Pak Ndul adalah imaji seorang petani desa yang suka membahas hal-hal dengan strata keilmuan setinggi Jupiter. Begitulah ia sering menggambarkan dirinya di sela-sela percakapan dengan sosok penanya di balik kamera.
Netizen sempat dihebohkan dengan perdebatan. Apakah memang pria botak dan berjenggot putih itu memang nyentrik dan nyeleneh seperti itu. Atau ada konspirasi di baliknya.
Pak Ndul merupakan tokoh yang dibuat dan diperankan oleh Agung Sukoco. Dibantu adiknya yang juga merangkap sebagai konseptor dan videographer.
Tujuannya, memberi penyegaran di internet. Sekaligus penyegaran bagi pemikiran yang keruh akibat riuhnya konten negatif di internet.
Menurut Pak Ndul, saat ini situasi Indonesia sedang panas. Terutama dalam konteks internet dan sosial media. Konten-konten yang menghibur dibutuhkan untuk meredam ketegangan.
Tidak tanggung-tanggung. Pada video obral-obrolnya dengan Deddy Corbuzier, Pak Ndul mengaku mempelajari YouTube terlebih dahulu sebelum membikin sebuah konten.
Ia mempelajari algoritma, analytcs, tren, apa yang diinginkan penonton, hingga waktu-waktu krusial untuk menyajikan konten.
“Dibutuhkan analisis yang mendalam untuk mencapai a perfect decision,” terang Pak Ndul.
Perfect decision ini termasuk pada membikin konten video. Ia dan adiknya rutin melakukan brainstorming untuk mematangkan konsep.
Tapi, Pak Ndul juga mengingatkan. Bahwa konsep merupakan alat untuk mempermudah penyampaian pesan. Jangan sampai konsep itu menahan kreativitas kita. Karena sebagai pencipta konten, kita juga harus bisa adaptif.
Pak Ndul bersama adiknya kemudian membuat video komedi segar yang diunggah di channel Waton Guyon, atau sering disebut TV Wagu. Dari beberapa video yang telah diunggah, terbukti bahwa Pak Ndul bukanlah sensasi YouTube belaka. Ia seorang pencipta konten dengan ide, konsep, dan eksekusi yang matang.
Ia tak hanya menguasai bahasa Inggris, yang kemudian digunakan di sela-sela percakapan. Ia juga bisa membentuk sebuah kedekatan konteks. Antara bahasa yang benar, konteksnya dalam keseharian bahasa Indonesia, serta konteks humor.
Contohnya adalah video yang bertajuk Database Google. Dalam video berdurasi 6 menit 39 detik itu, ia diberi pertanyaan untuk ditranslasikan ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa jawabannya memang salah dalam konteks alih bahasa.
Namun, ada konteks kedekatan dengan makna dan penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari. Dan itu benar, sekaligus segar sebagai humor.
Apa yang disajikan Pak Ndul sekilas seperti humor serampangan yang biasa dilakukan oleh Vicky Prasetyo. Penggunaan bahasa-bahasa ilmiah, dan kadang tak tepat konteks. Namun, jika diperhatikan lebih mendalam, Pak Ndul beda dengan Vicky. Perbedaannya teramat jauh.
Pak Ndul punya konsep yang lekat dengan keseharian netizen Indonesia.
Termasuk bagaimana ia mengkritisi isu sosial yang terjadi di masyarakat.
Salah satunya, video yang membahas responnya terhadap video persekusi guru oleh murid. Ia mengkritisi video viral yang meresahkan masyarakat dengan konsep yang segar.
Namun, Pak Ndul mampu menyentil hal-hal penting. Seperti fenomena degradasi moral, kurangnya peran orang tua, serta faktor-faktor lain yang bisa menyebabkan murid tersebut berbuat tidak pantas pada gurunya.
Dalam wawancara eksklusif dengan Deddy Corbuzier, Pak Ndul mengatakan bahwa channelnya berisi konten edukasi dan motivasi. Ia tak secara gamblang menyajikan edukasi.
Ia menyajikan konten humor yang menggelitik penonton. Gelitikan ini merupakan stimulan bagi penonton untuk mencari tahu lebih banyak tentang apa yang ia sampaikan.
Masih di video bertajuk Database Google. Ia berkelakar. “Jangankan mas, Google saja, input database informasinya dari otak saya. Saya kalau tidur pakai USB tipe Z. Karena Google butuh supply of information dari otak saya,” ucap Pak Ndul dengan nada meyakinkan.
Sekilas, kalimat ini mengingatkan kita pada film scifi berjudul Lucy. Film ini membahas tentang apa yang bisa terjadi jika manusia mampu mengakses 100% kemampuan otaknya.
Ada satu adegan yang menunjukkan proses pemindahan segala informasi yang berada dalam otak dengan kapasitas penggunaan 100% dipindah dalam sebentuk USB.
Melalui stimulan edukasi ini, Pak Ndul juga menyelipkan wejangan yang disampaikan secara halus dan tanpa menggurui. Netizen juga sepakat dengan hal ini.
Dapat dilihat dari salah satu komentar di akun YouTube Wagu TV. “Mulai menit 5:25 Jika kita tanggap dengan yang dikatakan pak ndul, itu mengandung pesan. Kalau secangging-canggihnya data dari google tetap bersumber dari pikiran atau otak manusia,” tulis akun Feri Ferbiansyah.
Fenomena Local Genius di Bojonegoro
Nabs, kehadiran Pak Ndul dengan berbagai kemampuan menghiburnya yang elegan, tentu mengingatkan kita bahwa di Indonesia atau bahkan di Bojonegoro sendiri, ada banyak orang yang sebenarnya memiliki kemampuan Local Genius.
Sebuah kemampuan untuk memilah-milah dan mengambil kebudayaan dari luar yang dianggap baik. Itu bisa dilihat dari cara dan gaya Pak Ndul berbicara dan mengungkapkan idenya. Bukankah itu sesuatu yang biasa di tempat kita tinggal?
Bedanya nih, Nabs. Pak Ndul tahu peran teknologi. Tentu, dengan memanfaatkan teknologi — yang dia amini sebagai youtuber itu — bisa membantunya lebih dikenal masyarakat luas sebagai sosok yang genius nan menghibur.
Kalau boleh jujur, masyarakat kita banyak juga kok yang punya kemampuan seperti Pak Ndul. Meski, tentu saja, kemampuan itu tidak bisa disamakan secara leterlijk. Hanya, belum semua sadar dan mampu menampakkannya seperti Pak Ndul.
Contoh mudah nih, Nabs. Masyarakat di Kecamatan Margomulyo yang identik dengan kerajinan akar jati, sebenarnya banyak yang bisa berbahasa Inggris juga lho. Sebab, banyak pelanggan mereka yang jauh-jauh datang dari Amerika hingga Eropa.
Andai mereka mau membikin chanel YouTube, saya kira bisa kok mereka menyajikan berbagai cara membikin kerajinan akar jati. Tentu, dengan gaya dan cara penyampaian yang khas menggunakan bahasa campuran Bojonegoro dan bahasa Inggris.
Itu baru di kawasan Margomulyo. Belum kawasan Bojonegoro lain seperti Wonocolo, Atas Angin atau bahkan Kasiman. Setiap daerah, menyimpan banyak sekali Local Genius macam Pak Ndul. Hanya, untuk menampakkan itu, butuh keberanian dan tekad, tentu saja.
Ingat satu hal Nabsky: di era digital, asal punya keberanian, semua bisa terjadi.