Menanam pohon bukan satu-satunya solusi mengatasi krisis iklim. Apalagi menanam beton. Ada entitas lain yang harus diperhatikan. Terutama peran penting transportasi umum.
Di tengah dunia yang sedang mengalami krisis iklim secara global, menanam pohon dianggap sebagai jurus pamungkas. Hampir pada berbagai kesempatan, seruan untuk memperbanyak penanaman pohon diteriakkan. Mulai dari para aktivis lingkungan, pejabat pemerintahan, para pesohor ataupun masyarakat biasa.
Kiranya, upaya ini secara cepat membalikkan keadaan, dari krisis menjadi kembali normal. Padahal upaya mengatasi krisis iklim tak sesederhana itu, tanam ribuan atau jutaan pohon, lalu dunia akan kembali pulih.
Memang menanam pohon dapat memberikan dampak bagi lingkungan, seperti pertambahan tutupan lahan, memperbanyak produksi oksigen, dan kemampuan menyerap dan menahan air di dalam tanah.
Tugas pohonlah, yang secara organik, menjadi alat untuk melakukan fungsi lingkungan dan penangkal dari apa yang dihasilkan oleh aktivitas brutal manusia.
Rasanya seruan-seruan yang diteriakkan hanya sebagai sebuah upaya eskapis dari kegagalan memahami apa yang menjadi penyebab krisis iklim ini terjadi.
Atau sebagai upaya cuci tangan agar dosa yang dihasilkan (bersama) tidak membebani secara moral dan mental. Toh, kita sudah menanam pohon sebagai obat penawar, begitu kira-kira alasan apologetiknya.
Mengapa upaya menanam pohon tak menjadi solusi untuk mengatasi krisis iklim hingga saat ini? Ada semacam miskonsepsi apabila setelah menanam pohon, maka tugas telah selesai.
Konsepsi seperti ini terlihat dari banyak program-progam penanaman pohon yang dilakukan. Anggapan bahwa tanaman dapat tumbuh dan berkembang serta beradaptasi dengan sendirinya malah menjadi bumerang.
Padahal perlu tindakan lanjutan, seperti pengelolaan dan proteksi untuk memastikan tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik hingga dapat memberikan jasa lingkungan yang diharapkan.
Lebih lanjut, jenis-jenis pohon yang digunakan kerapkali tidak dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Akibatnya, pohon-pohon tersebut menjadi semacam pengganggu ataupun ancaman. Malah tak menjadi pusat perbaikan ekologis.
Parahnya, setelah menanam pohon tak disusul dengan kebijakan lanjutan. Seperti upaya mengalihkan sumber energi yang digunakan dan mengendalikan jumlah konsumsi agar efisien. Atau bisa juga berbentuk insentif agar masyarakat dapat mengubah konsumsi energinya.
Pertemuan secara global untuk mengendalikan dampak krisis iklim pun tampak seperti formalitas, dan bahkan tereduksi sebagai pertemuan bisnis belaka.
Acapkali negara-negara yang hadir hanya bertukar proyek dan malah memungungi hasil pertemuan yang dihasilkan. Tak jelas komitmen dan sikap negara-negara tersebut dalam upaya menangani krisis iklim yang sedang terjadi.
Pun, seperti masyarakat awam, jangan-jangan para pemimpin negara ini tak memganggap bahwa krisis iklim sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan.
Bukan hanya Pohon, tapi Kendaraan Publik
Di Indonesia, komitmen dalam pengurang emisi yang ambisius (target pengurangan hingga 40% sampai 2030) tak dibarengi dengan strategi yang jelas. Layaknya gimmick marketing, komitmen yang muluk ini seperti ditujukan untuk menarik investor. Bombastis, tapi tak realistis.
Sebagai contoh, seharusnya perbaikan fasilitas dan layanan transportasi publik menjadi salah satu upaya mendasar agar masyarakat dapat beralih dari kendaraan pribadi menuju transportasi publik sehingga alokasi energi dapat dinikmati secara luas.
Bayangkan saja, berdassrkan data BPS, pada tahun 2021 terjadi peningkatan produksi kendaraan bermotor sebesar 6,18 juta meningkat 40% dari tahun sebelumnya. Bukankah secara tersirat data ini menunjukkan betapa buruknya tranportasi kita?
Padahal, perbaikan transportasi publik ini dapat menurunkan laju emisi secara signifikan. Meski ada upaya merehabilitasi, namun, apakah perbaikan ini telah dirasakan oleh seluruh masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi.
Juga pertanyaan-pertanyaan lainnya tentang penggunaan sumber energi baru terbarukan yang ramah lingkungan yang progressnya entah sampai mana.
Seharusnya aksi nyatanya bukan hanya menggeser menjadi menggunakan kendaraan listrik yang bahkan untuk mengisi dayanya masih bersumber dari pembangkit listrik berenergi kotor (batubara).
Pada kebijakan yang lebih mikro, Daerah (kabupaten/kota), tak terlihat adanya wawasan atau langkah antisipasi jika krisis iklim memburuk yang tergambar dari kebijakan pembangunan daerah dan anggaran belanjanya.
Para kepala daerah, sama seperti menteri urusan lingkungan hidupnya, mengganggap bahwa isu ini tak boleh mengganggu investasi dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak ramah lingkungan sifatnya tentatif dan dampak yang ditimbulkan adalah permanen.
Di Bojonegoro misalnya, terkait dengan transportasi publik yang juga sama buruknya dengan program pengelolaan lingkungan lainnya. Kedua hal saling terkait tersebut sepertinya berada dalam koridor yang terbeda dan terabaikan dalam upaya mengatasi krisis iklim dalam tingkat lokal.
Berdasarkan data Dishub Bojonegoro, jumlah angkutan dalam kota yang melayani wilayahnya menurun drastis hingga 87%. Dan anggaran pengelolaan lingkungannya hanya berkisar 0,9% dari total APBD.
Dari hal ini saja, upaya lanjutan dalam mengatasi krisis iklim memerlukan political will dari pemangku kebijakan. Kebijakannya harus holistik dan lintas sektoral. Tak bisa upaya ini hanya dibebankan kepada satu pihak.
Alangkah baiknya pembangunan wilayah maupun infrastruktur mempertimbangkan faktor ekologis, tak melulu soal betonisasi.
Rasanya keberpihakan dan kebijakan yang pro lingkungan merupakan barang mewah yang para pejabat pemerintah simpan erat-erat. Akhirnya, masyarakat hanya bisa berdoa dan berharap dunia akan segera baik-baik saja.
Dan, menanam pohon sebagai uapaya individual agar tak ikut berperan dalam memperparah kondisi di masa depan. Lalu, anda sudah tanam berapa?
Raranda Usfraya, pegiat lingkar studi ekologi dan energi terbarukan (SuKET) Bojonegoro