Aku masuk ke dalam lingkar organisasi. Ada rokok sisa dari kegiatan itu, dua bungkus, satu buatku dan satunya lagi buat temanku.
Malam pulang. Pagi menggantikannya. Subuh berlabuh. Aroma shampo dan minyak wangi menelusup ke hidungku dari arah belakang kemudian menyalip, menyalibku seperti Yesus.
Menghirup bau perempuan-perempuan itu rasanya aku ingin kembali ke ranjang, ikat tubuhku supaya aku berteriak dengan klimaks, ikatlah seperti menyalib Yesus, jika bukan mengikat, apapun itu lakukanlah, asal tidak lepas tubuhku.
Terlentang, telanjang, terpampang. Naiklah kalian keatasnya, tindihlah dengan tubuhmu, jangan dengan batu, aku bukan Bilal bin Rabbah yang pandai mengumandangkan Adzan. Adzan subuh telah berlalu.
Perempuan-perempuan itu menuju sebuah pabrik rokok yang menghadap ke selatan, dekat dengan pom bensin itu. Aromanya membikin nafsu para mandornya yang botak, berkepala plontos, semulus dompet kulitnya, dan perut yang buncit.
Suaminya mengantarkannya sampai ke gerbang pabrik saja, tanpa ciuman, tanpa pelukan. Sehabis ia di masakkan buat sarapan nanti, sebelum berangkat kerja kuli, serabutan atau berangkat ngopi. Mereka meninggalkan anak-anaknya yang masih lelap tertidur, memeluk guling yang ia sangka bapak ibunya.
Ketika mereka terbangun nanti, mereka ditipu, ibumu kerja, supaya bisa membelikanmu mainan, kamu sekolahlah yang pintar, cepat mandi, sarapan dan berangkat ke sekolah!.
Pernah suatu malam, sehabis ngopi.
Aku melewati jalan itu. ku lihat dipagar gerbang parbik yang tertutup sebuah tulisan “Lowongan Pekerjaan, Khusus Perempuan” ditulis dengan huruf balok semua seolah-olah mata orang miskin barangkali tidak jelas membacanya. Orang bilang gaji perempuan jauh lebih murah dibanding laki-laki, tenaga mereka kecil, tapi mereka tekun. Sepanjang perjalanan itu aku membayangkan mereka, berparas cantik dan berkulit bersih, tapi siapa yang tau kesehatannya?
Barangkali jantungnya sesak setiap hari menghirup bau tembakau, barangkali air susunya bercampur keringat pahit setelah seharian bekerja membungkus rokok, bagaimana dengan anaknya yang masih nenen? Juga suaminya.
Di musim kemarau. Kala kali Pacal tak mengalir airnya. Tapi dibeberapa bagian masih terdapat air yang menggenang, berlumut dan hijau. Bapakku menanami tanah dipinggirannya dengan tembakau Jawa. Tembakau jenis ini sudah jarang ditanam oleh orang-orang pada umumnya. Peminatnya hanya sedikit, tapi masih ada juga.
Daunnya yang lebar dan leletnya sangat lengket, belum lagi baunya juga sangat menyengat. Biasanya aku membantu bapak membuang bagian tangkainya sebab terlalu besar dan akan merusak alat pasahan jika ia diikutkan memotong. Bapak memilih alat manual yang bernama (Pasah) berbeda dengan petani tembakau lainnya yang menanam jenis tembakau Virginia disawah, mereka memotongnya dengan mesin.
Dan jenis Virginia itu adalah tembakau penjajah, tembakau yang ditentukan dengan Kongsi perdagangan. Mereka mendapat bibitnya dari bos pabrik tembakau kemudian jika panen mereka akan menjualnya ke bos itu lagi. Sungguh dengan ikut memotong dan menjemur tembakau itu kulitku terasa menjadi kuning bahkan kadang mendekati pucat.
Aroma tembakau yang ku aduk mencari bentuk memanjang supaya mudah ku tata di (Widik) atau anyaman bambu itu sesekali membuatku batuk dan memacu jantungku. Tapi, inilah sebuah proses, pencari cita rasa, budaya yang tak boleh hilang, aku menyukainya. Suatu saat aku harus menjadi seperti bapak.
Beberapa tetanggaku, yang perempuan, mereka juga bekerja dipabrik itu. bahkan sudah bertahun-tahun. Hingga anaknya tamat SD, kemudian sunat, bahkan kuliah dan menikah. Bapakku hanya pelaku kecil, tidak mampu membayar pekerja, ia melakukannya sendiri kadang bersama ibuku. Pernah tembakau milik bapakku, di musim panen yang pertama, ketika pertama kali menanam tembakau, ada seorang bos, Cina, dengan mobilnya melihat tembakau bapakku, ia katakan bagus, tapi endingnya si Cina itu tak jadi membelinya, entah sebab apa aku tak tahu.
