Jika hidup merupakan seni mengolah pikiran. Maka empati dan kehidupan merupakan bagian yang tak terpisahkan. Namun diperlukan kecermatan untuk memahami “Empati”.
Desa Tiban. Merupakan desa yang kaya akan sumber daya alam dan manusia. Dari tukang copet, tukang qori’, kiai, paranormal, buruh, petani, dan berbagai macam jenis manusia tinggal dan menetap di Desa Tiban.
“Tok…tok..tok…, Drun…Sudrun…., di rumah gak?”, Darsono mengetuk rumah Sudrun. “Ya…iki…, aku ndek omah…,” jawab Sudrun dengan muka agak kesal karena Sudrun sedang menikmati waktu sendiri di senja pada hari kamis malam jum’at, malah Darsono datang tanpa janjian terlebih dahulu.
Sudrun merupakan orang yang tertarik belajar spiritual “yang original alias asli” bukan kaleng-kaleng, apalagi tong-tongan. Kawan belajarnya adalah Darsono. Mereka berguru pada Ki Tiban Full Senyum.
Sudrun tingggal di Desa Rawasepi. Menurut cerita yang beredar, konon di Desa Rawasepi, dulunya adalah daerah rawa-rawa yang tidak full senyum alias sepi. Ada tragedi yang tersembunyi. Hanya orang-orang tertentu, aliran air, rerumputan, dan pepohonan di sekitar rawa yang tahu. Suasana sepinya rawa-rawa, menjadi top list atau tempat teratas untuk memadu kasih, dan beberapa kali tragedi meregang nyawa terjadi di sekitar Rawasepi.
Hari kamis malam jum’at kliwon. Di bulan muharram atau orang-orang Tiban suka menyebutnya “suro”. Darsono berencana mengajak Sudrun untuk mengisi kekuatan (lagi) di padepokan Ki Tiban Full Senyum. Perjalanan dari Desa Rawasepi ke Desa Tiban kurang lebih tiga puluh menit. Melewati alas jati, warung kopi, dan tempat-tempat yang full senyum perempuan dari desa-desa lain. Di sebuah tempat lokalisasi yang bernama Pasar Kadal. “Bocah kok…turu ae, wes sasi suro maneh iki, kamu dicari-cari sama Ki Tiban Full Senyum!”. Jawab Sudrun dengan muka kusam, “Ya….ya…, memang sudah lama saya tidak main ke Desa Tiban.”
“Makanya…mumpung lagi di bulan suro, ayo…kita silaturahim di Desa Tiban.” timpal Darsono. Mereka mengendarai motor sendiri-sendiri. Darsono berada di depan dan Sudrun berada di belakang mengikuti Darsono. Sesekali mereka mengendarai sepeda motor beriringan dan menghidupkan perjalanan dengan obrolan. “No…Darsono…, khodam macan putih teko Ki Tiban Full Senyum bagaimana?”. “Oh…joss..gandos…,” jawab Darsono. “Jangan sampai, ilmu spiritualmu khususnya khodam macan putih berubah jadi kucing atau laron yang suka terbang, nanti membuat nama Ki Tiban Full Senyum jadi Ki Tiban Full Sedih, ahahahaha….” kelakar Sudrun.
“Drun…Sudrun…pantas orang tuamu memberi nama kamu Sudrun. Pancen sudrun tenan dapuranmu…”. Setelah tiga puluh menit perjalanan dari Desa Rawasepi ke Desa Tiban, akhirnya mereka tiba di lokasi pada malam hari. Tepatnya di halaman rumah Ki Tiban Full Senyum. Jika paranormal lain ada yang memasang patung naga, singa, harimau, buaya, dan aneka kingdom animalia (hewan) yang kelihatannya gagah. Di depan rumah Ki Tiban ada patung ayam horn yang dicat hitam, dengan raut muka senyum, seperti nama empunya.
“Salam…selamat malam…Ki Tiban Full Senyum……Ki…Ti..ban…? Di rumah atau tidak?” dari halaman rumah Ki Tiban, Darsono berteriak agak kencang untuk mengetahui keberadaan Ki Tiban. “No..No..yang masih mengganjal dalam pikiranku dan hingga sekarang masih ada sedikit keraguan itu ihwal nama Ki Tiban yang sesungguhnya, masak dari lahir sudah ada nama Full Senyumnya…..?”
“Zzzzzt, tidak usah macam-macam dengan Ki Tiban. Pantas saja ilmu dari Ki Tiban tidak masuk sepenuhnya dalam dirimu. Makanya, hingga sekarang kamu belum menikah. Karena tidak ada perempuan yang mau dengan kamu, Drun.”
