Pondok Pesantren Abu Syukur merupakan pesantren salaf yang berdiri sejak paruh pertama abad 19 M. Terletak di Dusun Ketawang, Desa Payaman, Ngraho. Lokasinya berbatasan dengan sisi selatan Padangan Bojonegoro.
Ponpes Abu Syukur Tawang didirikan sejak 1870 M oleh Syekh Abu Syukur. Namun, cikal bakal pendirian pondok pesantren tersebut, sudah dipersiapkan sejak 1816 M oleh Mbah Mad Sunni.
Ponpes Abu Syukur Tawang masyhur sebagai pondok pesantren yang masih mempertahankan sistem pendidikan salaf tradisional sejak awal didirikan, sampai hari ini. Di pondok inilah, lahir KH Utsman Cepu, karib KH Hasyim Asy’ari sekaligus pendiri NU Cepu Jawa Tengah.
Di tengah gempuran sistem pendidikan-islam-kapitalistik-modern, keberadaan pesantren seperti Ponpes Abu Syukur tentu sudah amat jarang ditemui. Ponpes Abu Syukur Tawang terbukti mampu membawa sistem salaf melintasi bermacam dinamika zaman.

Sejarah Ponpes Abu Syukur tak bisa lepas dari empat figur ulama yang hidup di empat periode berbeda. Mereka adalah Kiai Mad Sunni, KH Abu Syukur bin Mad Sunni, Kiai Abdul Halim, dan KH Zarqoni bin Kiai Abdul Halim. Keempatnya adalah masyayikh Ponpes Abu Syukur Tawang.
Ponpes Abu Syukur termasuk pesantren salaf sepuh Bojonegoro yang masih aktif hingga saat ini. Minimnya dokumen literatur membuat sejarah perjalanan pesantren ini tak banyak diketahui. Padahal, banyak ulama besar yang lahir dari rahim Ponpes Abu Syukur Tawang.
Namun, dari penelitian historiografi ilmiah beserta riset biografi para masyayikh, sejarah panjang perjalanan Ponpes Abu Syukur Tawang pun, akhirnya bisa diketahui. Hal ini penting untuk dicatat sebagai bagian dari khazanah peradaban Islam Nusantara yang ada di Bojonegoro.
Berikut historiografi ilmiah perjalanan Ponpes Abu Syukur Tawang beserta biografi para masyayikh yang didapat dari wawancara dengan keluarga dan pengasuh, serta observasi literatur sejarah.
Mbah Mad Sunni
Mbah Mad Sunni tercatat sebagai figur pertama peletak pondasi Ponpes Abu Syukur Tawang. Beliau seorang pengembara dari keluarga Keraton Solo (Kasunanan Surakarta Hadiningrat) yang hidup pada periode (1786 – 1886 M). Beliau tiba di Tawang Payaman pada 1816 M, di usia sekitar 30 tahun.
Hijrah Mbah Mad Sunni dari Keraton Solo ke wilayah Tawang Payaman tak lepas dari geger geden perang saudara akibat Perjanjian Giyanti (1755). Perjanjian yang diprakarsai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) itu berdampak pada pecahnya Kesultanan Mataram Islam menjadi dua (Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta).
Mbah Mad Sunni hidup pasca era Perjanjian Giyanti yang memecah Kesultanan Mataram menjadi dua. Sehingga dominasi penjajahan Belanda dan atmosfer perang saudara masih sangat beliau alami. Demi menghindari dampak perang saudara, Mbah Mad Sunni memilih jalan mengembara.
Mbah Mad Sunni melakoni tirakat Lelono Broto, menempuh perjalanan dari Kasunanan Surakarta menuju arah utara, lewat jalur sungai. Setelah mampir di beberapa tempat, beliau memutuskan berhenti dan mandito di pinggir sungai Tawang, Payaman. Tepat berbatasan dengan sisi selatan Padangan.
Mbah Mad Sunni berhenti di bantaran sungai Tawang Payaman pada 1816 M, di usia sekitar 30 tahun. Kala itu beliau masih bujang. Di tempat itulah, beliau menanam sejumlah pohon dan membangun sebuah musala kecil.
Musala yang dibangun Mbah Mad Sunni pada tahun 1816 M itu, kelak jadi cikal bakal berdirinya Ponpes Abu Syukur. Sementara pohon yang beliau tanam, sampai saat ini masih bisa dijumpai sebagai pondasi awal berdirinya pesantren di wilayah Tawang Payaman, Ngraho Bojonegoro.

