Keterbukaan informasi meningkatkan kemampuan warga melihat persoalan dan jalan keluarnya. Tak hanya melihat persoalan tapi sekadar merutukinya.
Bojonegoro Institute bersama IDEA melalui Program SPEAK (Strengthening Public Services through the Empowerment of Women-Led Advocacy and Social Audit Networks) dengan dukungan pendanaan dari Uni Eropa dan Hivos, menyelenggarakan diskusi dan media briefing “Akses Perempuan atas Keterbukaan Informasi Pengadaan Barang dan Jasa” pada hari ini, Kamis (5/1/2022) di Ranah Kafé Bojonegoro.
Kegiatan yang bertujuan mendorong peningkatan pelayanan publik ini, melibatkan perwakilan komunitas Suara Perempuan Penggerak Komunitas, Poverty Resource Center Initiative (PRCi), dan jurnalis di Bojonegoro.
Direktur Bojonegoro Institute, Aw Syaiful Huda, menuturkan bahwasanya keterlibatan perempuan dan disabilitas dalam proses pembangunan di Kabupaten Bojonegoro masih cukup rendah, ini sesuai hasil temuan dari penelitian tindakan partisipatif (Participatory Action Research, disingkat PAR) program SPEAK pada tahun 2019 yang dilakukan di 4 (empat) desa.
Hasil kegiatan PAR menunjukkan, kehadiran perempuan dalam kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) belum mencapai 50 persen, paling tinggi hanya mencapai 41 persen.
Sebab itulah, Program SPEAK memberikan pelatihan dan edukasi kepada kelompok perempuan dan disabilitas mengenai literasi perencanaan dan penganggaran pembangunan responsif gender, termasuk diantaranya memberikan pelatihan monitoring partisipatif di tahun 2021.
“Kita perlu dorong partisipasi warga, terutama kelompok perempuan, dalam monitoring pembangunan, guna memastikan kebermanfaatan implementasi program pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, terutama program bagi kelompok perempuan dan disabilitas yang kerap kali terpinggirkan,” tutur Awe, panggilannya.
Program SPEAK juga telah memantik inisiatif para pegiat masyarakat sipil, komunitas perempuan dan disabilitas di Bojonegoro membentuk aliansi yang bernama, Suara Perempuan Penggerak Komunitas (SPeAK).
“Mereka telah melakukan advokasi penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pengarusutamaan Gender, advokasi Musrenbang Khusus Perempuan di Kabupaten Bojonegoro, dan monitoring partisipatif pada program kesehatan dan pendidikan,” ujarnya.
Senada dengan paparan Awe, koordinator SPeaK Suara Perempuan Penggerak Komunitas), Anis Khoirotunnisa, menambahkan, bahwa untuk meningkatkan kualitas partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam pembangunan daerah, maka salah satu faktor utama yang harus dipenuhi adalah kesetaraan dalam pemenuhan akses informasi dan ruang partisipasi publik, bagi kelompok perempuan.
“Agar kualitas partipasi perempuan dalam pembangunan meningkat, maka perlu didukung pemenuhan kesetaraan hak atas informasi publik bagi kelompok perempuan, mulai dari informasi mengenai perencanaan hingga informasi terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah,” kata Anis.
Menurut perempuan mantan aktivis PMII ini, bahwasanya partisipasi dan akses informasi publik merupakan hak konstitusional setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Sementara itu, hak konstitusional setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan dinyatakan dalam Pasal 28C ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Hak atas informasi dan ruang partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan tersebut diatur lebih lanjut dalam perundang-undangan dan peraturan pemerintah serta aturan turunannya. Berkaitan keterbukaan informasi, ada Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. “Yang kemudian secara teknis operasionalnya diturunkan dalam Peraturan Komisi Informasi Publik. Bahkan, Komisi Informasi Pusat telah menerbitkan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik,” tandasnya.
Ia menjelaskan, bahwasanya Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 (disingkat Perki 1/2021) ini mengganti peraturan Komisi Informasi sebelumnya, yakni peraturan nomor 1 tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Terbitnya Perki 1/2021 ini memperkuat keterbukaan informasi publik. Salah satunya berkaitan dengan keterbukaan informasi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Berdasarkan Perki 1/2021, dokumen kontrak berikut dokumen pendukungnya, mulai dari dokumen Kerangka Acuan Kerja, Harga Perkiraan Sendiri berikut riwayat perubahannya, dokumen spesifikasi teknis, berita acara serah terima dan lain sebagainya dinyatakan sebagai dokumen publik.
Setelah terbit Perki 1/2021, Anis berharap agar kebijakan keterbukaan informasi publik ini dapat dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat rentan termasuk perempuan dan disabilitas dalam mengakses dan memanfaatkan informasi publik. Keterbukaan informasi dan pemanfaatan informasi publik tersebut, yakin Anis, dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan dan wacana perempuan mengenai pembangunan, mulai dari permasalahan hingga solusi atau jalan keluarnya.
Karena itu, ia juga berharap agar perempuan aktif meminta atau mengakses informasi publik yang mereka butuhkan, sehingga dapat bermanfaat bagi mereka, misalnya menjadi bahan mereka untuk terlibat dan menyampaikan usulan dalam perencanaan pembangunan daerah.
“Keterbukaan informasi dapat meningkatkan kemampuan warga melihat persoalan hingga jalan keluarnya. Kemudian memantik mereka untuk menyampaikan usulan atau aspirai melalui forum maupun kanal-kanal pengaduan dan aspirasi yang telah tersedia. Tentu ini mempermudah pemerintah dalam menyusun perencanaan pembangunan,” pungkas akademisi IKIP PGRI Bojonegoro tersebut.