, menurut adat Jawa sudah bisa dipingit dan tidak boleh keluar rumah.
Dalam suratnya dengan gramatika bahasa Belanda yang bagus, beliau bercerita kepada sahabat penanya, Nona Zeehandelaar “Kami anak-anak gadis yang masih terantai pada adat istiadat lama, hanya boleh mendapatkan sedikit kemajuan di bidang pendidikan.
Anak-anak gadis setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah merupakan pelanggaran besar terhadap adat istiadat Negeri kami, saya harus masuk “kotak” terkurung di rumah, terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh kembali ke dunia itu lagi sebelum memiliki suami”.
Ia terus berkisah dalam banyak surat, tentang hidupnya yang terkurung tanpa kebebasan. Namun dalam keadaannya yang demikian itu, saat ia terkurung dalam kotak primordial-nya zaman, Kartini tidak lantas berdiam diri menerima dan menunggu nasibnya datang untuk dinikahi.
Ia melawan dengan caranya sendiri, dengan cara yang tidak secara langsung konfrontasi dengan adat istiadat yang sudah terbangun dan tertanam berabad-abad lamanya, dengan cara yang tidak melukai orang-orang yang ada di lingkungannya.
Ia mewartakan kepada dunia terutama lingkungan adat istiadatnya tentang bagaimana pentingnya pendidikan, kebebasan, dan persamaan hak bagi perempuan Pribumi.
Di hari-hari yang jenuh dalam keterkurungan zaman dan adat istiadat, Kartini banyak menghabiskan waktunuya untuk membaca buku, koran, dan majalah-majalah yang bahkan ia berlangganan membelinya.
Keadaan itu menambah ketertarikannya terhadap kemajuan berpikir perempuan Eropa yang ia baca di majalah-majalah tersebut.
Dari majalah-majalah yang ia baca itu jugalah Kartini banyak mendapatkan sahabat pena untuk dijadikan teman curhat dan diskusi dalam surat-surat sekalipun belum pernah bertemu secara langsung sebelumnya.
Selain aktif berkirim surat dalam bahasa Belanda kepada sahabat-sahabat penanya, Kartini juga aktif menulis di berbagai majalah.
Salah satu yang pernah diterbitkan di De Hollandse Lelie, majalah wanita Belanda yang kala itu termasyhur dalam bidang sastra dan sosial.
Dalam tulisan-tulisannya itu, Kartini banyak menaruh perhatian tidak hanya pada emansipasi wanita dalam arti sempit, tetapi juga perihal sosial umum agar wanita memperoleh hak kebebasan dan persamaannya dengan laki-laki secara mutlak.
Baginya, ini bukanlah merupakan peperangan antara matriarki melawan partriarki atau feminim melawan maskulin. Lebih dari itu semua, ini merupakan perlawanan kegelapan menuju terang, perlawanan penindasan zaman menuju kebebasan mutlak tanpa meninggikan yang satu dan menindas yang lain.
Atau memandang yang satu sebagai manusia seutuhnya dan yang lain dianggap sebagai separuh manusia dan separuhnya lagi babu yang bisa diperlakukan sesukanya.
Dalam hati kartini, peperangan ini bukanlah peperangan angkat senjata yang saling mengarahkan meriam antara satu dengan yang lain, ini perang kepala, ini perang kemajuan yang senjatanya tidak berupa peluru dan senapan, sebab ia hanya memiliki satu pena untuk dijadikan peluru dalam membunuh kebodohan dan keterbelakangan kebanyakan manusia di zamannya.
Dengan penanya ia terus aktif berkirim surat kepada sahabat-sahabatnya seperti Mr. J.H. Abendon dan Nyonya R.M. Abendon-Mandiri, Nyonya Stella Zeehandelaar, Ir. Van Kol, Nyonya J.M.P. Van Kol-Porrey, Nyonya M.C.E Ovink-Soer dan banyak sahabat pena lainnya.
