Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Kopi, antara Narasi dan Sebuah Kesepakatan

Alfi Saifullah by Alfi Saifullah
22/12/2024
in Cecurhatan
Kopi, antara Narasi dan Sebuah Kesepakatan

“Senandung itu berujung la, 

siul itu mineur Tapi ia terus saja, 

sampai dingin bercampur pada kopi ketiga, 

sampai senyum gugur dan topeng terbuka: “Tak ada lagi, abang, hati saya”

Tak ada lagi, jiwa manis, diri saya”

(Goenawan Mohamad)

Pukul 06.00 WIB. 

Suara orang memesan kopi perlahan-lahan mulai terdengar. Merangsak secepat kilat kedalam gendang telinga. Saling bersahut-sahutan. Bertalu-talu. Berisik sekali.

Kopi adalah Kopi. Kopi bukan sebuah abstraksi yang kian lama kian absurd. Kopi juga bukan bagian dari struktur sebuah kata-kata tertentu. Ia adalah sebuah entitas tersendiri. Definisi kopi telah melampaui kata-kata yang pernah melingkupinya.

Ah, ia juga telah membuang semacam etimologi maupun terminologi yang terserak dalam kamus sejarah peradaban manusia. Lantas menyodorkannya sebagai sebuah urgensitas lain dan essensi yang telah berbeda, tentang sebuah rasa.

Kedalaman rasa yang terpatri kuat dalam lintasan samudera jiwa, kebeningan hati, kejernihan pikiran, dan ketajaman daya pandang. Secangkir kopi untuk sementara telah menghilangkan dehidrasi abadi. Dehidrasi akan sebuah kepuasan yang tak berujung.

Pahitnya kopi berubah menjadi deretan narasi, menguap menjadi kata-kata yang tersapu oleh gumpalan hitam ego kotor manusia. Bahwa kepahitan hidup adalah realitas, telah menjelma menjadi sebuah kenikmatan tak terperi. Menjadi komponen terkecil dari bagian paradoksal kehidupan. Kemudian bertransformasi dalam bentuk dan variabel tak terhingga.

Ada orang miskin ingin kaya, orang kaya malah tak sempat menikmati kekayaannya. 

Yang mandul ingin anak, yang subur berusaha menggugurkannya. 

Si bodoh merangkai kata-kata, yang pintar bersembunyi dalam benteng kebisuan. 

Ah, rumit juga ternyata.

Pukul 06.15 WIB. 

Ibu yang rambutnya telah beruban itu mengucurkan air panas dari sebuah ketel berwarna hitam legam penuh jelaga, dan perlahan-lahan mengaduk-aduk gelas yang ada dihadapannya dengan sendok cekung berlapis kuningan. Pahitnya kopi telah bercampur dengan dengan manisnya gula.

 

Semanis berbagai harapan yang mucul secara tiba-tiba. Menggelayut dan melintas dalam gelombang angan-angan kosong. Antara kenyataan dan harapan berkelindan, tiada beda. Keduanya saling bergulat dengan daya pijar masing-masing. Entahlah, siapa yang pada akhirnya menyandang predikat sebagai juara. Ujung-ujungnya pula tak akan dapat menggeser pintu gerbang takdir meski hanya sejengkal.

Pukul 06.27 WIB. 

Secangkir kopi panas telah mengepulkan butir-butir uapnya. Bau harumnya telah menembus kabut-kabut kepenatan yang membingkai banyak pikiran di pagi itu.

Memutar kembali kisah secangkir kopi dalam lanskap dan bayangan imajinasi, serasa terguyur jutaan tetesan-tetesan embun di tengah panasnya gurun pasir. Kemudian berusaha sekuat tenaga, menyusun satu persatu puzle-puzle kehidupan menjadi kumpulan bilangan tak terhingga. Teguklah secangkir kopi di warung-warung yang reot, di sudut-sudut pasar yang kumuh, atau di gang-gang sempit.

Tak lupa pandangi wajah penjualnya dengan kerut kulitnya yang tampak pucat, seperti bulan di akhir musim senja. Secangkir kopi akan berlabel tunggal, kopi. Hanya kopi. Komponen lain lantas terdiam, tiarap, dan tidak berani menunjukkan eksistensinya masing-masing. Aku cangkir. Aku air panas. Aku gula. Aku kopi. Aku, aku, aku dan sejuta aku tak berujung. Sebuah rangkaian kesepakatan telah tercipta. Kopi. Hanyalah kopi. Kopi telah mencoba bermanifestasi menjadi sebuah kebenaran universal. Mereka luruh dan bercampur dalam entitas tunggal, kopi.

Kopi adalah kopi. Di cafe-cafe bergengsi yang tak terjamah kaum papa. Hingga di kedai-kedai murahan, di pinggir-pinggir jalan. Semuanya terajut dalam satu persamaan, kopi. Hanya kopi. Secangkir kopi telah mengantarkan sejuta perbincangan, beragam episode cerita, rangkaian kata-kata, serta telah membunuh kesunyian dalam kesendirian. Dari situ telah hancur pula berbagai komponen dusta, kebenaran, kemunafikan, dan sikap pura-pura.

Pukul 07.00 WIB.

Secangkir kopi telah habis, tinggal gumpalan-gumpalan kasar yang tersisa. Hanya beberapa sisa dan ampas yang terbuang. Anak bertubuh gemuk itu perlahan-lahan berdiri dan meninggalkan warung. Bau tak sedap keringatnya masih tersisa di bangku yang baru saja ia duduki. Sejurus kemudian teriakan dari penjual kopi menggema, ‘He bayar dulu kopinya mas!’ Keparat juga anak itu, belum bayar sudah nyelonong pergi.

Secangkir kopi telah menjadi kata-kata. Kata-kata yang selalu terulang sejak kemarin, kini, dan esok yang belum pasti.

Tags: Cecurhatan JurnabaEsai Kopi
Previous Post

BRIDA Bojonegoro dan Urgensi Pendiriannya

Next Post

Mae, Izinkan Nasehat-nasehatmu Ku Jadikan Pedoman di Hari Ibu

BERITA MENARIK LAINNYA

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital
Cecurhatan

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

14/06/2025
Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran
Cecurhatan

Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

12/06/2025
Raja Baletung dan Spirit Ekologi Bojonegoro
Cecurhatan

Raja Baletung dan Spirit Ekologi Bojonegoro

11/06/2025

Anyar Nabs

Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

15/06/2025
Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

14/06/2025
‎Kampus PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

Kampus ‎PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

13/06/2025
Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

12/06/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Penerbit Jurnaba
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • PUBLIKASI
  • JURNAKOLOGI

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: