Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Hari ini adalah hari istimewa. Untuk pertama kalinya aku akan mengikuti demonstrasi bersama ribuan mahasiswa lainnya. Sebagai seorang mahasiswi, ini adalah tonggak baru dalam sejarah hidupku.
Di hari yang spesial ini aku mengajak serta lima orang temanku. Tiga orang perempuan yakni Siska, Nissa dan Dewi. Dua sisanya adalah laki-laki, yakni Irwan dan Chandra. Kami janjian untuk kumpul di sebuah warung kopi yang letaknya tak jauh dari kampus.
Aku jadi orang yang pertama kali datang. Tak berapa lama, kelima temanku yang lain sampai di lokasi pertemuan.
“Ini udah jam 9 lebih. Kita agak telat nih,” ujarku kepada yang lain.
“Yaudah, kita langsung aja ya,” ujar Irwan yang merupakan sosok tertua di antara yang lain.
Dengan saling berboncengan dengan motor, kami berenam pun langsung menuju lokasi demonstrasi. Sebelumnya, aku sudah berkomunikasi dengan senior kami di kampus. Andra namanya.
Dia jadi salah satu korlap dalam aksi demonstrasi hari ini. Aku mengenalnya karena kami sama-sama aktif di Lembaga Pers Mahasiswa. Secara khusus, Andra memintaku untuk berperan sebagai tim medis di aksi demo itu. Dia juga memintaku untuk mencari beberapa orang untuk jadi bagian tim medis.
Singkat cerita, aku kemudian mengajak kelima temanku tadi untuk masuk sebagai tim medis. Meski bukan berasal dari fakultas kedokteran, aku dan beberapa temanku tadi itu punya pengalaman ikut Palang Merah Remaja saat SMA dulu.
Setelah berkendara selama 10 menit, kami pun sampai ke lokasi. Di tempat tersebut sudah ada ribuan mahasiswa yang berkumpul untuk melakukan aksi turun ke jalan.
Dengan poster dan tulisan yang lucu, para mahasiswa itu siap melakukan aksi damai ke kantor wakil rakyat. Aku sendiri merasa sangat bersemangat. Ini adalah aksi demonstrasi pertamaku sejak resmi jadi seorang mahasiswi 2 tahun lalu.
Usai memarkirkan motor, aku langsung menghubungi Andra. Kuambil handphone dari tas ranselku. Langsung kutelfon Andra melalui aplikasi Whatsapp.
“Halo, Assalamualaikum,”
“Halo Tannia. Walaikumsalam. Posisi di mana? Udah kutunggu dari tadi,” jawab Andra.
“Iya mas, maaf. Ini aku baru nyampe. Aku musti ke mana nih?”
“Langsung ke mobil putih deket taman bunga ya. Bagian medis kumpul di situ,”
“Oh iya mas, tahu. Aku sama yang lain segera ke situ,”
Setelah percakapan sesaat itu, aku bersama kelima temanku langsung menuju lokasi tim medis berada. Cukup sulit juga menjangkau tempat tersebut. Kami harus melewati lautan mahasiswa yang sudah mulai bergerak.
“Buruh Tani, Mahasiswa, Rakyat Miskin Kota. Bersatu Padu Rebut Demokrasi. Gegap Gempita dalam Satu Suara. Demi Tugas Suci yang Mulia”
Kami berjalan diiringi dengan lagu Buruh Tani yang terus berkumandang. Sesekali Irwan dan Chandra ikut bernyanyi. Sungguh suasana yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Tak terasa kami sampai di lokasi tim medis berada. Aku kemudian mencari sosok Andra. Ternyata, kakak tingkatku itu sudah ada di belakangku.
“Wei, kok baru nyampe sih, Tan?” ujar Andra sambil menepuk bahuku dari belakang.
“Eh, iya mas. Sorry banget nih. Tadi nunggu yang lain kumpul,”
“Oke nggak apa. Kujelasin tugasmu ya,”
Andra pun menjelaskan tugas yang harus kulaksanakan bersama dengan lima temanku tadi. Kami ditugasi untuk stand by di dekat mobil kesehatan yang disiapkan. Di sana sudah ada beberapa mahasiswa fakultas kedokteran yang berjaga.
Kami secara khusus ditugasi untuk membantu peserta demonstrasi yang membutuhkan pertolongan medis. Mulai dari memberikan pertolongan pertama, hingga siap siaga dengan tandu.
Setelah penjelasan mendalam dari Andra, aku bersama lima temanku langsung melakukan tugas yang diberikan.
Aksi demonstrasi pun resmi dimulai. Sekitar 3 hingga 5 ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di kota ini tumpah ruah di sekitar kantor anggota dewan. Mereka bernyanyi, mengibarkan bendera, dan tentu saja berorasi.
Aksi hari ini dijaga ketat oleh pihak keamanan. Dengan peralatan lengkap, pihak kepolisian ingin memastikan tidak ada kericuhan yang terjadi.
