Beberapa hari ini, tagar #layanganputus jadi riuh perbincangan warga Twitter. Karena tak terlalu peka pada isu-isu medsos, saya tak memberi perhatian lebih pada tagar tersebut.
Hingga secara tak sengaja, saya membaca kisah #layanganputus yang amat viral tersebut dari postingan status FB seorang teman. Ada tiga cerita kalau tak salah. Saya sempat buka link-nya satu persatu.
Setelah saya amati, sesungguhnya kisah #layanganputus hanya sebuah status FB panjang. Ditulis serampangan dengan tanpa proses editing memadai. Namun, saya kira, pesannya sangat mudah ditangkap.
Dari tiga bagian cerita yang sempat saya baca, berkisah tentang pergolakan batin seorang ibu rumah tangga. Seorang janda anak 4 yang ditinggal suaminya. Ya, apalagi kalau bukan urusan cinta dan rumah tangga.
Intinya, urusan rumah tangga. Dan kisah cinta dari perspektif rumah tangga, tentu tak semudah menceritakan kisah cinta versi mereka yang belum berkeluarga yang hanya butuh kata-kata melankolis atau romantis belaka.
Dan si penulis #layanganputus ini, meski banyak typo, terbukti mampu menceritakan kisah yang dia alami dengan amat telaten.
Dari pemahaman yang sempat saya tangkap, cerita #layanganputus berkisah tentang rumah tangga seorang perempuan dengan 4 anak dan suami yang sangat agamis. Yang akhi-ukhti dan abi-umi-able begitu.
Rumah tangga tersebut baik-baik saja dan bahagia. Tak kekurangan suatu apapun. Punya banyak anak dengan pendapatan yang stabil. Saya kira, itu kebahagiaan yang nyaris sempurna bagi para pemilik rumah tangga.
Namun, seperti plot cerita sinetron Indonesia yang mudah ditebak, masalah muncul ketika terjadi ketidaksetiaan dari sang suami. Ya, bapak dari 4 anak itu, punya kenalan baru. Seorang perempuan muda yang cukup cantik.
Mungkin karena sering berkomunikasi dengan kenalan barunya tersebut, si suami mulai tak terlalu peduli pada istri dan anak-anaknya. Puncaknya, si suami lupa daratan dan katut babonan liyo. Dan tak menunggu waktu lama, perceraian antara si ibu penulis cerita dan suaminya pun terjadi.
Si suami tersebut meninggalkan istri dan ke-empat anaknya yang masih teramat kecil-kecil. Demi hidup bersama dengan perempuan cantik yang baru saja dia kenal.
Kisah selanjutnya, berkutat pada betapa susah dan menyedihkannya ibu tadi merawat dan membesarkan ke-4 anaknya, tanpa kehadiran si suami yang mungkin sedang menikmati musim kawin bersama istri barunya.
Ya, inti dari cerita #layanganputus adalah kebahagiaan rumah tangga yang ambyar akibat keberadaan orang ketiga. Atau rumah tangga yang ambyar akibat ketidaksetiaan si suami pada istrinya. Atau kisah nelangsa seorang janda yang membesarkan ke-4 anaknya, sementara si suami sedang sibuk beternak.
Menurut saya, yang menarik dari viralnya kisah #layanganputus adalah respon netizen. Para pembaca kisah tersebut, bisa secara tiba-tiba memiliki ikatan emosi untuk mendukung si istri tadi dan secara kompak mengutuk tingkah laku si suami.
Ini membuktikan bahwa teknologi tak hanya memudahkan manusia menjalani hidup. Tapi juga memudahkan solidaritas terbangun. Banyak dari mereka yang tak mengenal ibu si penulis #layanganputus secara personal, tapi berduyun-duyun memberi dukungan moral.
Begitupun sebaliknya, banyak netizen yang tak mengenal suami dari si penulis #layanganputus, tapi berduyun-duyun mengutuk dan mencaci dan menghina dan membombardir lelaki itu dengan celaan dan doa yang tak baik-baik saja.
Selain banyak yang mengutuk, banyak pula yang menyayangkan. Memiliki istri cantik dan 4 orang anak, tapi justru tergoda dengan perempuan lain dan memilih meninggalkan kebahagiaan yang dia bina selama bertahun-tahun bersama istrinya.
Di luar konteks cerita, saya mencatat perihal menarik dari kisah ini. Di era digital, saat seorang berbuat khianat atau tak setia dan dengan bodoh tak segera menutupi kekurangannya itu, yang mengutuk tak hanya satu orang. Tapi ratusan hingga ribuan orang.
Kutukan sosial tersebut, tentu tak hanya berdampak secara sosial, tapi juga kesengsaraan psikologis yang berulang hingga 17 kali renkarnasi seperti Cu Pat Kay dalam kisah Journey to the West.
Sebab, sekuat apapun kita menunjukkan bahwa semua baik-baik saja, sesungguhnya tak ada yang baik-baik saja, dalam ketidaksetiaan. Sialnya, ketidaksetiaan punya efek candu yang memicu pelaku mengulang — tanpa sadar— tabiat kegiatannya tersebut.
#layanganputus, sepintas menunjukkan betapa buruknya tabiat lelaki yang tak setia pada istri hanya demi perempuan lain. Kesannya memang lelaki tersebut salah dan hina dan naif dengan apa yang dia lakukan. Terlebih, dengan label agamis yang dia sandang.
Tapi, saya percaya jika cerita tak bisa berdiri sendiri. Ada latar belakang dan pemicu kenapa semua itu terjadi. Bisa jadi, si suami punya alasan di balik ketidaksetiaannya pada sang istri. Entah karena bosan sama istrinya, atau karena tak bisa menahan nafsu melihat perempuan cantik.