Ageisme. Tentu banyak yang kurang paham tentang makna kata itu. Maklum, diskriminasi jenis ini jarang diketahui. Terutama jika dibanding sesama diskriminasi yang lain, yang populer kita sebut dengan singkatan SARA.
Ageisme merupakan jenis diskriminasi terhadap individu berbasis usia. Lebih sarkasnya, meremehkan seseorang hanya karena dipandang tidak sesuai usia. Ini sebentuk diskriminasi lho, Nabs. Hehe
Diskriminasi usia, kau tahu, bisa menyerang lansia maupun anak muda. Meski, mayoritas korbannya adalah para lansia. Stereotip melalui penggunaan gaya bahasa tertentu, sangat berpengaruh pada kepercayaan diri dan perilaku lansia.
Kecenderungan kita meremehkan kemampuan lansia. Setelah berulang kali mendengar stereotip bahwa lansia tidak memiliki daya upaya, mereka bakal merasa dirinya sebagai warga dependen dan tidak dapat memberikan kontribusi apa-apa.
Nabs, ketika orang tua mendengar stereotip tentang ketidakmampuan dan ketidakberdayaan mereka, secara otomatis mereka akan salah menilai kemampuan diri sendiri. Sekaligus mengurangi kinerja memori. hmm
Dalam kegiatan sehari-hari misalnya, orang tua cenderung tidak dipercaya melakukan sebuah pekerjaan, hanya karena kita anggap kemampuan mereka sudah berkurang. Padahal, toh belum tentu juga kan?
Ageisme atau diskriminasi usia tidak hanya terjadi di kalangan orang tua. Anak-anak muda juga merasakan hal sama. Teramat banyak orang dewasa yang masih menganggap remeh skill seseorang hanya karena dia masih muda.
Tidak hanya menyangkut usia tua. Stereotip dan persepsi bahwa pekerja berusia lebih muda kurang cekatan dan kurang ahli juga terasa di kalangan anak muda. Meski, tentu saja, anggapan itu sering terpatahkan.
Banyak anak muda usia sekolah yang sudah memiliki skill bertahan hidup dan berkarya. Bahkan, tidak sedikit pula yang sudah bisa menghasilkan sesuatu. Namun, mereka masih dianggap sebagai anak kecil yang belum bisa apa-apa.
Fakta itu menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang memandang segala sesuatu tidak berbasis objektivitas. Melainkan anggapan pribadi. Tentu, pelan-pelan, kecenderungan itu harus diubah.
Ageisme di Era Digital
Era digital, disadari atau tidak, telah membikin kabur batasan usia. Muda dan tua semacam tidak ada bedanya, asal memiliki skill mumpuni. Sebab, bidang-bidang kerja yang dulu mungkin sulit dikerjakan anak kecil atau orang tua, kini bisa dilakukan dengan mudah.
Contoh paling mudah adalah driver ojek online (ojol) yang usianya cukup sepuh. Di Bojonegoro saja, masih banyak dijumpai driver ojol berusia di atas 50 tahun. Tentu, ini menunjukkan bahwa meski berusia tua, mereka tetap mengikuti teknologi.
Di lain sisi, banyak pula anak-anak yang sudah menjadi ahli di usia teramat muda. Bahkan, anak-anak SMA sudah bisa menghasilkan pundi-pundi uang hanya dengan menjadi seorang youtuber ataupun influencer.
Nabsky, era digital memang menghapus sekat batasan usia. Namun, sebagai masyarakat berperadaban, kita juga harus paham laku takzim pada mereka yang sudah tua.
Ingat! Orang tua dihormati bukan karena skill dan kemampuannya, melainkan murni karena kita takzim sebagai orang yang kebetulan berusia lebih muda.
Tapi tetap saja masalah ageisme di Indonesia bukan berada pada level yang rendah. Ageisme di Indonesia masih saja tinggi, hanya saja jenis ageisme di Indonesia sedikit berbeda dari ageisme di luar negeri.