Hingga akhirnya ia dipersunting oleh seorang bupati yang pernah beristeri tiga pada tahun 1903.
Ditahun yang sama, satu bulan sebelum pernikahannya ayah Kartini berkirim surat kepada sahabat pena Kartini, Tuan Abendon, ayah beliau berkisah tentang calon suami kartini yang menghargai, merasakan, dan turut menghayati cita-cita Kartini.
Dengan begitu, atas pernikahan tersebut kartini akan menjadi lebih baik dan lebih cepat mewujudkan cita-citanya.
Saat pernikahannya tersebut, entah perasaan bagaimana yang dirasakan Kartini, bersuka cita atau justeru sebaliknya.
Yang pasti satu tahun sebelum pernikahannya tersebut pada tahun 1902 dia bersurat kepada Nona Zeehandelaar, berkisah tentang adiknya yang mendahuluinya, sesekali ia juga menyatakan kesepakatannya bahwa harta yang paling suci di dunia ini adalah hati laki-laki yang luhur, serta bercerita tentang dirinya yang menghadapi hari-hari yang berat dan sulit.
Dalam kutipan suratnya itu dia menulis :
“Lihatlah, dia orang yang berkobar-kobar semangatnya untuk usaha mulia yang secara jujur dan sungguh-sungguh mau mengabdi pada kebijakan yang menurut dia teramat baik. Dia menganggap dirinya kuat untuk memindahkan gunung, dan lihatlah, dia berbaring tak berdaya, tak kuasa!”
Lalu, ia mengutip tulisan Genestet dalam Terugblik (pandangan ke belakang) :
Yang kita inginkan, kehendaki, usahakan, menurut budi tinggi.
Manusia bebas jalanmu, hidupmu, tak kau buat sendiri.
Terbang kilat Rajawali berbatas pasti, kemana ia meluncur nanti.
Yang Maha Kuasa menundukkan kemauan si Tegap Teguh,
Bagaikan angin menundukkan ilalang
Letakkan tanah bagi cita mengawang
Di peta cita-cita
Tandai jalan yang hendak kaulalui
Luas dan indah dunia ini
Pilih nasib dan cari jalanmu
Pada cahayamu sendiri!
Tetapi harapkan Dewa Rahmat yang mengarahkan jalanmu.
Dari seluruh yang telah terjadi, R.A. Kartini barulah memahami sajak di atas dengan baik, bahwa yang kita inginkan dan kehendaki dengan budi yang tinggi, sekalipun kita manusia bebas, yang harus kita tahu bahwa hidup kita tak kita buat sendiri.
Si tegap teguh sekalipun harus tahu bahwa yang Maha Kuasa menundukkan kemauannya. Maka pilihlah nasib dan cari jalan kita, pada cahaya kita sendiri dan berharap Dewa Rahmat mengarahkan jalan dan cahaya kita.
Pasca pernikahannya, Kartini harus menyimpan dalam-dalam keinginannya untuk sekolah ke Eropa atau setidak-tidaknya ke Betawi.
Namun bukan pelopor kebangkitan perempuan namanya jika ia berhenti dan tenggelam dengan nasibnya yang demikian itu.
Ia terus dengan gigih berupaya mewujudkan perempuan Jawa dan pribumi yang bebas dan maju, hingga sampailah ia pada masa dimana ia mendapatkan restu dan dukungan untuk mendirikan sekolah wanita.
Pada tahun 1904, diusianya yang ke-25 tahun, diusia yang semuda itu, Kartini mangkat meninggalkan kurungan dan kotak patriarki yang memasung kebebasan hidupnya.
Delapan tahun setelah kematiannya, tepat pada tahun 1912 didirikanlah sekolah wanita lainnya di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan daerah lainnya yang diberi Nama “Sekolah Kartini”.
Ingat Nabs, kalimat dari Kartini, “Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan rasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri” .
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.