Salah satu pertanyaan yang sering muncul di benak saya ketika mengingat khazanah sejarah peradaban Islam di Kedungpring Lamongan adalah semenjak kapan Islam masuk dan berkembang di wilayah tersebut? Pertanyaan itu sebenarnya sudah terjawab kemudian dengan ditemukannya makam Syekh Hasan Ali di daerah Karangpilang, Modo.
Disebutkan dalam cerita tutur setempat Syekh Hasan Ali merupakan sahabat dari Sunan Ampel yang berdakwah di daerah Lamongan. Akan tetapi minimnya sumber primer yang menyebutkan informasi itu membuat pertanyaan tersebut kembali muncul ke permukaan.
Jika dikaitkan dengan riwayat sejarah Islam dengan spektrum yang lebih luas di wilayah Lamongan pada umumnya. Nama Desa Kedungpring juga erat kaitannya dengan satu daerah yang menjadi awal mula persebaran Islam di Lamongan.
Secara garis besar, di Lamongan terdapat banyak tokoh yang berjasa dalam merintis gerakan islamisasi dan dakwah di Lamongan. Tokoh-tokoh tersebut masing-masing mempunyai cakupan wilayah tersendiri dan memiliki periodisasi masa yang berbeda.
Secara kronologis, Islam masuk pertama kali di Lamongan menurut catatan yang ada adalah di desa Drajat, Paciran lewat putra dari Sunan Ampel, yang kita kenal sebagai Sunan Drajat. Beliau memulai dakwahnya di abad ke-15 Masehi.
Dalam periode dan tempat yang sama, juga terdapat sosok Raden Nur Rohmat yang merupakan santri dari Sunan Drajat. Sosok satu ini menjalankan misi dakwahnya di daerah Sendang Dhuwur Paciran, yang tidak jauh dari lokasi Sunan Drajat.
Kehadiran keduanya di pesisir Lamongan, membawa pengaruh yang cukup luar biasa terhadap perkembangan Islam di Lamongan, khususnya wilayah Lamongan Pantura. Namun, untuk wilayah Lamongan tengah dan Selatan belum banyak tersentuh di era ini. Mengingat dakwah Sunan Drajat tidak lewat jalur politik.
Aktivitas dakwahnya hanya terbatas pendidikan kepada santri-santri dan pendekatan budaya pada masyarakat sekitar, hal ini tentu berbeda dengan metode dakwah dari Sunan Giri yang menggunakan jalur politik sebagai basisnya. Tak heran pengaruh giri lewat Kerajaan Giri Kedaton, mempunyai skop yang lebih luas.
Kota Lamongan, yang secara teritorial adalah wilayah dakwah Sunan Drajat pun menjadi salah satunya. Di era Giri Kedaton (1481-1680 M), khususnya ketika masa kepemimpinan Giri II atau Sunan Dalem, yang memulai ekspansi wilayah di sekitar Gresik.
Peran dan pengaruh Giri Kedaton tampak pada kehadiran pendakwah di Lamongan, seperti halnya di era Sunan Dalem, ia mengirim putranya yang bernama Sunan Deket, untuk berdakwah di Lamongan, demikian juga utusan dari Sunan Prapen (Giri III) yang mengirim dan melantik adipati pertama yang bernama Rangga Hadi yang menyandang Gelar Pangeran Tumenggung Suraja pada 26 Mei 1569 M. Kemudian di masa-masa akhir Giri, terdapat Raden Panembahan Agung Singodipuro yang berdakwah di daerah Badu, Wanar, Lamongan.
Kedungpring dan Titik Pelarian
Sebenarnya sangat sulit untuk merekonstruksi sejarah dan menyusunnya sebagai sebuah cerita yang utuh. Selain periodisasi masa yang jauh, Kedungpring saat itu juga bukan merupakan sebuah pusat persebarannya, Kedungpring hanya merupakan bagian kecil yang tidak menjadi titik persinggungan berbagai peristiwa sejarah penting. Namun ada satu fragmen sejarah yang menyinggung Kedungpring sebagai salah satu titiknya.
Penyebarnya ialah Raden Panembahan Agung Singodipuro salah seorang cucu Pangeran Singosari penguasa Giri yang terakhir. Ia hidup di era Giri sudah diambang kehancuran, dengan eksistensi Mataram yang mulai mengincar Giri sebagai daerah kekuasaannya. Tatkala Giri berhasil dikalahkan oleh Amangkurat II yang bekerja sama dengan Kompeni Belanda pada tanggal 25 April 1680, Raden Panembahan Agung Singodipuro berhasil meloloskan diri ke desa Kradenanrejo wilayah Kedungpring.
Dalam fase pelarian di Kedungpring ini, Raden Singodipuro kemudian juga sekaligus menyebarkan dakwah Islam disana. Setelah sekian lama di Kedungpring, ia Kemudian melanjutkan persembunyian di Gunung Liman Nganjuk dan lereng Gunung Wilis. Disana beliau berhasil mempersunting putri Adipati Magetan yang bernama R.A. Koening.
Keduanya kemudian bebadra (mengambil tempat untuk tinggal) di tengah hutan jati di wilayah Lamongan yang kemudian berubah menjadi sebuah padepokan di sebelah utara Kedungpring yang diberi nama padepokan Badu Wanar. Dari dusun ini menurut cerita tutur setempat, agama Islam disebarkan oleh Panembahan Agung Singodipuro dan anak cucu-cucunya ke desa-desa sekelilingnya sampai ke Ngimbang, Jombang, bahkan sampai ke wilayah Bojonegoro.