Aku sendiri tak beranjak dari lokasi tim medis. Meski tak berada dekat dengan orator, adrenalinku terpacu ketika mendengar orasi yang terus digelorakan. Aku sangat bangga dengan rekan-rekanku sesama mahasiswa.
Tak terlalu jauh dari tempatku berdiri, kulihat Andra sedang wara-wiri. Nampaknya ia memastikan jika ada rekan kami yang membutuhkan bantuan medis. Sebagai seorang korlap, harus kuakui jika dia memang sangat tanggap.
Selang setengah jam setelah aksi dimulai, terlihat beberapa peserta aksi yang merapat ke area medis. Andra dengan sigap langsung menyambutnya dan menanyai peserta aksi tersebut.
“Tan, tolong bantu sini,” teriak Andra dari kejauhan.
Aku pun langsung mengajak Dewi dan Nissa untuk mendekati Andra yang terlihat sedang membantu salah seorang peserta aksi yang kesulitan berjalan.
“Ini kayaknya dehidrasi, tolong dirawat ya, Tan,”
“Oke mas, siap!”
Aku pun langsung menyuruh Dewi untuk mengambil air minum. Peserta aksi yang dehidrasi tadi langsung kutangani bersama dengan anak FK yang berjaga.
Tak berapa lama kemudian, semakin banyak peserta aksi yang merapat ke lokasi tim medis. Mereka membutuhkan pertolongan. Kebanyakan dari mereka kelelahan karena berdiri di bawah terik matahari dan kekurangan cairan.
Aku bersama dengan tim medis yang lain nampak sibuk. Untungnya, tim medis hari itu cepat tanggap dalam menghadapi situasi. Jadi, semua rekan yang membutuhkan pertolongan langsung mendapatkan penanganan.
….
Setelah lewat jam 12 siang, aksi demonstrasi mencapai titik klimaksnya. Para peserta aksi semakin kencang bernyanyi. Orator pun makin bersemangat dalam membacakan tuntutan.
Melihat dan mendengar itu semua, adrenalinku jadi makin terpacu. Dalam hati aku sangat ingin bergabung di depan, bernyanyi dan meneriakkan yel-yel bersama rekan yang lain. Namun, aku punya tanggung jawab untuk jadi tim medis.
Setelah kutimbang dengan masak-masak, akhirnya kuberanikan diri untuk meninggalkan pos medis sejenak dan merangsek lebih ke depan untuk ikut aksi. Ikut aksi selama 7 sampai 10 menit mungkin tak ada salahnya pikirku. Toh, tim medis di sini sudah banyak.
Aku kemudian menghampiri Nissa dan Dewi untuk mengutarakan niatku.
“Eh aku mau ikut ke depan nih, kalian tolong tetap jaga di sini ya,”
“Lho? Ngapain ikut ke depan?” tanya Dewi.
“Iya, nanti malah dimarahin kita,” timpal Nissa.
“Sebentar aja kok, 10 menit deh, ya ya ya?” ujarku memelas.
Dewi dan Nissa pun luluh. Mereka mempersilahkanku untuk ikut gabung ke depan. Tapi dengan 2 syarat. Pertama jaga diri baik-baik. Kedua segera kembali setelah 10 menit. Aku pun menyanggupinya.
Setelah mendapatkan izin, aku segera merapat agak ke depan. Kutembus lautan manusia untuk bisa berada sedikit lebih di depan. Tak mudah memang untuk merangsek ke depan di tengah lautan manusia seperti ini.
Pada akhirnya aku berada di dekat barisan depan. Sungguh senang rasanya. Untuk pertama kalinya merasakan sensasi berunjuk rasa, meski panas dan berdesak-desakkan.
Aku sangat larut dengan suasana seperti ini. Perasaan senang yang tak terkira sama sekali. Namun perasaan senang tersebut hilang seketika saat pihak keamanan mulai melakukan tindakan represif.
Kendaraan Water Canon mulai menyemburkan airnya ke arah para peserta aksi. Semburan air itu tak menyurutkan langkah para mahasiswa. Mereka justru lebih bersemangat.
Namun, beberapa saat kemudian, pihak keamanan melemparkan gas air mata. Gas air mata tersebut langsung berdampak. Kerumunan pecah. Para peserta aksi lari menyelamatkan diri dari perihnya gas air mata itu.
Sialnya, aku juga terkena dampak gas air mata itu. Mataku jadi perih. Pandanganku jadi terganggu. Karena suasana yang kacau balau, aku sampai tersungkur karena saling bersenggolan dengan peserta aksi yang lain.
Saat tersungkur, aku kesulitan untuk berdiri. Selain mata perih dan pandangan terganggu, beberapa kali aku terinjak oleh mahasiswa lain.
“Awas, hati-hati, pelan-pelan,” ujar salah satu mahasiswa.
“Tenang, tenang. Bantu temennya, bantu temennya,” ujar mahasiswa lain.
