Ada yang patut kita syukuri dengan kemewahan zaman kiwari. Terutama mengenai melimpahnya akses teknologi, termasuk di dalamnya dunia digital. Awak dewe cuma perlu uthek-uthek hape, wis nemu opo sing awak dewe goleki.
Mulai dari aneka badhokan yang naudzubilah enak e pol-polan, harga-harga kebutuhan pokok, mencari jodoh, sampai kemudian bisa mencari pengetahuan berdasarkan role model dari figur-figur mengesankan.
Tentu saja untuk mencapainya kita tidak perlu melakukan usaha susah payah seperti di era-era sebelumnya, yang misalnya ketika ingin lebih tahu secara mendalam tentang tokoh A harus mencari buku, koran, atau terbitan tertentu baru bisa mengetahui sosok tersebut.
Sekali lagi, sekarang, semua itu bisa dengan mudah kita temukan hanya dengan sekali pencet melalui ponsel pintar.
Tak jarang kemewahan ini dimanfaatkan sedemikian rupa oleh orang-orang tertentu untuk melakukan ajang pencitraan atau what so called “branding”. Nah, hal ini biasanya seringkali dilakukan manusya-manusya yang haus akan pengakuan publik.
Atau, bahasa singkatnya orang-orang yang butuh apresiasi dari orang lain, berdasarkan apa yang telah dia lakukan selama ini.
Kondisi ini bisa dinilai secara positif, bisa juga dipandang dengan nalar nyinyir, hehe. Positif ketika ia berhasil menawarkan pengetahuan dan pelajaran baru yang mungkin bisa dipelajari, dan menjadi keharusan untuk di-nyinyiri sepenuh hati manakala imbas pencitraan itu tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Khusus yang terakhir ini yang yawla, gatheli banget! Meski tentu saja, kejadian seperti ini tidak bisa diseragamkan sepenuhnya di segala kasus, tapi yang namanya pencitraan ini sudah sedemikian mengganggu buat saya pribadi.
Soal ini, saya ingin cerita. Jadi ada seseorang, sebutlah namanya Fernando Slamet, yang begitu suka pencitraan itu. Setiap kali habis melakukan hal yang dia anggap waw mengesankeund tidak pernah absen dan telat mengunggahnya di media sosial. Dia selalu mengunggahnya dengan caption bernada positif.
Misalnya, Alhamdulillah tadi diberi kesempatan sharing seminar kiat membribik maba dengan hanya sekali chat di depan kaum musafir asmara di kampus, semoga bermanfaat ya.
Atau, seneng banget deh, bukuku berjudul metode tikung dengan sekali sleding minggu ini bisa terbit. Dan sebagainya.
Intinya, selalu ada kalimat positif yang hinggap dalam uraiannya tersebut. Hal ini sebenarnya tidak masalah. Bahkan akan menjadi baik bagi siapapun yang memang berminat belajar lebih.
Tetapi, sejauh pengamatan saya mengenai Fernando Slamet ini, tingkahnya sehari-hari tidak mencerminkan sesuai pernyataannya di sosmed tersebut.
Di kehidupan, toh, dia tetap menekuni dunia perjombloannya itu, alih-alih bicara tentang asmara atau teknik menikung dan sebagainya tersebut.
Titik inilah yang kemudian saya permasalahkan, dan mari sahabat, kita nyinyiri bersama! hehe.
Lalu saya jadi ingat ulasan Reza Nugraha Setiawan di Kompas.com mengenai perbedaan mendasar personal branding dengan pencitraan.
Meski keduanya memiliki cara pandang sama: memperoleh kesan atau pengakuan publik, tetapi sejatinya keduanya memiliki implementasi berbeda.
Personal branding lebih menekankan pada nilai yang disebarkan dan relatif butuh waktu lama, sedang pencitraan hanya berupa bungkus yang tak jarang tak bernilai, yang kemungkinan hanya sesaat.
Sederhananya, ya seperti kasus Fernando Slamet tadi. Ia hanya menawarkan bungkus kosong, karena tak memiliki integritas yang baik mengenai status asmaranya. Dan ia tidak menunjukan nilai yang bisa ditangkap publik secara berlanjut. Alias, cuma sesaat.
Nah, apakah kasus ini hanya menimpa sosok Fernando Slamet? Tentu saja tidak, saudaraku. Jika kita cermat, sebenarnya banyak sosok-sosok seperti ini. Tidak usah jauh-jauh, cobalah berselancar di instagram.
Amati bagaimana orang-orang seperti ini dalam membuat caption, dan pahami riwayat mereka sebelumnya. Jika tokoh itu tiba-tiba bicara buku, sedang di riwayat sebelumnya dia tak pernah bersinggungan dengan buku, maka curigailah dia sedang pencitraan.
Atau, cara ampuh lainnya adalah perhatikan konsistensinya. Jika hari ini dia berlaga menjadi motivator, lalu keesokan harinya bicara leadership, dan berikutnya bicara tentang kiat sukses bagaimana menjadi peternak cebong dan kampret yang baik, sekali lagi curigailah dia sedang pencitraan.
Karena biasanya personal branding lebih menekankan pada keberlanjutan pengakuan di mata publik. Bukan hanya sesaat dan berubah-ubah.
Lalu, apa yang harus kita lakukan ketika menghadapi orang-orang seperti ini? Kalau saya sederhana. Ikuti saja keinginannya, amini perkataanya, lalu ketika dia sedikit lengah, mainkan tangan kananmu.
Tapuklah seketika mulut orang tersebut sembari ucapkan kalimat ini dengan level amarah di atas rata-rata: “Menengo cok! Ojo nggacor wae’.