Di lokasi itu, Mbah Mad Sunni mensyiarkan agama islam sekaligus membangun keluarga. Mbah Mad Sunni dikaruniai dua putra yang bernama Abu Abdullah dan Abu Syukur. Putra-putra beliau lahir di Tawang Payaman, tempat beliau berdakwah.
Mbah Mad Sunni figur ulama berusia panjang. Mbah Mad Sunni diperkirakan wafat pada 1880 M. Dengan usia sekitar 100 tahun. Sepeninggal beliau, perjuangan dakwah di Tawang Payaman dilanjutkan putra beliau yang bernama KH Abu Syukur.
KH Abu Syukur Tawang
Jejak juang Mbah Mad Sunni, kelak dilanjutkan putranya yang bernama KH Abu Syukur. Mbah Abu Syukur hidup pada periode (1830 – 1930 M). Serupa sang ayah, beliau juga figur berusia panjang. Di era Mbah Abu Syukur inilah, bangunan yang semula hanya musala, ditambah pondok yang bisa dibuat santri menginap.
Tercatat, Mbah Abu Syukur membangun pondok pada 1870 M, saat berusia 40 tahun. Di era ini pula, Mbah Abu Syukur produktif menulis. Ini dibuktikan dari salah satu karya tafsir Quran yang beliau tulis. Sampai saat ini, karya beliau masih tersimpan di Ndalem Kasepuhan.
Mbah Abu Syukur sosok ulama alim nan kharismatik. Masa kecilnya digembleng langsung oleh sang ayah, Mbah Mad Sunni. Beliau juga belajar ke sejumlah ulam pada zamannya. Bahkan, Mbah Abu Syukur pernah belajar ke Makkah.
Mbah Abu Syukur masih menangi era Syekh Sholeh Darat (1820-1903) di Makkah. Mbah Abu Syukur adalah salah satu santri dari Syekh Sholeh Darat. Hal ini dibuktikan dari tafsir Quran karya Mbah Abu Syukur yang lekat dengan pengaruh sang guru, Syekh Sholeh Darat.

Di era Mbah Abu Syukur inilah, Ponpes Tawang Payaman mengalami kejayaan. Mbah Abu Syukur menikah sebanyak dua kali. Istri pertama dikenal dengan Nyai Abu Syukur dan istri kedua bernama Nyai Fatimah binti Abdul Qodir Palembang.
Istri kedua Mbah Abu Syukur, Nyai Fatimah binti Abdul Qodir, merupakan keturunan Madura yang lahir dan hidup di Palembang. Nyai Fatimah menikah dengan Mbah Abu Syukur di usia sekitar 20 tahun. Dari istri kedua inilah, Mbah Abu Syukur melahirkan banyak ulama. Termasuk para pengasuh Ponpes Abu Syukur pada periode berikutnya.
Bersama Nyai Fatimah, Mbah Abu Syukur dikaruniai 5 keturunan. 1 lelaki dan 4 perempuan. Di antaranya: Nyai binti Abu Syukur I, KH Usman Cepu, Nyai binti Abu Syukur II, Nyai Abdul Hadi Padangan, dan Nyai Abdul Halim.
Anak kedua Mbah Abu Syukur adalah KH Usman Cepu. Beliau diambil mantu KH Hasyim Jalakan (tashrifan Padangan). KH Usman, kelak berdakwah di Cepu Jawa Tengah dan mendirikan pesantren pertama di Cepu yang bernama As-Salam. KH Usman adalah pendiri NU Cepu.
Salah satu putri Mbah Abu Syukur, ada yang dinikah KH Abdul Hadi, pendiri Ponpes Al Hadi Padangan. Sementara putri terakhir Mbah Abu Syukur, dinikah Kiai Abdul Halim asal Madiun. Putri terakhir beserta suami inilah, yang kelak melanjutkan kepengasuhan Ponpes Abu Syukur Tawang Payaman.
Kiai Abdul Halim
Kiai Abdul Halim adalah santri kinasih Mbah Abu Syukur yang berasal dari Madiun. Karena kealiman dan khidmah beliau pada Mbah Abu Syukur, akhirnya diambil mantu oleh Mbah Abu Syukur. Kiai Abdul Halim dinikahkan dengan putri terakhir Mbah Abu Syukur.
Pasca Mbah Abu Syukur wafat, tampuk kepengasuhan sempat dipegang Nyai binti Abu Syukyur I, anak perempuan pertama Mbah Abu Syukur. Setelah itu, Kiai Abdul Halim dan Nyai Abdul Halim menjadi penerus estafet kepengasuhan Ponpes Abu Syukur periode berikutnya.
Di era Kiai Abdul Halim inilah, nama pesantren yang semula hanya Pesantren Tawang, mulai dikenal dengan nama Ponpes Abu Syukur Tawang, sebagai bentuk bakti pada Syekh Abu Syukur. Nama pesantren Abu Syukur juga kian besar seiring banyaknya santri yang menetap di sana.
KH Zarqoni Abdul Halim
KH Zarqoni (1909 – 2006) merupakan putra dari Kiai Abdul Halim sekaligus cucu dari Mbah Abu Syukur. Mbah Zarqoni adalah pelanjut estafet kepengasuhan Ponpes Abu Syukur Tawang, pasca Kiai Abdul Halim wafat. Mbah Zarqoni adalah keponakan dari KH Usman Cepu, pendiri NU Cepu Jawa Tengah.
Di era Mbah Zarqoni, Ponpes Abu Syukur kian besar. Namun, beliau tetap mempertahankan sistem pendidikan salaf peninggalan sang kakek. Ponpes Abu Syukur termasuk pesantren sepuh di Bojonegoro yang sampai saat ini, masih mempertahankan sistem salaf tradisional di Bojonegoro.