Pepohonan yang menaungi Bojonegoro melawan terik matahari telah sirna. Matahari terasa lebih sinis dari sebelumnya. Dan semoga ini semua hanya sementara.
Terik matahari terlalu panas dan menusuk kulit. Bahkan untuk membuka mata pun terasa perih karena teriknya. Khususnya di wilayah Kota Bojonegoro. Matahari terasa lebih tak bersahabat.
Selama ini, naungan pohon menjadi pelindung paling diandalkan. Ruas-ruas jalan utama di pusat kota Bojonegoro (dulu) terlindung oleh pohon-pohon peneduh. Menjadikan jalan bak lorong teduh nan indah.
Kira-kira begitulah ingatan dari suasana bersepeda di jalanan Bojonegoro sepuluh tahun yang lalu.
Kini, menemui penghujung tahun 2022 kondisi sudah menjadi berbeda. Pohon peneduh yang berjenis angsana telah sirna. Disusul dengan pengerukan sisi kanan kiri ruas jalan, menyisakan debu dan puing-puing bahan bangunan.
Berdasarkan keterangan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bojonegoro (2022), ratusan hingga ribuan pohon telah ditebang untuk proyek pembangunan trotoar serta drainase. Proyek ini difokuskan di ruas-ruas jalan utama di pusat kota untuk mengubah tampilan dan suasana.
Pada 2021, sebanyak 427 pohon telah ditebang. Diantaranya adalah ruas jalan Panglima Sudirman, Mastrip, Trunojoyo, Imam Bonjol dan Hasyim Asyari.
Sedangkan pada 2022, penebangan pohon dan proyek pembangunan lebih gencar dilakukan. Sebanyak 1.339 pohon ditebang di ruas jalan Panglima Sudirman, Imam Bonjol, MH Thamrin, Dr. Cipto, Pemuda, Hayam Wuruk, Panglima Polim, Basuki Rahmat serta KH Mansyur.
Dalam kurun waktu 2 tahun, Bojonegoro telah kehilangan 1700-an pohon peneduhnya. Hitungan tersebut belum mencakup pohon yang juga ditebang di wilayah kecamatan lain di Bojonegoro.
Pepohonan rindang yang menaungi Bojonegoro melawan terik matahari telah sirna. Alhasil matahari terasa lebih sinis dari sebelumnya. Sinarnya langsung menembus ruas aspal dan cor.
Menyilaukan setiap orang yang masih harus berlalu lalang dan bekerja di jalan. Sembari menunggu pohon-pohon yang baru ditanam segera merimbunkan dedaunannya.
Menurut perencanaan, pohon yang ditanam kini adalah pohon berwarna dan jenis pohon dekoratif seperti tabebuya dan pule.
Pemandangan ruas-ruas jalan di pusat kota Bojonegoro akan dipercantik dengan hadirnya trotoar apik. Dengan lampu penerangan jalan yang estetik dan kursi yang klasik. Tentu akan menjadi indah, tidak ada yang menyangkal.
Namun di sisi lain, ada konsekuensi yang harus dibayar. Di tahun yang digadang-gadang akan disambut oleh cuaca ekstrem. Perubahan cuaca tak menentu, pagi yang menggigil dan siang yang panas. Angin yang berembus kencang membawa hujan deras bersamanya.
Belum lagi air hujan yang risau tak tahu arah mengalir. Sebab drainase masih proses dibuat, jalanan masih penuh material bangunan.
Dalam proses memberikan wajah baru untuk Bojonegoro, rasanya kondisi alam diminta untuk menunggu. Serasa berkata; sabar dulu dengan teriknya matahari. Toh nanti akan ada pohon yang baru, dan jalanan akan teduh lagi.
Sabar dulu dengan genangan air hujan yang lebih lama menggenang. Toh nanti akan ada drainase yang lebih baik. Sabar dulu dengan debu yang bertebaran. Toh nanti akan ada trotoar ciamik yang bisa jadi wahana hiburan masyarakat.
Jika saja Bojonegoro bisa menawar sang matahari, angin dan hujan. Tidak akan ada orang-orang yang berlalu lalang dan bekerja di jalan dengan memicingkan mata karena terik.
Tidak akan ada orang-orang yang mengeluh merindu jalanan teduh. Tidak akan ada perahu karet BPBD berlalu lalang di ruas jalanan kota ketika hujan deras melanda. Jika saja, alam bisa menunggu. Namun nyatanya tidak.
Program pembangunan seyogyanya menghormati keputusan alam. Berdinamika dengan kondisi alam, bukan berkejaran dengan deadline pagu anggaran. Andai saja bisa pelan-pelan, secara berkala, biarkan wajah kota berevolusi secara perlahan namun pasti.
Semua menginginkan pembangunan ke arah yang lebih baik. Namun resiko dan konsekuensi menghadapi kondisi cuaca masih harus diperhatikan. Justru seyogyanya diutamakan.