Lego Braille lahir sebagai media belajar bagi penyandang tunanetra. Bahkan, di Bojonegoro, ada musisi yang membikin Not Balok Braille untuk memudahkan penyandang tunanetra membaca chord.
Nabs, fakta itu menunjukkan betapa banyak orang baik yang peduli pada penyandang tunanetra.
Jika Lego bukan sekadar permainan anak-anak, tentu bukan hal baru. Tapi, jika Lego untuk pembelajaran tunanetra, tentu sebuah inovasi baru nan mencerahkan. Lego Braille merupakan intervensi yang disambut baik.
Seperti kita tahu, Lego sangat membantu mengoptimalisasi kemampuam motorik anak sejak dini. Persegi bermotif timbul dan warna-warni ini, sangat menarik perhatian serta mudah digenggam.
Nabs, Lego Foundation telah meluncurkan Lego Braille untuk penyandang tuna netra. Awal ide proyek Lego Braille, diperkenalkan oleh Danish Association of the Blind pada 2011 lalu. Kemudian, kembali di-followup oleh Dorina Norwill Foundation for the Blind.
CEO Lego, John Goodwin mengatakan, perkembangan anak-anak tuna netra dan pengidap gangguan penglihatan sangatlah penting. Mereka juga memiliki cita-cita dan dunia untuk dijelajah. Karena itu, Lego Braille hadir memicu proses belajar mengajar mengenal braille lebih menyenangkan.
Seperti dikutip dari CNN, Lego Braille memiliki 250 buah blok. Meliputi alfabet braille lengkap, angka dari nol sampai sembilan, simbol matematika, dan inspirasi pengajaran dengan permainan interaktif. Karya ini merupakan sebuah terobosan dalam metode pembelajaran bagi tunanetra.
Dalam wawancara dengan New York Times, Diana Ringe Krogh, salah seorang pengawas proyek untuk Lego Foundation menjelaskan, konsep ini akan melahirkan pengalaman baru dalam proses belajar tunanetra.
“Mereka hampir tidak menyadari kalau sedang belajar. Ini merupakan pendekatan pembelajaran melalui permainan,” kata Krogh dilansir dari New York Times.
Konsep tersebut berasal dari Asosiasi Tunanetra Denmark (Danish Association of the Blind) pada 2011. Mereka mengusulkan kepada LEGO Foundation — Sebuah yayasan milik LEGO Group — yang mempunyai misi mengembangkan metode pembelajaran melalui permainan.
Dan pada 2017, Dorina Nowill Foundation for the Blind — sebuah yayasan tunanetra berbasis di Brasil — mengusulkan ide yang sama. Yayasan berharap metode ini bisa memerangi krisis melek huruf braille yang terjadi akibat kemajuan teknologi.
Thorkild Olesen sebagai Presiden Asosiasi Tunanetra Denmark, menyampaikan pada New York Times bahwa kemajuan teknologi memicu banyak anak tunanetra memilih berhenti belajar braille. Sebagian dari mereka bahkan tak melek braille sama sekali.
Sebelum ada LEGO model braille muncul, permainan kartu UNO dan blok alfabet braille sudah muncul duluan. Membawa konsep yang sama, sebagai media alternatif untuk belajar braille.
Bersyukurlah bagi kamu yang terlahir normal. Kamu masih bisa melihat indahnya dunia. Maka dari itu jangan malas untuk membaca. Karena kamu tahu bahwa buku itu untuk dibaca. Bukan untuk difoto dan dipajang di feed IG saja.
Di Bojonegoro, Not Balok Braille untuk media belajar penyandang Tunanetra
Dalam dunia musik, not balok braille juga hadir. Sebagai alternatif untuk tunanetra agar bisa membaca chord ataupun not balok. Chord braille ini telah dikembangkan oleh musisi Bojonegoro, Guntur Endra.
Ide ini tercetus saat Guntur mengajar musik untuk anak berkebutuhan khusus. Guntur mencari cara agar anak tersebut bisa membaca chord. Sehingga bisa memainkan musik sesuai dengan nada.
“Jadi not braille ini saya kembangkan, agar anak-anak main musiknya tidak hafalan melainkan bisa membaca chord dari suatu nada,” ungkap Guntur.
Ternyata kemajuan teknologi tak melulu membawa dampak negatif. Dengan adanya kemajuan teknologi banyak melahirkan inovasi baru dari hal apapun. Meski negeri sedang tidak baik-baik saja. Masih banyak orang baik yang melahirkan kabar baik bagi kita semua.
Setelah ini akan ada inovasi apa lagi ya? Akankah ada inovasi baru lagi yang lebih hebat? Tidak sekadar hebat, namun juga harus tepat nan bermanfaat agar berguna bagi kemaslahatan umat.