Melalui edisi Di Balik Nama Jalan, kami berupaya membuktikan bahwa seorang pahlawan bukan hanya sekadar nama jalan. Berikut ini deskripsi sederhana dan sosok empiris di balik Jalan Lisman.
Apa yang terbesit dalam pikiranmu ketika mendengar Jalan Lisman? Apakah Dukuh Pohagung? Dukuh Mlaten? Desa Campurejo? Nabs, Jalan Lisman merupakan jalan yang berada di Kecamatan Bojonegoro dengan kode pos 62119.
Beberapa objek yang beralamatkan di Jalan Lisman; SDN Campurejo 1, Masjid Baitur Rahmat, Pondok Pesantren Roudlotul Ulum, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Universitas Terbuka (UPBJJ Bojonegoro), SDN Campurejo 2, TK Putra Bangsa, Polsek Bojonegoro Kota, Balai Desa Campurejo, perpaduan agrowisata dan kuliner yakni K-Noman, Taman Wisata Mliwis Putih, Moriza Studio, Rumah Sakit Ibnu Sina, dan sebagainya.
Dari objek yang telah disebutkan, kita bisa tahu mengenai gambaran antropologi sosial budaya — cabang antropologi yang mempelajari hubungan antar orang dan kelompok serta mempelajari bagaimana orang-orang tersebut memahami dunia di sekitar mereka, berkaitan dengan struktur sosial, filsafat, literatur atau sastra, seni pengetahuan, adat istiadat, dan pranata masyarakat (KBBI V Daring).
Ketika orang-orang bercerita tentang Jalan Lisman maupun melihat beragam aktivitas yang terjadi di Jalan Lisman merupakan gambaran antropologi sosial dan budaya.
Hal-hal yang berkaitan dengan antropologi sosial dan budaya yang terjadi di Jalan Lisman, misalnya tradisi sedekah bumi Eyang Manis yang dilakukan oleh masyarakat Desa Campurejo dari tiga dukuh yaitu Dukuh Mlaten, Pohagung, dan Plosolanang.
Tradisi tersebut juga merupakan ajang silaturahim antar warga.
Jalan Lisman menjadi saksi bisu tradisi yang dimulai dari Balai Desa Campurejo dan berakhir di Makam Eyang Manis. Selain itu ada Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) yang biasanya digelar di Masjid Baiturrahmat dan Pondok Pesantren Rodulotul Ulum.
Jalan Lisman juga menjadi saksi bisu langkah kaki maupun roda kendaraan yang melintas. Di tahun 90-an sekitar Jalan Lisman merupakan areal persawahan, seringkali ular maupun tikus melintas di jalan.
Namun sekarang sawah-sawah menjadi objek seperti rumah, toko, dan sebagainya. Di tahun 90-an, Jalan Lisman menjadi saksi bisu keramaian Taman Wisata Mliwis Putih yang sekarang hanya tinggal bangunan dan kenangan.
Ketika pengguna gawai belum marak seperti sekarang. Jalan Lisman juga menjadi saksi bisu langkah kaki punggawa tim yang berlaga di Liga Kangkung. Seperti tarkam, di mana mempertemukan pengolah si kulit bundar dari Dukuh Pohagung, Mlaten, Plosolanang, dan sebagainya.
Salah satu hadiahnya ialah hewan ternak (unggas), hal tersebut memberikan pesan tentang kebahagiaan dan kesederhanaan. Tidak perlu yang mewah dalam kehidupan, namun perlunya sesuatu sederhana yang bisa diraih dengan usaha bersama. Liga Kangkung menjadi hiburan warga Desa Campurejo dan sekitarnya. Tak jarang tensi tinggi mewarnai pertandingan.
Selain itu Jalan Lisman juga pernah digunakan untuk menonton layar tancap. Mengingat pada waktu itu, intensitas kendaraan tidak seramai sekarang. Juga pernah ada beberapa warnet dan tempat main Playstation yang berdiri di Jalan Lisman.
Kalau ditinjau dari Google Maps, morfologi Jalan Lisman seperti lintasan dragrace. Bentuknya lurus, selurus tekadmu menggapai mahabahnya ~
Namun jangan sering memacu adrenalin di jalan tersebut kalau tidak ingin terjadi suatu hal yang tak diinginkan. Bukan karena alasan metafisika, melainkan seni yang ada di jalan dengan bentuk menyerupai polkadot tiga dimensi.
Ketika hujan tiba, tak jarang kawasan itu tampak benar-benar polkadot tiga dimensi, karena memiliki volume/isi dan menimbulkan efek getar (lubang jalan). Selain itu berhubungan dengan penerangan jalan. Namun disadari atau tidak, karakteristik dari Jalan Lisman salah satu di antaranya adalah dua titik dengan mode menanjak yang berada disekitar Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan dekat TK Putra Bangsa.
Nama Lisman sendiri merupakan pahlawan yang lahir di Gedongarum (Baureno) pada tahun 1931. Merupakan putra dari keluarga Kartohamidjojo yang merupakan pensiunan Kepala Desa Gedongarum. Pendidikan formalnya tamat SD-V di Kanor, tahun 1945/1947 di SMP Tuban, dan Tahun 1948 di SMP Peralihan di Surakarta (Kelas III). Lisman berjuang tahun 1946 dan wafat pada tanggal 7 Januari 1948.
Sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Bojonegoro, dengan jabatan anggota regu sejak berdirinya TRIP Bojonegoro, aktif dalam kegiatan operasional yang ditugaskan oleh TRIP Bojonegoro. Sang kusuma bangsa itu gugur pada tanggal 7 Januari 1949 di bukit Beron (Rengel) dalam pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam usia 18 tahun.
Pada tanggal 8 Januari 1949 dimakamkan di Bukit Beron, kemudian pada tanggal 26 Januari 1950 makamnya dipindah di Taman Makan Pahlawan (TMP) di Kota Bojonegoro yang berada di Jalan KH. Hasyim Asyari. Selain nama Lisman sebagai jalan dan abadi dalam buku Sejarah Perjuangan TRIP Bojonegoro, namanya juga tertera bersama pasukan TRIP yang lain di sebuah tugu TRIP yang berada di Alun-Alun Kota Bojonegoro.
Baik nabsky, itulah Pahlawan Lisman yang namanya diabadikan sebagai Jalan dalam rangka menghargai dan menghormati perjuangannya. Nampaknya, pesan kepahlawanan juga belum tersampaikan. Mirip dengan Jalan DI. Panjaitan.
Apabila Nabsky jalan-jalan di area Kecamatan Bojonegoro pada pagi hari, maupun mengendarai sepeda motor. Jangan lupa menikmati sensasi pagi hari di Jalan Lisman. Selain itu kamu harus mencoba mampir ke sebuah warung yang menjual serabi, ketan, dan kopi di Jalan Lisman. Selain itu masih banyak jalan kecil maupun gang yang ada di Jalan Lisman seperti Jalan Wariman yang dulunya bernama Jalan Mangkurat, Gang Baeno, dan lain-lain.
Itulah Nabs gambaran tentang Jalan Lisman. Seyogianya sebagai warga Bojonegoro tahu dan bangga dengan perjuangan pahlawan seperti Lisman. Agar namanya tak hanya sekadar nama jalan, melainkan semangat juangnya juga bisa kita warisi dan tularkan dari generasi ke generasi, wabilkhusus dalam menghadapi era disrupsi. Tentu jalan juang di masa itu berbeda dengan sekarang. Namun ghirah untuk jihad terbesar — melawan hawa nafsu — dalam diri, tetap sama.