Banyak yang bilang sebaik-baiknya makhluk Tuhan adalah yang memberikan manfaat bagi orang lain. Bukan hanya makluk tuhan saja yang mampu memberikan manfaat, sebuah benda matipun yang sering kita anggap remeh juga memberikan manfaat bagi kehidupan, bahkan mengandung filosofi didalamnya.
Setiap yang ada di lini kehidupan tentu saling memberikan manfaat, bahkan jika kita mampu menelaahnya secara dalam kita bisa belajar di dalamnya.
Bagi kita jembatan hanya mengambil peran atau fungsi fundamentalnya sebagai penghubung antara sebuah wilayah satu dengan wilayah lainnya yang disekat oleh adanya aliran air. Dan secara fungsional hanya berfungsi sebagai penghubung dan permudahan akses.
Tak dapat dipungkiri dengan adanya jembatan dapat mempermudah kegiatan kita. Yang apabila kita harus melewati aliran air deras dengan perahu layar atau sejenisnya sekarang bisa kita rasakan kemudahannya hanya dengan nangkring di angkutan yang kita naiki dengan jalan yang mulus semulus wajah para doi yang pakai skincare hehe.
Sebagai perantau yang hidup diseberang selat jawa, dua tahun terakhir saya sering hilir mudik melintasi jembatan sepanjang 5 km penghubung antara pulau Jawa dan pulau Madura. Tentu tau dong namanya jembatan apa.
Bicara soal kehidupan dan jembatan, nyambung sih namun hanya sebatas kebutuhan tersier kadang bukan primer bagi sebagian orang. Mengingat masa kecil dulu jembatan yang menurut saya paling bagus yaitu jembatan penghubung antara Kecamatan Soko dan Kabupaten Bojonegoro. Masyarakat mengenalnya sebagai Jembatan Glendeng.
Sewaktu kecil saya sering diajak jalan jalan waktu sore terutama saat bulan puasa biar ala-ala ngabuburitan oleh ayah dengan sepeda kayu lagendanya dan menikmati keindahan senja dari atas jembatan. Sungguh kebahagian kecil yang selalu saya ingat hingga kini.
Saya pikir, jembatan hanya sebatas perantara yang memudahkan akses saja. Namun seiring berkembangnya pola pikir saya, saya mulai belajar filosofi kehidupan dari atas jembatan.
Ketika melintasi jembatan sepanjang 5 km di pintu masuk jembatan kita bisa merasakan awal jalanan pacu baru, sama halnya kehidupan. Setelah kita kembali kepelukan sang ilahi kita akan di pertemukan dengan pintu masuk jembatan sirothol mustakim.
Di sepanjang jalan kita pasti akan memiliki fantasi buruk bagi yang takut akan ketinggian dan berada dihamparan luasnya selat. Kita akan membayangkan bagaimana jika jembatan ini putus, bagaimana jika aku jatuh di air, aku masih banyak dosa, utangku masih banyak, dan pikiran halu kita lainnya.
Apabila kita telah sampai di sisi tengah jembatan kita akan mendalami arti bahwa kita adalah makhluk kecil yang tak bisa apa apa yang hidup diantara air dan langit.
Apabila suatu saat air laut naik dan terjadi tsunami besar kita hanya sepihan sampah plastik yang biasa orang buang dari atas jembatan seenak jidatnya. Kita hanya makhluk kecil Tuhan, namun terkadang kesombongan kita mengalahi penguasa bumi dan seiisinya.
Sebagai pengendara yang melewati jembatan sepanjang 5 km sudah sudah akrab saya dengan para pengendara yang ugal-ugalan saat melintasi jembatan. Dari situ kita bisa belajar.
Saat kita masuk di pintu masuk jembatan kita seolah baru dilahirkan dan saat kecepatan kita berkendara di sepanjang jembatan adalah bagaimana fase perjuangan kita dalam meraih mimpi kita dan menggapai kebahagian dunia dan tentunya kebahagian akhirat juga nantinya.
Ada yang berkendara santai kayak menikmati sejuknya angin di pantai, ada yang ugal ugalan berasa kayak pembalap motor GP, ada juga yang gaspol rem pol kadang sampai menyebabkan tabrakan disepanjang lintasan di jembatan. Aneh aneh memang tipe manusia dalam hidup.
Ada yang mensyukuri, ada yang menikmati belum tentu mensyukuri atau dua duanya, ada juga yang maunya instan kayak buat pop mie di Indomaret, dan lain-lainya.
Di balik rasa jengkel saya dari para pengendara sok pembalap di jembatan yang membuat saya greget binti grundel adalah saat ada pengendara yang sambil makan lantas bekas makannya dibuang sembarangan.
Bahkan pernah mengenai muka temen saya yang melintas di belakang pengendara luar binasa itu. Manusia memang sifatnya egois memang, sudah diberi hati masih aja minta jantung. Sudah diberi fasilitas jembatan masih aja gak mau jaga kebersihannya.
Nanti kalau jembatan kotor bilangnya petugas kebersihannya yang gak bisa kerja. Sungguh luar biasa manusia zaman sekarang dengan segala firmannya menyalahkan orang lain tanpa mau berkaca.
Dari jembatan 5 kilo meter yang sejak sabtu, 27 oktober 2018 diresmikan pembebasan tarif oleh Presiden Jokowi ini, kita bisa belajar bahwa sejatinya pengorbanan tak hanya soal materi. Tubuhpun rela diinjak-injak untuk memberikan manfaat kepada orang lain.
Sama halnya orang tua kita, bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan pendidikan anaknya. Namun sayang sebagian besar dari kita yang dibiayai pendidikan orang tua kita sering membuat kecewa orang tua kita.
Entah sekolah sering bolos, males malesan ngerjakan tugas, sering berantem, sering melanggar aturan dan lainnya. Tanpa kita berfikir bagaimana harapan besarorang tua kita yang dititipkan pada kita sehingga masa depan kita nantinya jauh lebih baik dari mereka.
Sungguh sejatinya kehidupan memang kaya akan filosofi pembelajaran bagi para mahluk sang pencipta. Karena, Tak ada ilmu yang selebih mahal di dunia ini yang mampu kau beli, selain mentafakuri dan mensyukuri disetiap detik yang kamu miliki.
Jadi Nabsky, tak perlu kamu kaya dulu baru bisa berbagi dengan orang lain. Berbagi dengan apa yang kamu miliki saat ini, dan pelajari segala yang ada di sekitarmu, maka di situlah kamu akan merasa bahwa karunia sang pencipta sungguh luar biasa dan insyaallah kesombongan dan keegoisan tidak menyelimuti diri.