Tanpa hadirnya kesamaan frekuensi, perjumpaan hanya akan berakhir sebagai perjumpaan. Ia tak akan membentuk visi apapun, kecuali sekadar kesan yang teramat mudah untuk dilupakan.
Kala masih berlabel pelajar, saya sering menggunakan musik atau bola untuk ngecek potensi frekuensi seseorang. Saat saya ngobrol soal musik atau klub bola tertentu dan orang itu nyambung, biasanya tak butuh waktu lama kami jadi sehimpun kawan dalam satu frekuensi.
Pada bidang lain pun sama. Saat bertemu seseorang yang menurut saya berpotensi jadi kawan baik, saya tak pernah ragu meminjami atau memberinya sebuah buku. Jika dia membahas atau setidaknya antusias terhadap buku itu, biasanya tak butuh waktu lama kami akan jadi sehimpun kawan dalam satu frekuensi.
Namun jika hal berlawanan terjadi. Misalnya saat saya kasih buku atau saya pinjami buku atau saya ajak ngobrol soal isi sebuah buku, dan orang itu sekadar pasang wajah formalitas, bisa dipastikan kami tak akan pernah ketemu dalam satu frekuensi. Setidaknya di frekuensi itu.
Obrolan-obrolan atau perbincangan- perbincangan atau keluhan-keluhan terhadap segmen tertentu, menjadi tanda sebuah minat. Sialnya, alih-alih hobi atau bakat, minatlah faktor terpenting nyantholnya sebuah frekuensi.
“Paling membahagiakan dalam hidup yang fana ini, adalah bertemu kawan yang satu frekuensi”. Seorang kawan pernah berkata demikian kepada saya.
Kata frekuensi dalam paragraf tersebut, tentu bermakna luas. Tak hanya urusan personal, sosial, tapi juga bermacam bidang profesional. Frekuensi menjadi wasilah terbentuknya visi dan bergeraknya misi. Tanpa itu, mustahil sebuah tubuh organisasi bergerak.
Beberapa bulan terakhir, saat saya getol menemui sejumlah kawan aktivis dari beberapa kota, kata “frekuensi” menjadi keyword utama perbincangan kami. Frekuensi adalah syarat utama berdirinya sebuah visi bersama.
Tanpa hadirnya kesamaan frekuensi, perjumpaan hanya akan berakhir sebagai perjumpaan. Ia tak akan membentuk visi apapun, kecuali sekadar kesan yang teramat mudah untuk dilupakan.
Tanpa hadirnya frekuensi yang sama, seseorang mustahil mampu membikin visi bersama. Saking pentingnya frekuensi, kawan-kawan bahkan membikin “salam satu frekuensi” sebagai rasa hormat dan syukur telah dipertemukan dengan orang yang sesuai.
Mengingat, di tengah banyaknya populasi manusia, tak semua bisa memahami apa maksud dan keinginan kita. Tak semua mampu menerima olah pikir dan pandangan-pandangan kita akan betapa lucunya hidup, misalnya.
Ada tiga perkara, barangkali yang amat menentukan seberapa besar potensi menjadi satu frekuensi. Ketiganya: bakat, minat dan hobi. Jika di antara tiga hal itu ada yang nyanthol, frekuensi mungkin bisa dipertemukan.
Bakat tentu kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau dilatih untuk mencapai suatu kecakapan. Bakat tak bisa dipengaruhi lingkungan. Kalaupun ada, pengaruhnya sangat kecil.
Sementara minat, merupakan aktivitas yang membangkitkan perasaan ingin tahu, perhatian, dan kesenangan atau kenikmatan. Seorang psikolog asal Amerika Serikat, John Holland mengatakan: Minat menjadi indikator dari kekuatan seseorang di area tertentu, di mana ia termotivasi untuk mempelajari dan menunjukkan kinerja yang tinggi.
Hobi hampir mirip minat. Tapi masih di bawah minat. Sifatnya lebih dipengaruhi lingkungan, sering berubah-ubah dan tidak ada unsur kemampuan dasar yang dimiliki. Ada orang yang masa kecilnya punya hobi menggambar, misalnya, tetapi setelah besar hobinya berganti sepak bola.
Di antara tiga aset potensi sumber daya manusia itu, minat menjadi indikator utama menentukan sebuah frekuensi. Bakat dan hobi menjadi sesuatu yang bisa diabaikan ketika minat mampu dipertemukan. Sebab, minat mampu memicu orang untuk terus belajar.
Minat bukan hobi dan bakat, apalagi cuma passion. Minat adalah kemauan untuk terus berupaya. Dan minat bisa berdiri di sembarang segmen ataupun skena. Minat bisa ditanam di bidang apa saja. Asal punya minat. Asal punya kemauan untuk berupaya.