Menulis amat mudah karena modal ‘perasaan’ saja sudah cukup — terlepas bagaimanapun hasilnya. Sementara ‘perasaan’, tak cukup dijadikan modal untuk telaten membaca buku.
Beberapa bulan ini, saya tak melihat Farid Fakih menulis. Padahal, bulan-bulan sebelumnya, hampir tiap pekan, pemuda progresif itu mengirim naskah, lalu meminta saya untuk membacanya secara seksama.
Tentu saya penasaran. Sebagai seorang pseudo jomblo, apa sih yang sedang Farid kerjakan? Saya pun menanyainya melalui pesan WA.
Ia menjawab pesan saya dengan kalimat yang sederhana: saya sedang sibuk membaca, Mas. Tentu saya kaget sekaligus bahagia saat membaca jawaban itu. Sebab saya tahu, membaca tak semudah menulis.
Menulis amat mudah karena modal perasaan saja sudah cukup. Saat perasaan sedih, nulis bisa mudah dilakukan. Sedang saat perasaan bahagia, nulis juga mudah dikerjakan — terlepas seburuk apapun hasilnya.
Sementara perasaan, tak cukup untuk dijadikan modal membaca. Saat perasaan sedih, misalnya, membaca sulit dilakukan karena menangis lebih melegakan. Sedang saat bahagia, membaca sulit dilakukan karena melamun jauh lebih menyenangkan.
Menulis cukup bermodal perasaan karena sesungguhnya ‘rasa’ butuh diungkapkan. Tapi membaca tak cukup jika hanya bermodal perasaan. Sebab, kecenderungannya akan bertabrakan: membaca memasukkan sesuatu, sedang “perasaan” cenderung ingin mengeluarkan sesuatu.
Dalam istilah lain: menulis amat mudah karena modal ‘perasaan’ saja sudah cukup— terlepas bagaimanapun hasilnya. Sementara ‘perasaan’, tak cukup dijadikan modal untuk telaten membaca buku.
Karena itu, saat seseorang memantapkan diri telaten membaca buku, ia telah selesai dengan urusan “perasaan”. Ini alasan kenapa membaca jauh lebih mulia dibanding menulis. Sebab ia lebih berat. Dan karena itu pula, penulis yang tak pernah membaca, akan sangat terlihat pada gaya menulisnya.
Memang buku apa yang sedang kamu baca, Rid? Tanya saya.
Dengan kecepatan seorang lelaki yang ingin segera menikah, ia merespon dan menyebut satu persatu buku yang sedang dia baca; The Power of Habit (Charles Duhigg), Identitas Kenikmatan (Ariel Haryanto), dan Islam di Mata Orang Jepang (Hisanori Kato).
Membaca judul-judul buku itu, saya langsung memaklumi jika Farid jarang nulis. Selain butuh ketelatenan khusus, membaca buku non fiksi amat berat, terutama bagi mereka yang terbiasa membaca buku fiksi seperti Farid ataupun saya. Tapi, saya tetap percaya jika Farid yang membacanya.
Dalam sebuah artikel berjudul 45 Facts on The Importance of Reading Books (2019) yang ditulis oleh Chris Drew, menunjukkan bahwa membaca buku punya peran dan dampak luar biasa dalam hidup. Bahkan, dampak itu bakal dibawa di sekujur usia.
Saya amat berharap teman-teman saya pernah atau setidaknya mau membaca artikel tersebut. Itu amat penting bagi mereka yang sedang gencar menempa diri dalam proses membaca buku seperti yang dilakukan Farid.
Dalam artikel itu, Chris Drew memaparkan 45 fakta berbasis riset kenapa manusia harus membaca. Lebih spesifiknya, mumpung masih menjadi manusia, tak ada salahnya menyempatkan sedikit waktu untuk melakukan riyadloh mata dengan membaca buku.
Pada poin 22 di artikel tersebut, ada sub judul yang menurut saya sangat menarik sekali: Reading is the Perfect Activity for Introverts —- sebuah sub judul yang saya kira, amat bagus dipahami dan direnungkan bagi siapapun.
Dalam poin tersebut, Chris Drew menjabarkan jika seorang introvert lebih suka sendirian untuk me-recharge energi. Sebab mereka tak mendapat energi dari interaksi sosial layaknya orang-orang ekstrovert.
Bahkan, interaksi sosial justeru menghabiskan energi bagi seorang introvert. Karena itu, membaca buku bisa jadi kegiatan soliter yang fantastis bagi seorang introvert untuk me-recharge energi.
Sesungguhnya, saya jenis manusia yang tak percaya pada penggolongan introvert dan ekstrovert. Sebab, bagi saya, seintrovert-introvertnya seseorang, ia akan menjadi ekstrovert ketika bertemu orang yang cocok dan membuatnya nyaman. Sebaliknya, se-extrovert-extrovertnya seseorang, ia akan menjadi introvert ketika sedang duduk di WC sendirian dan tak punya teman.
Bagi saya, glorifikasi berlebih tentang label introvert dan ekstrovert pada seorang individu, hanya sebuah metode menutupi kegagalan dalam membangun komunikasi belaka. Karena itu, mereka yang sering membanggakan dirinya introvert, sesungguhnya ekstrovert yang gagal membangun komunikasi dengan baik.
Kembali pada urusan membaca dan menulis. Membaca ibarat mendengarkan. Sedangkan menulis ibarat berbicara. Mendengar dan membaca sangat butuh ketelatenan dan kebijaksanaan. Sementara menulis atau nyangkem, hanya butuh keberanian saja.
Kadang saya berpikir, penulis mirip sebuah gelas. Ketika gelas itu tak pernah diisi air, ia tak akan bisa menyegarkan tenggorokan. Ketika penulis tak pernah diisi bacaan, ia tak akan bisa menumpahkan kata-kata. Sebab yang bisa dilakukan hanya memecah dirinya menjadi beling-beling belaka.
Ingin menjadi penulis tipe beling atau menjadi penulis tipe gelas yang menyegarkan? Kalau saya sih ingin menjadi penulis tipe gelas menyegarkan seperti Farid. Hehehe
Membaca seperti mendengar dan menulis seperti nyangkem. Ucapan mereka yang sering mendengar tentu serupa tulisan mereka yang sering membaca; penuh referensi dan mengandung kebijaksanaan. Ibaratnya, seiseng-isengnya pasti mengandung sanad bacaan yang jelas.