Berikut analisis aspek pembangkangan konstitusi atau constitutional disobedience yang berkorelasi dengan determinasi politik dalam kekuasaan kehakiman.
Konstitusi sebagai pedoman praktik bernegara sejatinya perlu mendapatkan pengkajian ulang. Hal ini karena konstitusi seakan diagungkan dari segi substansi, namun dalam paktiknya justru sering diabaikan bahkan dilanggar.
Nabs, salah satu bentuk pengabaian terhadap nilai konstitusi adalah adanya fenomena penggantian hakim konstitusi, Aswanto dalam masa jabatannya yang hanya didasarkan pada pandangan like and dislike oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Komisi III DPR yang menyatakan bahwa sebagai hakim konstitusi yang dipilih melalui mekanisme di DPR, Aswanto, seyogianya harus merepresentasi kehendak DPR dan mendukung setiap kebijakan hukum DPR.
Menurut Ketua Komisi III DPR, hakim konstitusi Aswanto, sering membatalkan suatu Undang-Undang yang diinisiasi oleh DPR.
Hal ini yang menurut Ketua Komisi III DPR sebagai dalih utama pemberhentian dan penggantian hakim konstitusi Aswanto.
Tulisan ini berupaya menganalisis aspek pembangkangan konstitusi yang berkorelasi dengan determinasi politik dalam kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembangkangan Hukum Konstitusi
Pembangkangan konstitusi atau dalam istilah hukum tata negara lazim disebut sebagai constitutional disobedience.
Secara umum, constitutional disobedience dimaknai sebagai pengabaian atau implementasi yang berbeda dari nilai konstitusi.
Secara implisit, L.M. Seidman dalam buku “On Constitutional Disobedience” (2013), memiliki aspek positif dan negatif mengenai constitutional disobedience.
Secara positif, constitutional disobedience merupakan upaya setiap warga negara untuk menyalurkan sikap kritik terhadap substansi konstitusi yang dianggap tidak pro-demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).
Hal ini dapat dipahami karena konstitusi merupakan produk politik dan hukum sekaligus, Nabs.
Sebagai produk politik, konstitusi merupakan resultante dari setiap pandangan masyarakat mengenai norma apa yang harus dicantumkan dalam konstitusi.
Hal ini memungkinkan kelompok “politik dominan” untuk mengupayakan suatu ketentuan tertentu yang dicantumkan melalui konstitusi melalui lembaga perkawilan rakyat.
Di sisi lain, konstitusi juga merupakan produk hukum yang mana setiap penyusunan dan substansi dari konstitusi harus berdasarkan asas dan nilai-nilai hukum umum.
Hal ini berarti, pengabaian terhadap asas dan nilai-nilai hukum umum membat konstitusi kehilangan nilai keberlakuan hukumnya.
Dalam kondisi seperti ini lah maka constitutional disobedience secara “positif” dapat dijalankan.
Selain pada aspek positif, constitutional disobedience juga memiliki dimensi negatif.
Dimensi negatif dari constitutional disobedience adalah ketidaktaatan penyelenggara negara terhadap ketentuan dan semangat konstitusi sehingga dalam praktiknya justru menerapkan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi.
Dalam konteks ini, praktik penggantian hakim konstitusi, Aswanto dalam masa jabatannya oleh DPR sejatinya merupakan pembangkangan terhadap konstitusi setidaknya didasarkan pada dua argumentasi, Nabs.
Pertama, mengacu pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka.
Karakter merdeka dalam kekuasaan kehamikan sejatinya merupakan “ruh” dari kekuasaan kehakiman.
Hal ini berarti, apabila karakter merdeka sebagai “ruh” dari kekuasaan kehakiman dicabut atau tidak dipenuhi, maka matilah kekuasaan kehakiman itu.
Bahkan, sekalipun kekuasaan kehamikan secara fisik masih ada, namun karakter merdeka sebagai “ruh” dari kekuasaan kehakiman tidak optimal diterapkan, maka kekuasaan kehakiman layaknya tubuh tanpa jiwa.
Ia menjadi “zombi” yang hanya menakuti rakyat dan pada akhirnya gagal menjadi pemuas rakyat akan dahaga keadilan.