“Menikah atau tidak, itu bukannya kehendak dari Pangeran atau Allah?” tanya Sudrun kepada Darsono. Jawab Darsono, “Lha..iya…makanya, selain menikah merupakan kehendak atau takdir dari Pangeran, kamu juga harus usaha mencari salah satu jalannya bisa tanya ke Ki Tiban Full Senyum.”
“Silakan masuk, Sudrun dan Darsono.” Sambutan ramah dari Ki Tiban Full Senyum. “Bagaimana, ada yang bisa saya bantu?” tanya Ki Tiban kepada Sudrun dan Darsono. “Begini..ki, ini kan bulan Suro, apakah tidak ada gemblengan untuk Suro tahun ini, agar kekuatan saya bertambah. Saya ingin belajar ilmu brajamusti, sigar bumi, dan rawa rontek.” Jawab Darsono.
“Maumu banyak sekali, Dar. Berani berapa kamu?” sambung Ki Tiban. “Lima belas juta rupiah, Ki.” Jawab Ki Tiban, “Ah..kalau segitu hanya dapat brajamusti. Dan kalau melihat tampangmu yang sekarang ini belum tentu kamu bisa menguasai ilmu itu. Karena sejatinya hatimu, ingin menjadi manusia biasa. Ada pertengkaran hebat antara sukma dan ragamu.”
“Masak, Ki?” tanya Darsono dengan rasa penasaran yang tinggi. Cukup satu kata jawaban dari Ki Tiban, “Ya”. Kemudian Ki Tiban bertanya ke Sudrun, “Drun…kamu mau apa ke sini?”. “Mau silaturahim, Ki.” Melihat Sudrun yang masih jomlo, Ki Tiban menawarinya mani gajah, “Drun…saya punya mani gajah asli. Kamu mau tidak? Mani gajah agar kamu bisa memperoleh pasangan hidup. Cukup bayar lima juta rupiah.”
“Tidak, Ki…saya ingin menjalani hidup sendiri saja. Ingin seperti sufi-sufi..”. Jawaban Sudrun membuat Ki Tiban Full Senyum bukan hanya jadi Ki Tiban Full Senyum seperti biasa, melainkan Ki Tiban Full Senyum plus-plus menunjukkan senyumnya dengan penuh plus plus alias senyum hingga tertawa terbahak-bahak. Ki Tiban Full Senyum plus-plus kemudian mengusir secara halus Darsono dan Sudrun. “Ya..sudah…kalian ke sini hanya mengganggu meditasi saya saja, lebih baik kalian tutup pintu dan gerbang padepokan ini dari luar”.
Dengan kepala tertunduk layu, mereka keluar dari gerbang padepokan Ki Tiban Full Senyum dengan lambang ayam horn berwarna hitam yang full senyum juga.
Malam semakin larut. Asap khas pedesaan menyelimuti Desa Tiban. Asap dari bakar jerami di depan rumah beberapa penduduk Desa Tiban. Karena ada beberapa penduduk Desa Tiban meletakkan kandang sapi di depan rumah. Sapi dan jerami merupakan dua hal yang tak terpisahkan.
Bulan dengan tampilan penuh menampakkan dirinya. Desa Tiban meskipun malam hari tetap terang karena momentum padang bulan. Desa Tiban dan sekitarnya memperoleh lampu alami dari alam berupa rembulan. “Drun, aku jadi bimbang….mengapa hidupku jadi begini, ya? Selepas aku bercerai dari istriku pertama yang bernama Sri Simpati kemudian aku menikahi Nyai Empati. Padahal, Sri Simpati merupakan kembang desa dari Desa Tambakcicak, sebelum mengenal Nyai Empati, aku tak bosan-bosan memandang wajah Sri Simpati, namun setelah kenal dan menikah dengan Nyai Empati, aku begitu benci terhadap Sri Simpati, aneh bin ajaib”.
“Nah…kalau menurut orang-orang tua di Desa Rawasepi, itu keanehan tampak dari istrimu, Dar.” Jawab Sudrun. Tanggapan Darsono, “Ah…masak, jangan aneh-aneh kamu, Drun, tak gibeng mampus kamu..”. Sudrun memberi jawaban dengan pelan-pelan, “Eh…Dar, dulu di Desa Rawasepi itu ada sinden gunung yang cantik jelita bernama Nyai Empati. Orang-orang memanggilnya ‘Nyai’. Dan pernah suatu ketika ada hajatan besar di desa Rawasepi, Nyai Empati pulang menjelang tarhim subuh berkumandang. Ladalah, keesokan harinya ditemukan mayatnya di pinggir Rawasepi. Dengan luka di bagian payudara dan perut yang mengerikan. Ususnya terburai hingga keluar dan payudaranya tidak berwujud lagi, hiiii. Aku saja cerita ke kamu ini ngilu di bagian dada dan perut, Dar…..”. Darsono semakin penasaran, “Terus…terus?”