Tapi setelah itu, bapak menitipkannya disebuah toko kelontong, tembakau itu dibawa, dengan dibayar separo dan separonya lagi setelah semua habis. Setelah itu tembakau bapak terkenal didesaku dan sekitarnya. Juga seseorang yang memiliki anak keterbelakangan mental, itu adalah langganan bapak, bahkan kadang bapak memberinya cuma-cuma.
Kasihan, anaknya yang keterbelakangan itu rokoknya ngeces, setiap seminggu sekali habis. Pernah, dulu, katanya, sebelum berlangganan ke bapak orang itu kehabisan tembakau dan anaknya ngamuk, kertas bekas ia glinting untuk merokok anaknya.
Sebab bila tak ada rokok, anak itu tidak bisa tenang. Sebenarnya anak itu sudah seumuran kakakku. Mestinya aku juga memanggilnya Mas, tapi kadang kita menyepelekan seseorang yang keterbelakangan, dengan memanggilnya tidak dengan unggah-ungguh.
Malam itu pukul 00.30, sesampainya dirumah. Pintu depanku sudah terkunci, bapak dan ibu dibelakang menyiapkan barang dagangan yang akan dijual ke pasar kota nanti jam dua malam. Bapak melihatku dan berkata,
“Setiap hari selalu pulang malam. Dari mana saja?.”
“Kamu sekarang merokok. Mau jadi apa kamu?.” Ibu menambahi kemarahan bapak.
Aku hanya diam saja lewat dipinggir mereka kemudian masuk ke kamar dan menyulut rokok. Hari itu adalah hari dimana aku ketahuan menyimpan sebungkus rokok di tasku bagian depan. Setiap kakak perempuanku pulang dari Tulangan Sidoarjo, tempat Minke dan Nyai Ontosoroh pergi setelah Annelies ke Belanda ia selalu menggeledahi tasku. Ia menemukan rokok dan memberitahukannya ke Ibu.
Aku cemas, tapi berusaha tenang. Sudah saatnya, sudah saatnya aku merokok dan keluargaku mengetahuinya, teman-temanku dan orang dimuka bumi ini. Kalian harus tahu bahwa aku perokok. Aku penyumbang pemasukan negara lewat rokok, aku apresiasi perempuan-perempuan bershampo wangi itu, juga tetanggaku. Tapi ibu marah, ibu tak inginkan aku jadi nakal dan merokok, bapak hanya tak ingin aku nakal sebab akhir-akhir ini aku sering pulang malam. Tapi bapak, seperti yang terlihat dimatanya, sebuah isyarat bahwa tidak masalah aku merokok, sebab bapak juga merokok. Dan aku begitu bangga mempunyai bapak seorang perokok.
Aku ceritakan kepada kalian kenapa aku sering pulang malam dan merokok. Aku mengalami babak baru dalam hidup, yaitu masa kuliah. Aku masuk ke dalam lingkar organisasi. Ada rokok sisa dari kegiatan itu, dua bungkus, satu buatku dan satunya lagi buat temanku.
Teman-temanku semua merokok dan gemar ngopi. Aku ikuti mereka dan yang senior juga. Tapi, ini bukan masalah senioritas dan solidaritas organisasi. Aku akan menolak sesuatu meskipun itu dari atasan jika tidak cocok bagi nuraniku.
Merokok dan ngopi apa salahnya? Sejak saat itu aku menjadi perokok aktif. Rokok pertama yang ku beli adalah Djarum Super 12 filter. Tapi setelah itu aku sering bergonta-ganti merk rokok, juga perempuan. Masa muda adalah masa bodoh bagi semuanya.
Kini aku tambatkan hatiku kepada Gudang Garam, dari Surya hingga Gudang Garam Merah kretek. Perlahan aku mulai sering merokok kretek, aku merasakan nikmatnya dalam setiap hembusan asapnya yang tebal, seperti kabut. Pada rokok kretek itu aku menemukan kebebasan tembakau yang bercumbu langsung dengan bibir menghitamku, tak ku temukan satir atau hijab yang berupa gabus seperti rokok filter. Tapi dadaku terkadang terasa sesak dan batuk, kemudian ia, gadisku, memarahiku dengan cerewet, sesekali juga, hingga ia capek dan membiarkanku merokok lagi.
Aku merokok didalam kamar setelah aku ketahuan. Tapi aku tidak berani rokok dihadapan bapak dan ibu, aku menaruh hormat kepada mereka, biar suatu saat semua berjalan sesuai waktunya. Pacarku juga tahu aku merokok, dia tidak marah, aku suka sekali perempuan yang tidak melarangku merokok dan menutup hidungnya kala aku merokok dihadapannya.
Aku ingin mereka menghargai separuh dari kaum mereka yang buruh dipabrik rokok. Bila mereka menyuruhku berhenti merokok maka ku katakan kepada mereka “Aku merokok sebab aku berfikir, aku tak bisa berfikir tanpa rokok, juga termasuk memikirkanmu. Jika kau ingin aku berhenti merokok, maka aku juga tidak akan memikirkanmu.”