Mengacu pada praktik penggantian hakim konstitusi, Aswanto dalam masa jabatannya oleh DPR hal ini jelas merupakan pengabaian terhadap karakter merdeka sebagai “ruh” kekuasaan kehakiman.
Pemberhentian secara tiba-tiba hakim konstitusi oleh DPR sejatinya membuat hakim konstitusi “seolah-olah” adalah utusan DPR yang dapat dipecat sesuka hati.
Padahal, sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, hakim konstitusi harus merdeka dari intervensi pihak manapun tak terkecuali dari DPR.
Kedua, sekalipun secara prosedural sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (3) UUD NRI 1945 tiga dari sembilan hakim konstitusi diajukan oleh DPR, namun frasa “diajukan oleh” dalam Pasal a quo sejatinya hanya berkaitan dengan aspek prosedural dalam arti tiga dari sembilan hakim konstitusi harus melalui prosedur tertentu yang ditetapkan oleh DPR.
Hal ini jelas bukan bermaksud untuk menderogasi aspek “merdeka” sebagai “ruh” kekuasaan kehakiman, tetapi hanya memperkuat legitimasi hakim konstitusi yang tiga dari sembilannya telah diketahui kualitas dan kapasitasnya oleh DPR.
Hal ini berarti, original intend Pasal 24C ayat (3) UUD NRI 1945 sejatinya berkaitan dalam aspek prosedural pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, dan tidak berkaitan dengan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.
Lebih lanjut, pemberhentian hakim konstitusi diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang tidak satu pun menegaskan bahwa DPR boleh memberhentikan hakim konstitusi dengan alasan politis sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR.
Mengacu pada ketentuan Pasal 24 juncto Pasal 24C ayat (3) UUD NRI 1945 serta UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka telah jelas bahwa DPR telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi karena telah menghianati makna asli Pasal 24 juncto Pasal 24C ayat (3) UUD NRI 1945 yang dalam paktiknya justru oleh DPR dianggap sebagai upaya DPR untuk mengintervensi kekuasaan kehakiman.
Implikasi
Nabs, secara konseptual, pembangkangan konstitusi tidak memiliki sanksi karena disandarkan pada kesadaran berkonstitusi.
Hal ini karena pembangkangan konstitusi dianggap sebagai “sikap etis” yang seyogianya mendapatkan penilaian etis dan bukan penilaian secara yuridis.
Akan tetapi, fenomena pemberhentian dan penggantian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR adalah pembangkangan konstitusi yang berimplikasi secara yuridis.
Menurut penulis, terdapat dua implikasi yuridis fenomena pemberhentian dan penggantian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR, yaitu: pertama, secara ketatanegaraan, sebagaimana dalam adagium hukum yang menyatakan bahwa, “Politiae legius non leges politii adoptandae” yang bermakna bahwa setiap tindakan politik harus berdasar dan dibatasi oleh ketentuan hukum.
Mengacu pada kasus di atas, pemberhentian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR sejatinya adalah fenomena ketika tindakan politik justru “mengangkangi” dan “membangkang” pada ketentuan hukum.
Hal ini berpotensi menjadi preseden selanjutnya dan bagaimana bahayanya jika politik berjalan, bergerak, serta mengambil keputusan tanpa didasarkan dan dibatasi oleh prinsip dan norma hukum?
Kedua, secara pribadi, hal ini juga merugikan Aswanto yang diberhentikan pada masa jabatannya yang justru didasarkan pada alasan-alasan yang tidak sesuai dengan hukum.
Berdasarkan uraian tersebut, fenomena pembangkangan konstitusi atau constitutional disobedience oleh DPR terkait pemberhentian hakim konstitusi adalah bentuk intervensi lembaga politik terhadap kekuasaan kehakiman.
Sebagaimana dinyatakan oleh Abbe de Sieyes, bahwa, “a constitution is the body of obligatory laws or it’s nothing” yang sejatinya menegaskan bahwa pembangkangan konstitusi yang diwujudkan dalam intervensi atas kekuasaan kehakiman, sejatinya merupakan langkah destruktif yang jika tidak disikapi serta dihindari ke depannya justru akan melemahkan sendi negara hukum yang berdampak pada eksistensi Negara Republik Indonesia.