Aku mencoba berdiri tapi tak mampu. Rasanya aku tak punya tenaga lagi untuk mengamankan diri. Apalagi mataku makin terasa perih.
Di saat kondisi yang masih sangat kacau itu, aku merasakan tubuhku diangkat oleh seseorang. Aku tak bisa melihat dengan pasti siapa orang itu. Perlahan, aku kehilangan kesadaran dan akhirnya pingsan.
….
Hawa dari kipas angin menyadarkanku. Perlahan kubuka mataku yang masih terasa perih. Aku melihat langit-langit dari sebuah ruangan yang tak terlalu asing bagiku.
“Eh udah sadar nih orangnya,” ujar salah satu orang yang ternyata adalah Dewi, temanku.
Beberapa saat kemudian aku baru sadar jika sekarang berada di kamar kost milik Siska. Aku pun bangkit dari tidur dan berusaha duduk bersender di tembok kamar kost Siska.
“Gimana? udah enakan belum?” tanya Siska yang segera menghampiriku setelah diberi tahu Dewi.
“Aduh, masih lemes,” jawabku.
“Jangan banyak gerak dulu, istirahat dulu,” kata Dewi.
Aku berusaha mengingat kembali kejadian yang menimpaku. Bukankah tadi aku di lapangan untuk ikut aksi turun ke jalan? Kenapa sekarang bisa berada di kostnya Siska?
“Eh, ini kok aku udah di sini sih. Bukannya tadi kita ikut aksi ya?”
“Iya oneng, tapi inget nggak tadi kau pingsan?” ujar Dewi.
“Iya aku inget tadi sempet nggak sadar pas kena gas air mata, terus keinjek juga,”
“Jadi gini non, tadi pas kondisi kacau, tim medis banyak didatangi orang. Salah satu orangnya itu Mas Andra. Dia bopong cewek yang kayaknya pingsan. Ternyata cewek pingsan yang dibopong itu kau, Tannia. Ya kita kaget dong,” jelas Dewi kepadaku.
“Ha? Masa’ sih? Aduh, terus gimana?”
“Ya kita terus disuruh bawa kau ke tempat aman sama Mas Andra. Karena kondisi kacau dan panik, akhirnya kau dibawa ke kostnya Siska. Tadi naik mobil ojek online,” jelas Dewi lagi.
“Ya ampun, jadi yang nolongin aku tadi itu Mas Andra?”
“Iya, gara-gara kau, kita dimarahin deh. Katanya kok bisa si Tannia ikut ke depan, padahal tugasnya sebagai tim medis,” gerutu Siska.
Penjelasan kedua temanku tadi bikin aku jadi merasa bersalah. Bersalah kepada teman-temanku, dan juga kepada Andra yang menitipkan amanahnya padaku. Duh, bodoh banget sih.
“Tan, mending segera hubungi Mas Andra deh. Minta maaf atau bilang terima kasih kek. Tadi orangnya khawatir juga,” ujar Dewi membuyarkan lamunanku.
Benar juga kata Dewi. Aku harus segera menghubungi Andra. Selain untuk berterima kasih, juga meminta maaf karena telah lalai menjalankan tugas yang telah diamanahkan.
“Eh iya, handphoneku di mana ya?”
“Ini, udah kuamanin, tenang,” ujar Siska sambil memberikan handphone kepadaku.
Langsung kubuka Whatsapp untuk mengirim pesan ke Andra. Setelah beberapa kali ketik hapus, ketik hapus, pesan yang cukup panjang akhirnya terkirim ke kontak Andra. Namun ada sesuatu yang aneh pada pesanku itu. Tapi aku tak begitu ngeh apa itu.
“Mas Anime, aku minta maaf ya karena udah ngerepotin. Terima kasih banget udah nolongin aku tadi. Aku juga minta maaf karena lalai pas diserahi tugas. Maafin aku, yang nggak bisa jadi contoh buat temen-temenku,” bunyi pesanku kepada Andra.
Pesan itu tak langsung dibalas. Mungkin orangnya sedang sibuk atau masih ngurus sana-sini, pikirku. Namun beberapa menit kemudian muncul bunyi notifikasi dari handphoneku. Setelah kubuka, ternyata itu balasan dari Andra.
“Iya, nggak apa,” jawabnya super singkat.
Jawaban super duper singkat itu bikin aku jadi makin merasa bersalah. Alhasil, aku mengirimkan permintaan maaf lagi melalui pesan Whatsapp.
“Sekali lagi aku minta maaf ya mas. Lain kali aku bakal lebih bertanggung jawab. Maaf banget,” tulisku.
Tak berselang lama, Andra kembali membalas pesanku.
“Iya udah, santai aja. Nggak perlu dipikirin. Yang penting semua aman. Btw, namaku Andra ya, bukan Anime,” balasnya.
Astaga! Ternyata itu yang bikin pesan pertamaku tadi terlihat aneh. Aku salah ketik. Bodohnyaaaa.