Era 1800 an
Setelah era Pangeran Singodipuro belum ditemukan riwayat tokoh-tokoh yang berdakwah di wilayah ini. Bisa saja ada sosok pendakwah yang hidup dan berjuang di wilayah Kedungpring akan tetapi minimnya bukti dan literatur yang ada membuat hipotesa ini sulit untuk dibuktikan secara ilmiah.
Fase fatrah atau kekosongan itu terus berlanjut hingga sekitar awal 1800-an. Di era itu kemudian muncil sosok pendakwah yang bernama Kiai Nurmadin. Ia merupakan putra dari Penghulu Musytari Baureno. Konon ia merupakan sosok pendakwah yang menyebarkan Islam secara bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa keturunannya yang tersebar di banyak tempat. Pun Kiai Nurmadin ketika wafat tidak dikebumikan di Kedungpring, melainkan di Baureno tanah kelahirannya.
Kiai Nurmadin juga dikenal sebagai sosok ulama yang tidak hanya mempunyai kemampuan intelektual dan spiritual belaka. Ia juga dikenal sebagai seorang ulama yang -sakti. Dikisahkan untuk menggambarkan keramatnya konon jika beliau menghendaki, jika ada burung yang lewat di atasnya burung itu bisa mati seketika. Hal ini bisa dimafhumi, mengingat di era 1800 an masyarakat Kedungpring dikenal masih abangan. Walaupun di era sebelumnya sudah ada pendakwah yang mendakwahkan Islam di sana.
Kiai Nurmadin Sendiri dipercaya sebagai keturunan Syekh Abdul Jabbar, Nglirip. Keberadaannya di Kedungpring bisa dilacak dari keberadaaan keturunannya. Hal ini juga didukung dengan adanya manuskrip silsilah yang menyebut nama Kiai Nurmadin. Terbaru, ditemukan pula sebuah manuskrip mushaf di Padangan koleksi Kiai Syamsuddin Betet yang menyebut nama Kiai Nurmadin, Kauman di halaman sampulnya.
Nama Kiai Nurmadin sebagai pendakwah di wilayah Kedungpring membuat banyak sekali santri yang berguru kepadanya. Diantara murid-murid yang masih bisa dilacak adalah santri yang kemudian ia jadikan menantu.
Diantara yang paling menonjol adalah Kiai Hasan Razi (kelak menurunkan Pengasuh PP. Langitan) dan Kiai Syamsuddin Betet (Kelak menurunkan Kiai di sekitar Padangan.) Kiai Hasan Razi menyunting putrinya yang nomer 6 bernama Nyai Kasminah binti Nurmadin. Dan Kiai Syamsuddin menyunting putrinya yang bernama Nyai Mursinah binti Nurmadin.
Era 1900 an
Di era abad 20 atau awal 1900 jaringan peradaban Islam di Kedungpring masih didominasi oleh dzurriyah dan jaringan dari Kiai Nurmadin. Era ini bisa dibilang menjadi tahun-tahun emas Kedungpring. Bagaimana tidak di era ini dari rahim desa Kedungpring lahir banyak sekali tokoh-tokoh ulama dan pejuang agama Islam yang menyebar dari kedungpring. Dan kesemuanya merupakan bagian dari keluarga besar Bani Nurmadin yang merintis perjuangan di era 1800 an.
Diantaranya di awal tahun 1900-an ada sosok Kiai Alwi dan Kiai Rowi. Kiai Alwi merupakan cucu dari Kiai Nurmadin. Keduanya saling bahu-membahu menopang jalannya dakwah dan pengajaran Islam di Kedungpring. Kiai Alwi dan Kiai Rowi merupakan cucu dari Kiai Nurmadin.
Keberadaan Kedungpring sebagai pusat persebaran Islam di wilayah Lamongan selatan semakin ditegaskan di era 1900-an ini. Dari keturunan Kiai Nurmadin yang menjadikan dusun Kauman sebagai pusat aktivitas keilmuan pun di datangi para santri dari berbagai wilayah di sekitar Kedungpring. Hingga saat ini pesantren-pesantren ataupun sosok-sosok yang berdakwah di sekitar Kedungpring, sebagian besar biasanya memiliki afiliasi keilmuan ataupun afiliasi genealogis yang kembali di Kedungpring.
Sebagai contoh di era itu ada sosok Kiai Zahid Kauman, yang juga merupakan cucu menantu dari Kiai Nurmadin. Kiai Zahid menyunting Nyai Alimah yang merupakan putri dari pasangan Kiai Hasan Razi dan Nyai Kasminah. Dari Kiai Zahid inilah yang kelak menurunkan Kiai Abdul Hadi Zahid (w. 1971 M) (Pengasuh PP. Langitan ke-4), KH. Ahmad Marzuqi Zahid (w. 2000 M) hingga KH. Abdullah Faqih (w. 2012 M).
Di Kauman sendiri pada zaman juga terdapat pesantren yang didirikan oleh KH. Muchsin (w. 1970 M). Beliau juga merupakan keluarga besar dari bani Kiai Nurmadin. KH. Muchsin merupakan adik ipar dari KH. Abdul Hadi Zahid. Pesantren itu bernama PP. Hidayatul Akbar. Setelah era kepengasuhan KH. Muchsin (w. 1970 M), pesantren tersebut diteruskan oleh putranya KH. Muhammad Ridwan (w. 1998 M). Dan kini diasuh oleh putranya yaitu Agus Husnul Yaqin.
Dari kedua pesantren tersebut saja sudah bisa kita lihat jaringannya saat ini, tak terhitung tentu jumlahnya santri yang kemudian mengepakkan sayap dakwah di wilayahnya masing-masing dengan mendirikan pesantren atau lembaga dakwah.