(Gedebuk….ada suatu benda yang jatuh dari atas pohon kelapa) “Setan…setan..setaaann…, eh, lambemu, kabuuurrrr…mlayu…demit ora ndulit setan ora doyan….” Mereka lari terbirit-birit. Pada waktu itu, mereka sedang menikmati malam di tepi pantai. Sembari menikmati bulan purnama dan semilir angin malam. Karena Desa Tiban lokasinya tidak jauh dari pantai.
“Jasiiik..bekakas apa tadi, Dar, yang bunyinya gedebuk?” tanya Sudrun. “Tidak tahu, Drun. Kamu itu penakut, dadine aku yo melu wedi.” Jawab Darsono dengan napas patah-patah. Kemudian Sudrun berkata, “Halah…aslinya kamu juga penakut, wqwqwq.”
“Wis..wis..ayo ke musala saja. Saya penasaran dengan ceritamu, Drun.” Sudrun menanggapi, “Hayo…wani piro?”. Darsono menjawab, “Haalah..tidak usah pakai gitu-gituan. Rasa penasaranku sudah klimaks alias berada di titik puncak ini. Saya harus dapat cerita hingga tamat darimu.”
Kemudian mereka menuju ke beranda musala Desa Tiban. Mereka melanjutkan lagi perbincangan yang berhenti karena ada suara “gedebuk”. “Nah…jadi….begini…., meninggalnya Nyai Empati itu kata paranormal di Desa Rawasepi karena luka sepatu but berlapis baja dan tembak. Nah, aku..yang normal saja, merasa hawa-hawa aneh ketika dekat dengan istrimu. Nah, sepatu but berlapis baja dan tembak hanya dimiliki oleh pasukan keamanan loreng. Di desa Rawasepi, ada pasukan keamanan yang akrab disapa Komandan Cempres. Katanya, saking tebal dan ngecempres kumisnya, membuat ia akrab disapa Komandan Cempres. Menurut cerita pada waktu itu, Nyai Empati digagahi oleh Komandan Cempres kemudian dianiaya. Ada satu kuburan dekat Rawasepi, dan di nisannya tertulis ‘Nyai Empati’. Saya penasaran dan curiga, dengan istrimu dan keanehan pada dirimu. Jangan-jangan Nyai Empati yang terkubur itu jadi istrimu? Ihhh…serammm. Nah menurut cerita tetua desa, kamu coba, pas waktu berhubungan badan pakai baju loreng-loreng gitulah. Hal itu untuk membuktikan kalau dia manusia atau bukan. Nyai Empati yang telah mati atau lain lagi. Kamu akan berhubungan badan seperti biasa kalau dia manusia, dan apabila dia berubah wujud dan marah ketika kamu mengenakan baju loreng, berarti benar bahwa yang dikuburan itu menjelma sebagai istrimu…hi…serem banget.”
“Iya…iya…waktu pertama kali bertemu di sekitar pohon beringin, dia bilang kalau jangan pakai baju loreng. Oh..berarti, dia dendam dengan yang loreng-loreng? Dan Ki Tiban Full Senyum memasang raut muka tidak enak ketika aku menceraikan Sri Simpati dan memutuskan kawin dengan Sri Empati. Dan Ki Tiban setelah itu, laku atau perbuatannya berbeda sekali. Kamu lihat kan? Dan ada satu pesan penting dari Ki Tiban, tentang aku harus bisa membedakan S dan E. Dalam pikiranku Sapi dan Entok. La…masak itu, S itu Simpati dan E itu Empati?, waduh…waduh…malapetaka ini….,” ujar Darsono.
“Nah sebenarnya, aku lupa mau cerita tentang Nyai Empati kepada dirimu Dar, dan ini waktu yang mungkin tepat. Nah…itu…jangan….jangan yang selama ini bersamamu????”
Kemudian, bau wangi bercampur bau anyir membersamai laju angin, angin yang tenang berubah menjadi agak kencang, daun-daun tua di pepohonan besar di sekitar beranda musala berguguran. mengiringi kedatangan Nyai Empati. “Mas Darsono…Mas..Dar…malam jum’at…wayahe lho wayahee…waayahe, Mas….”.