Sepakbola dimainkan di halaman pasar, jalanan beraspal, bangunan kosong, hingga yang amat ekstrim: kuburan dengan nisan sebagai gawangnya.
Sepakbola jadi salah satu cabang olahraga yang sangat digemari semua kalangan usia, dari pelosok desa hingga penjuru dunia. Tak terkecuali di tempat kelahiran saya, Desa Kuncen Kecamatan Padangan.
Di desa kami, sepakbola menjadi makanan sehari-hari. Waktu ketemu, yang diobrolin bola. Waktu nganggur, main bola. Bahkan kalau saya seorang lelaki, saya pasti juga bakal main bola.
Untung saya seorang perempuan. Jadi lebih suka memasak daripada memasukkan bola ke gawang. Tapi meski begitu, saya sering suka dengar teman-teman saya yang laki-laki bercerita soal sepakbola.
Orang-orang di tampat saya, terutama yang laki-laki, tak peduli berusia SD atau SMP atau SMA hingga kuliah, sering banget dan tak pernah bosan membahas sepakbola. Baik berkomentar saja ataupun memainkannya.
Guna menciptakan kesadaran akan pentingnya olahraga dan menumbuhkan jiwa kompetisi, masyarakat di desa kami menggelar pertandingan bola mini yang cukup melegenda. Namanya Kuncen Cup.
Kuncen Cup sudah ada sejak saya masih kecil. Saya kuliah di Madura, dan kebetulan Kuncen Cup dilaksanakan bebarengan dengan saya pas libur semester. Walhasil, saya selalu menyempatkan diri untuk menontonnya.
Meski hanya event desa, peserta yang berpartisipasi datang dari berbagai daerah. Kuncen Cup dilaksanakan tiap akhir tahun. Desember lalu, misalnya, ada 32 tim yang ikut berpartisipasi dalam pertandingan tersebut.
Sebagian peserta dari Desa Kuncen dan beberapa lainnya dari desa sekitar Kecamatan Padangan. Bahkan ada pula tim yang berasal dari luar Kecamatan Padangan. Dengan pemain yang tentu saja, beragam suku-bangsa-dan-bahasa.
Meski pelaksanaan laga dilaksanakan di tengah-tengah desa, atmosfer pertandingan serasa di Allianz Arena atau Old Trafford. Maklum, selalu dipadati penonton yang bersorak ramai saat tim kebanggaannya mencetak gol.
Padahal itu sepakbola mini. Cuma dimainkan 5 orang. Bukan sepakbola beneran yang harus dimainkan 11 orang di lapangan. Coba bayangkan kalau sepakbola beneran yang dimainkan masing-masing tim 11 orang, tentu bakal tawuran. Hehe
Di tempat kami, tradisi main bola tumbuh seperti rumput liar di pekarangan rumah. Selalu ada dan kian berganda. Di tiap generasi, tak pernah mati. Meski anehnya, tak ada satupun dari warga kami yang pernah jadi pemain profesional.
Sepakbola memang permainan yang kadang tak butuh label profesional untuk bisa menikmatinya. Itu yang saya amati dari tradisi main bola di tempat kami. Meski sesungguhnya, anak-anak muda di tempat kami, punya skill bermain yang amat mumpuni.
Bakat main bola bagus tapi tak pernah lanjut ke tataran profesional, disebabkan minimnya akses. Sehingga banyaknya SDM ber-skill tak pernah terlacak. Tapi itu bukan masalah. Sebab yang dicari kepuasan bermain bola. Belum atau bukan prestasi.
Di tempat kami yang amat padat penduduk ini, ketiadaan lapangan bukan menjadi soal. Sepakbola dimainkan di halaman pasar, jalanan beraspal, bangunan kosong, hingga yang amat ekstrim: kuburan dengan nisan sebagai gawangnya.
Untuk yang terakhir, sudah jarang dilakukan karena anak-anak muda di tempat kami membikin gawang kecil dari besi dengan panjang sekitar setengah meter. Meski masih main di lahan pekuburan, tapi gawangnya sudah bukan nisan. Hehe
Jadi jangan heran saat melintas di sana, lalu menyaksikan anak-anak yang tampak asyik main bola di jalan raya seperti di Brazil ataupun Argentina. Soalnya, di sini, anak-anak amat lihai menyiasati minimnya tanah lapang.
Desa kami tak pernah berhenti melahirkan pemain-pemain bola. Meski sekadar bernuansa street football, sepakbola menjadi hiburan paling menyenangkan yang tak butuh banyak biaya untuk melakukannya.
Ohya, pada Kuncen Cup Desember 2019 lalu, juara pertama diraih tim Ngeri Ngerong FC dari Kecamatan Purwosari. Sedang runner up diraih BK FC dari Kecamatan Padangan.
Keasyikan dan keriuhan main bola di Kuncen Cup bukan didasari hadiah dan jumlah trophy, tapi lebih pada kesenangan dan kebersamaan khas anak-anak yang amat menyenangkan.