Tiap awal Mei, buruh di seluruh belahan bumi akan turun ke jalan sambil membawa berbagai macam spanduk demi memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. Namun, sadarkah kita bahwa semua orang adalah buruh?
Nabs, ada nggak sih di dunia ini yang bukan buruh? Saya kira semua orang di dunia ini adalah buruh. Buruh bagi lembaga, buruh bagi orang lain, atau bahkan buruh bagi angan-angan dan nafsu duniawinya sendiri.
Karyawan memburuh pada supervisor. Supervisor memburuh pada manajer. Manajer memburuh pada direktur. Direktur memburuh pada komisaris. Komisaris memburuh pada pemilik modal. Dan pemilik modal memburuh pada nafsunya sendiri.
Oke, pengusaha ya? Ada yang bilang pengusaha itu bukan buruh. Kata siapa? Pengusaha juga memburuh pada klien. Pengusaha juga memburuh pada pasar. Emang bisa usaha tanpa klien? Emang bisa usaha tanpa tunduk pada pasar?
Tak ada yang tidak memburuh. Sekecil-kecilnya proses memburuh adalah memburuh pada nafsu dan keinginan duniawi. Hayo!
Semua orang, pada hakikatnya adalah seorang buruh. Namun, anehnya, yang mau turun ke jalan dan meminta tuntutan hanya sosok-sosok yang ada di rantai makanan paling bawah. Bukankah ini sangat lucu?
Lha memang, kalau pemilik modal mau protes dan turun ke jalan, apa dan siapa yang diprotes?
Ya biarkan mereka menuntut dirinya sendiri lah. Masak menuntut balik para buruh di rantai makanan paling bawah? Masak menuntut Tuhan agar memperbesar kekayaannya? Tentu itu tidak etis.
Para pemilik modal harusnya ikut memperingati May Day dengan cara menuntut dirinya sendiri agar lebih manusiawi memperlakukan buruh. Toh dia juga buruh. Buruh bagi nafsu dan keinginan dirinya sendiri.
Suprapto adalah satu dari sekian banyak buruh yang ada di Bojonegoro. Tak seperti buruh lainnya yang turun ke jalan atau libur saat May Day berlangsung, Suprapto tetap bekerja sebagai seorang buruh tani.
Sebagai seorang buruh tani, harapan Suprapto pun tak muluk-muluk. Bukan upah tinggi, bukan pula jaminan kesehatan yang memadai. Ketersediaan lapangan kerja sudah lebih dari cukup bagi pria berusia 47 tahun tersebut.
“Buat saya yang penting itu ada pekerjaan. Biar bisa dapat penghasilan untuk diberikan kepada istri dan anak,” ungkap buruh tani yang menggarap lahan sawah di Desa Pacul tersebut.
Suprapto yang sudah 15 tahun terakhir ini jadi buruh tani adalah representasi sederhana dari kehidupan buruh di desa. Tanpa serikat, tanpa perkumpulan, Suprapto dan banyak buruh tani lainnya hadir untuk kehidupan kita.
Sejarah Perayaan May Day
Nabs, tahu nggak kalau May Day itu awalnya hari rayanya kaum Pagan (penganut agama-agama kuno) di Eropa. Setiap 1 Mei, kaum Pagan merayakannya sebagai hari pertama berkecambahnya tanaman di musim semi.
Masyarakat Celts dan Saxons kuno, merayakan May Day sebagai hari raya Beltane atau hari raya Api. Bel adalah Tuhan Matahari bagi kaum Celtic. Hayoo yang sedang bereuforia tapi takut dosa… Wqwqwq
Tapi, tenang, tenang, tenang. Seperti yang diungkapkan Coen Husain Pontoh, tidak ada yang menyimpulkan bahwa peringatan May Day di era modern ini, sebagai kelanjutan tradisi suku bangsa Celtic di Kepulauan Inggris itu.
Sejarah May Day modern adalah sejarah gerakan perlawanan kelas pekerja terhadap penindasan kelas borjuasi. Pasca terjadinya revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Perancis pada abad ke-18.
Dalam Manifesto Komunis, Karl Marx menyebutkan, muncul sebuah masyarakat baru bernama masyarakat kapitalis. Karl Marx dan Frederick Engels menjelaskan, ciri-ciri masyarakat baru itu sebagai:
“Masyarakat borjuis modern yang tumbuh dari reruntuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, dan bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau.
“Tetapi zaman kita, zaman borjuasi, mempunyai sifat istimewa: ia telah menyederhanakan pertentangan-pertentangan kelas. Masyarakat seluruhnya semakin lama semakin terpecah menjadi dua golongan besar yang langsung berhadapan satu sama lain – borjuasi dan proletariat.”
Berdasar dari analisa tersebut, kelangsungan hidup masyarakat borjuis didasarkan pada penghisapan atas kaum proletariat. Penghisapan itu sedemikian kejam hingga kelas buruh hanya bisa bekerja untuk makan hari ini demi mempertahankan hidupnya agar bisa bekerja pada esok harinya.
Karena itu Manifesto mengatakan, proletariat adalah sebuah kelas yang hanya hidup selama mereka mendapat pekerjaan, dan hanya mendapat pekerjaan selama kerja mereka memperbesar kapital. Hmm ~
Yah, yah, yah, oke. Kita memang tidak pernah bisa menghilangkan batas antara buruh dan majikan. Antara proletariat dan borjuis. Sebab karena itu pula, kita bisa mempertahankan hidup. Tapi, bukan berarti kita harus tunduk pada ketidakadilan kan?
Disuruh salat 5 waktu saja susahnya minta ampun, masak disuruh-suruh bos buat kerja lembur tanpa tambahan gaji langsung mau? Ya harus berani memban…. hehehehe ~