Jika kemiskinan endemik Bojonegoro adalah niscaya, yang harus dilakukan hanya dua. Menghadapinya atau sekadar mengamati dan mencatatnya sebagai koleksi data.
Tak bisa dipungkiri ketika ‘kemiskinan’ masih menjadi momok bagi berbagai daerah yang ada di Indonesia. Oleh karenanya, berbagai kebijakan pun dilakukan pemerintah (baik pusat maupun daerah) semata-mata untuk meminimalkan jumlah masyarakat miskin dan tidak mampu, tak terkecuali di Bojonegoro.
Di Bojonegoro, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pada tahun 2019 ini, angka kemiskinan di Bojonegoro turun menjadi 12,38% yang pada tahun sebelumya yaitu 2018 angka kemiskinan di Bojonegoro mencapai 13,16%.
Penurunan ini, meski masih menuai pro dan kontra, haruslah tetap disikapi secara bijak dan optimis karena sedikit banyak penurunan kemiskinan ini juga berkat adanya kebijakan pemerintah daerah (dalam hal ini Pemkab Bojonegoro) serta didukung oleh lembaga-lembaga non-pemerintah lainnya.
Selain itu, potensi sumber daya alam Bojonegoro yang cukup melimpah, terutama sumber daya migas haruslah disikapi dengan bijaksana. Saat ini (September 2020) proyek migas Jambaran Tiung Biru (JTB) masih menjadi ‘primadona’ masyarakat yang banyak menyerap tenaga kerja.
Namun, yang perlu dipahami, bahwa migas adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui yang artinya bahwa ketika suatu saat migas di Bojonegoro habis maka Bojonegoro yang konon sebagai lumbung pangan dan energi yang ada di Jawa Timur akan kehilangan ‘mega-penghasilan’ yang besar dari proyek migas.
Sepatutnya, mulai saat ini pemerintah daerah serta masyarakat Bojonegoro mempersiapkan diri untuk menghadapi habisnya migas yang sampai saat ini masih menjadi landmark Kabupaten Bojonegoro sebagai lumbung pangan dan energi.
Masih berkaca dari Bojonegoro 1900 – 1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia, maka jangan sampai potret ‘kemiskinan endemik jilid II’ ke depan terjadi di Bojonegoro.
Hal ini dapat dipahami ketika suatu saat nanti migas di Bojonegoro habis, potensi ‘kemiskinan endemik’ di Bojonegoro seperti digambarkan C.L.M. Panders, bukan tidak mungkin terjadi lagi di Bojonegoro.
Karena itu, Bojonegoro harus waspada akan adanya transformasi kemiskinan yang mana kemiskinan dapat berbeda bentuk tergantung pada zaman dan konteksnya.
Jika kemiskinan endemik di Bojonegoro pada 1990- an digambarkan sulit irigasi, epidemi malaria, hingga susahnya bahan makanan, maka hari ini dan ke depan, ancaman kemiskinan di Bojonegoro bisa menampakkan ‘wajah’ yang berbeda.
Karena itu, ‘wajah’ kemiskinan endemik yang ke depan akan mengancam Bojonegoro layak untuk mendapat perhatian kita bersama, tentunya bukan hanya menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Bojonegoro semata.
Kira-kira, jika sudah tahu bahwa kemiskinan endemik di Bojonegoro adalah niscaya, kita harus menghadapinya atau sekadar mengamati dan mencatatnya sebagai koleksi data?
Jawaban dari pertanyaan itulah yang akan menjadi orientasi ke depan bagaimana kita sebagai masyarakat, pelan-pelan mulai menata masa depan Bojonegoro.