Klenteng Hok Swie Bio merupakan simbol budaya tionghoa di Bojonegoro. Tak sampai di situ, Klenteng Hok Swie Bio juga sudah jadi ikon kota Bojonegoro. Bagaimana sejarah dari tempat peribadatan Tri Dharma ini di Bojonegoro?
Masyarakat Tionghoa mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah pertama yang didatangi adalah Palembang yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan Kerajaan Sriwijaya.
Kemudian mereka datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Banyak dari mereka yang kemudian menetap di daerah pelabuhan pantai utara Jawa seperti daerah Tuban, Surabaya, Gresik, Banten dan Jakarta.
Masyarakat Tionghoa datang ke Indonesia dengan membawa serta kebudayaannya, termasuk pula unsur agama nya. Dengan demikian, kebudayaan China menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.
Kepercayaan terhadap ajaran agamanya berwujud pada upacara suci dan diperlukan tempat untuk melakukan upacara. Setiap masyarakat beragama di dunia, memiliki suatu tempat ibadah untuk melakukan upacara keagamaan.
Demikian halnya masyarakat Tionghoa. Mereka memiliki tempat ibadah yang dinamakan Kelenteng. Banyak yang mengira kata Kelenteng adalah istilah luar. Tetapi sebenarnya kata Kelenteng hanya dapat ditemui di Indonesia.
Kalau ditilik kebiasaan orang Indonesia yang sering memberi nama kepada suatu benda atau makhluk hidup berdasarkan bunyi-bunyian yang ditimbulkan – seperti Kodok Ngorek, Burung Pipit, Tokek – demikian pula halnya dengan Kelenteng.
Ketika di klenteng diadakan upacara keagamaan, sering digunakan genta yang apabila dipukul akan berbunyi ‘klinting’ sedang genta besar berbunyi ‘klenteng’.
Maka bunyi-bunyian seperti itu yang keluar dari tempat ibadah masyarakat Tionghoa dijadikan dasar untuk menamai tempat tersebut.
Klenteng Hok Swie Bio adalah salah satu wisata religi di Bojonegoro. Klenteng ini merupakan tempat ibadah Tri Dharma yang terkenal dengan ornamen kepala naganya dan didominasi warna merah.
Selain bentuk yang unik, klenteng ini juga dihiasi dengan beberapa ornamen bebatuan di sepanjang dindingnya, yang menggambarkan kepala naga dengan tubuh berwarna biru.
Pada kelenteng ini, terdapat empat pilar utama yang bersimbol naga. Altar depan merupakan altar dari Tuhan Yang Maha Esa. Pada pintu utama terdapat gambar Uti Kiong dan Jin Shok Poo yang merupakan Dewa Penjaga Pintu Utama atau disebut dengan mensien (Dewa Penjaga Pintu).
Dalam klenteng Hok Swie Bio ada tiga Dewa yang dipuja; yaitu Kong Cok Hok Tik Tjeng Sien (Dewa Bumi), Dewi Kuan Im (Dewi Asih Kwan Im Poo Sat), dan Kwam Seng Tee Koen (Dewa Keadilan).
“Klenteng Hok Swie Bio berdiri tahun 1879. Klenteng tersebut diberi nama Hok Swie Bio karena berkaitan dengan apa yang dipuja atau dihormati,” kata Hari Widodo Rahmad alias Tan Tjien Hwat Ketua Pengelola Klenteng Hok Swie Bio Bojonegoro.
Menurut Hari, klenteng tersebut memuja Dewa Bumi (Hok Tek Ching Sing), yang memiliki makna perbuatan baik atau bijak akan memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Kebanyakan kelenteng yang memuja Dewa Bumi, kata dia, kelentengnya diberi nama “Hok”. Hok Swie Bio berasal dari bahasa Hokian, China. Arti dari Hok adalah rejeki. Swie berarti baik. Dan Bio berarti klenteng. Sehingga, Hok Swie Bio berarti klenteng yang membawa rejeki dan kebaikan.
Lukisan di dalam klenteng Hoek Swie Bio bercerita tentang Sun Wukhong. Kisah Perjalanan ke Barat yang populer dengan legenda kera saktinya itu adalah suatu karya legenda China yang luar biasa dalam menggambarkan ajaran Buddha Dharma yang sulit dimengerti oleh masyarakat di Tiongkok waktu itu.
“Ya, lukisan itu persis dengan apa yang dilihat di serial TV dulu, Kera sakti”, kata Endang. Salah satu penjaga klenteng Hoek Swie Bio generasi keempat.
Legenda ini merupakan gambaran kisah perjalanan Hsuan-tsang dengan berbagai kesulitan. Dari seorang manusia yang selalu diliputi berbagai keinginan dan keserakahan (diwakili oleh Chu Pa-chieh).
Kebodohan batin yang merupakan refleksi karakter manusia yang lemah dan selalu membutuhkan dorongan semangat (diwakili oleh Sha Ho-shang).
Kesombongan, keegoisan dan pikiran yang liar (diwakili oleh Sun Go Kong). Dia adalah kera nakal yang tak pernah diam. Selalu bergerak ke sana dan ke sini dengan begitu cepatnya.
Kalau sudah tidak bisa dikendalikan oleh biksu Tong (Hsuan-tsang), maka akan diperingati terlebih dahulu, tapi kalau masih nakal maka akan dibacakan mantra pemberian Avalokitesvara Bodhisattva.
Untuk lebih memahami sejarah budaya tionghoa di Bojonegoro sekaligus Klenteng Hok Swie Bio, yuk Nabs simak liputan video dari Jurnaba.co