Ketika Unesco menetapkan bau buku sebagai aroma warisan tak benda.
Dia lupa sejak kapan suka menciumi buku. Membuka lembar demi lembarnya dengan cepat, lalu menikmati udara yang menguar dari tiap kibasannya. Yang dia ingat, dia sering melakukannya.
Menciumi aroma buku menjadi ritual yang tak pernah lupa ia lakukan, sesaat sebelum membaca buku. Kegiatan itu menjadi norma tak tertulis yang entah kenapa, ia sering reflek melakukannya.
Bahkan, ada sejumlah koleksi buku yang sengaja tak dia baca. Tapi sekadar dia ciumi belaka. Dia nikmati saja aromanya. Dia percaya, tiap buku menyimpan aroma dan kesan yang berbeda-beda.
Baginya, aroma buku mampu menggeret ingatannya pada kesan, suasana, hingga orang-orang yang pernah dia jumpai pada sebuah masa atau sebuah kisah tertentu.
Menurutnya, aroma buku memiliki warna dan karakter. Ia berperan sebagai seorang tokoh dalam kisah yang pernah ia bangun dalam plot episode kehidupannya.
Sesungguhnya, tak hanya aroma pada buku, tapi aroma secara umum, baginya memiliki peran yang sama. Aroma debu yang terhapus air hujan. Aroma hujan. Aroma dedaunan. Hingga aroma embun dini hari. Saat tak sengaja menciumnya, ia kerap terbawa pada lagu-lagu tertentu. Ruang dan waktu tertentu.
Aroma menyimpan cerita. Jangankan mencium aroma parfum, aroma apapun bisa membuat penciumnya mengingat berbagai macam kenangan. Mulai yang melankolis, nostalgis hingga yang berakhir tragis. Aroma adalah pengingat yang magis.
Tak hanya mencium aroma buku yang membuatnya bisa ingat banyak hal; saat tak sengaja mencium aroma tipe-x pun, dia bisa mengingat berbagai jenis surat yang terhapus sebelum dia kirimkan.
Tak perlu melihat foto untuk membaca kenangan. Dia hanya butuh mencium aromanya. Sebab, kenangan memiliki aroma yang khas. Hanya, untuk bisa menciumnya atau tidak, itu masalah yang berbeda.
Pernah suatu hari, di tengah belantara buku-buku di sebuah toko buku, dia menemukan lima judul buku yang benar-benar sedang dia cari. Kelima-limanya sangat penting baginya dan layak untuk dibeli. Namun, uang yang dia bawa tak cukup.
Dia harus memilih, mana buku yang harus dia beli dan mana yang harus dia tinggal. Tapi dia kesulitan. Sebab semuanya bagus dan semuanya harus dibawa pulang. Tapi, karena uang yang dia bawa tak cukup, dia harus tegas memilih beberapa di antaranya saja.
Tak ada jalan lain. Dia pun menciumi buku-buku itu. Mencari aroma mana yang lebih dia suka. Bukan lagi judulnya. Bukan pula penerbitnya. Tapi lebih pada aroma bukunya. Aroma mana yang lebih dia suka.
Awalnya, dia merasa jika menciumi buku hanya kebiasaan buruknya saja. Namun, dia kaget ketika teman-temannya, yang juga penyuka buku, punya pengalaman dan kebiasaan yang mirip perihal menciumi buku.
Di artikel ini, dia tak mau menunjukkan identitas.
Bau Buku sebagai Warisan Tak Benda
Terkait aroma buku, Unesco telah menetapkan bau buku sebagai aroma warisan tak benda. Hal ini dilaporkan dalam makalah yang berjudul Smell of heritage: a framework for the identification, analysis and archival of historic odours.
Meski banyak yang suka menciumi aroma buku, belum banyak yang tahu jika aroma buku yang khas berasal dari kombinasi berbagai senyawa. Bau ini adalah campuran dari ratusan bahan, yang disebut senyawa organik volatil (VOC) yang dilepaskan ke udara dari kertas.
Beberapa senyawa itu adalah asam asetat, benzaldehida, butanol, furfural, atau methoxyphenyloxime dan lain sebagainya.
Selain berbagai campuran senyawa, hidung manusia juga memegang peranan penting kenapa seseorang menyukai bau buku. Hidung terikat langsung ke sistem limbik yang bertanggung jawab atas emosi manusia.
Hal ini juga yang menyebabkan bau menjadi salah satu cara terkuat memicu ingatan. Sehingga kenangan akan rasa senang membaca, seperti datang kembali dari masa lalu kita. Itu alasan kenapa aroma buku (seolah-olah) punya kesan dan karakter berbeda.
Dikutip dari Tirto.id yang melansir Jstor Daily, para peneliti melibatkan beberapa partisipan untuk mencium aroma dan melihat suatu pemandangan. Kemudian para partisipan diminta untuk menulis cerita sebagai respons.
Hasilnya, jauh lebih mudah bagi peserta menciptakan skenario yang meyakinkan dan terperinci dalam suasana hangat dengan aroma yang menyenangkan.
Namun, jika ruangan yang hangat dipasangkan dengan bau yang tidak menyenangkan, para peserta buruk menciptakan detail. Cenderung memiliki masalah dalam mengingat detail, kala aroma tak sesuai dengan pemandangan.
Ini menunjukkan bahwa bau buku berfungsi sebagai lem yang mengikat adegan dan mempertahankan memori implisit dari detail kejadian, saat seseorang membaca sebuah buku.