Sebuah catatan tentang kehidupan kunang-kunang dan perantau yang hilang tak pernah pulang.
Malam minggu sebuah perayaan panjang yang menjadi idola bagi anak-anak urban berkebangsaan. Kota kecil telah lahirkan peradaban baru bagi pegiat tongkrongan, pacaran, hingga mingguan.
Serasa tiada pagi buta yang gugur di bawah matahari terbit sembunyikan angin dari timur. Jelmaan nasib hilir mudik ke sebuah sawah yang tidak pernah terjamah.
Sepuluh tahun terakhir, orang-orang tinggalkan kampung halaman, satu persatu merayakan pesta perpisahan, tiada ciuman bibir, tiada yang bisa nahan pelepasan pelukan, pulau sebrang menjadi rujukan bagi bangsa maju mapan yang mereka pikirkan. Menjadi perantau lebih jauh dari cita-cita yang pernah digagah-gagahkan di dalam kelas bersama sepantaran sekolahan.
Berisik sabtu malam belum selesai di kepala ribuan anak-anak kota. Mela ingin sekali pergi, ke sebuah tempat yang didambakan selama ini. Sejak duduk di bangku sekolah ia selalu bertanya kepada guru sejarahnya. Tentang museum kebudayaan dan perantau yang hilang tidak pernah pulang.
Apalagi kepada ibunya yang saban pagi sebelum berangkat ke sekolah ia selalu mendapatkan cerita tentang budaya adat jawa dengan pelbagai peranannya. Perempuan kerap dinikahkan sejak dini sebelum menuntaskan pendidikan di perguruan tinggi pilihan hidupnya.
Memang, minggu bukan hari keluarga bagi Mela, seperti teman-teman sekolahnya menghabiskan waktu berjalan-jalan, dan berburu tawa di pusat kota. Berbelanja, bekerja sampai melupakan waktu untuk belajar memahami kenapa hidup harus menjadi perempuan belia. Kalau Mela boleh memilih sebelum kehidupan diciptakan, ia memilih menjadi angin yang abadi.
Malam itu, Mela sama sekali tidak bisa tidur. Huru-hara kampung halaman yang senyap dan pengap dari kepungan polusi di kota kecilnya, membuatnya menulis surat untuk Adi sebelum pukul pagi kereta akan membawanya pergi.
Satu lembar surat telah tersirat, ia akan segera tidur, kantuk menghitung malam begitu suntuk. Kedua mata yang sipit tidak lagi terhimpit. Kantung mata mengendapkan sisa-sisa anak kota yang dibuang jelang malam di kampung halaman. Malam terlelap sampai lepaskan mimpi ke dalam tubuh Mela yang tabah.
Matahari buru-buru terbit, sedangkan angin timur berhenti, kabut menutup sebagian jendela kamarnya. Ia bangun lebih awal, lebih awal dari subuh, lebih awal dari ratusan ayam tetangga. Ia suka melamun dan bersandar di jendela kamarnya.
Mela membuka jendela, hanya ada satu bintang yang menantang dirinya menjadi lebih terang daripada kunang-kunang. Kontak mata pun terjadi, ia menjadi orang pertama yang kuat menahan diri sebelum matahari berlain hari.