Maka dia akan diam beribu bahasa. Aku merasa tak pernah sakit sebab merokok, selain batuk dan sesak nafas sesekali, itu tandanya aku harus memberi jeda, aku yang tahu daya tahan tubuhku sendiri. seperti berlari aku tahu kekuatanku, berapa kilo jarak yang mampu ku tempuh.
Aku akan membela perokok jika mereka didholimi. Tapi sungguh, aku tidak ingin berdebat, bahkan dengan dalil agama, aku akan menghindar, lebih baik aku pergi, menyendiri di warung kopi. Bila ada ulama ataupun temanku yang mengharamkan rokok maka itu terserah mereka. Jangan mengajakku berhenti merokok. Juga jangan mengajakku berbuat baik dengan cara yang tak ku sukai.
Aku baru saja membaca dari situs internet tentang jumlah perokok usia muda yang semakin bertambah sehingga Indonesia mendapat julukan Baby Smokers Countries. Aku tertawa, mengingat masa SMA ketika aku dan teman-temanku mulai mencicipi rokok, itu enak sekali. Dulu aku adalah bagian dari mereka. Dan kini aku sudah cukup umur untuk merokok. Dan berita online yang kubaca adalah ini:
Indonesia, Negara dengan Jumlah Perokok Terbanyak di Asean
Laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region menunjukkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean, yakni 65,19 juta orang. Angka tersebut setara 34% dari total penduduk Indonesia pada 2016.
Sekitar 79,8% dari perokok membeli rokoknya di kios, warung, atau minimarket. Adapun 17,6% membeli rokok dari supermarket. Di Indonesia terdapat 2,5 juta gerai yang menjadi pengecer rokok. Angka ini belum memperhitungkan kios penjual rokok di pinggir-pinggir jalan.
Filipina adalah negara Asean dengan jumlah perokok terbanyak kedua, yakni 16,5 juta orang atau 15,97% dari jumlah penduduk. Vietnam di posisi ketiga dengan jumlah perokok 15,6 juta orang atau 16,5% dari jumlah penduduk. Di Filipina, 96,4% perokok membeli rokok di supermarket. Adapun di Vietnam 68,4% perokok membeli rokoknya di kios, warung atau minimarket dan 28,8% membelinya di pedagang kaki lima.
Aku adalah bagian dari mereka semua. Jika mereka dianggap penyumbang pemasukan negara maka aku adalah salah satunya dan jika mereka didholimi maka aku juga salah satunya. Entahlah mengapa negara ini seperti demikian. Keikut sertaan bapakku masuk kedalam salah satu partai politik rupanya juga tak membantu nasib para perokok meskipun didalam tubuh partai itu mayoritas adalah perokok.
Bapakku hanyalah pengikut setia, koordinator bawahan yang acap kali ditilap dan hendak digeser kedudukannya oleh orang-orang yang menganggap dirinya lebih baik dan berpendidikan. Harapan bapak adalah aku, tapi siapa yang mau? Tapi aku kalah dengan kata ini, siapa yang tahu?. Beberapa kali aku menolak.
Aku berdoa supaya aku tak masuk kedalam lobang politik. Aku ingin sesuatu yang bebas. Seperti burung layang-layang, bukan seperti anak sapi yang diikat pada lehernya. Tapi siapa yang tahu?
Sungguh, aku berdoa. Suatu ketika, sehabis aku gajian pertama akan ku belikan kretek buat bapak, Djarum 76 kretek, yang akan ia habiskan sambil mencangkul ditepi kali Pacal, menanam tembakau dan menikmati hari tuanya.
Jika ia bosan dengan rokok itu, mungkin seperti yang ia lakukan biasanya, ia akan mematahkan sebatang rokok dibagian tengahnya, kemudian mengambil tembakaunya, menaruhnya dikertas rokok dan ia campurkan rokok 76 dengan tembakau Jawanya.
Kita akan merokok bersama diruang tamu, Bapak, aku, kakak laki-lakiku. Sementara ibu, kakak perempuanku dan istri kakak laki-lakiku membuat kopi didapur, mereka juga akan bergabung dengan kita diruang tamu nanti, buat ngobrol, apa pentingnya berkeluarga. Aroma kopi, asap tembakau mengepul dalam ruang tamu rumah kecil kita yang berada di jalan kali Pacal.
Selain itu kita akan memakan ketela, kacang dan pisang yang kita panen dari tanah dipinggir kali Pacal itu juga. Kita berpesta, bukankah hidup adalah serangkaian pesta-pesta?. Kelahiran, ulang tahun, pernikahan dan kematian, juga pesta-pesta lain yang kita rayakan dengan bahagia diatas penderitaan orang lain.
Tapi hingga kini aku belum bekerja.