Mendaki gunung bukan sekadar jalan-jalan via trek menanjak. Mendaki gunung adalah mendaki tingginya keangkuhan hatimu. Iya, kamu.
Mendaki, perlu adanya kekuatan fisik dan kesiapan mental yang dibutuhkan. Jika fisikmu sempurna. Tapi mentalmu tak sekuat baja, urungkan saja niatmu untuk naik gunung.
Bukan ingin menakutimu. Semua orang bebas menikmati indahnya alam luas. Apalagi melihat lautan awan, dan matahari yang kian cerah memecah langit. Semakin ke atas akan semikin indah, dan keindahan itu perlu istiqomah tanpa batas.
Kembali ke istiqomah. Bukan hanya puncak yang keren. Namun, dalam setiap perjalanan akan ada hambatan yang harus kita lewati. Yang pernah mendaki pasti akan paham. Bagaimana rasa istiqomah terus dipertahankan dalam setiap perjalanan.
Ketika kamu berjalan. Secara otomatis, kamu akan capet. Kakimu mulai pegal, lututmu mulai tak sanggup menopang tas kerrier yang berat. Namun, kamu ingin cepat-cepat sampai di puncak. Bagaimana sikapmu dalam menghadapi hal itu?.
Begini, itu sudah wajar dalam pendakian. Yang tidak wajar, kamu semakin lama semakin mengeluh. Energi negatif secara otomatis kamu hadirkan. Itulah yang membuat pendakianmu gagal sampai puncak. Tapi ingat. Puncak yang sebenarnya adalah rumah kalian sendiri dan bertemu orang tua, dengan senyum bahagia.
Kamu akan mengikuti petunjuk, perjalanan itu yang akan menentukan sikapmu. Seberapa kuat dirimu menahan nafsu untuk sampai atas. Begitu pula memikirkan kawan-kawanmu yang jalannya lambat dan gampang lelah.
Itulah letak kata istiqomah di setiap perjalanan menuju puncak gunung. Saya juga pernah merasakan hal itu. Saya termasuk pendaki pemula. Hanya dua orang kawan, yang tahu dan paham bagimana mendaki gunung yang benar.
Rombongan berjumlah sembilan orang. Kami sepakat mendaku Gunung Penanggungan. Dengan ketinggian 1653 MDPL. Kebetulan, gunubg itu dekat dari rumah kawan-kawan saya yang akan berang. Ada yang Bojonegoro, Lamongan dan Gresik.
Setalah kami semua sampai di lereng Gunung Penanggungan. Kami siap-siap melakukan peking. Kerrier 60L yang sudah tidak terbayang beratnya. Harus tetap kami bawa ke atas, tanpa alasan apapun. Saya pun tak ingin menyusahkan kawan-kawan saya. Apalagi membawa barang-barang.
Tas kerrier saya berisi barang yang cukup berat bagi pendaki pemula. Itu kata kawan saya. Yang sudah sering mendaki. Saya tetap optimistis. Tidak menghiraukan omongan siapapun. Semua yakin akan selamat dan baik-baik saja.
Sembilan orang itu juga berbeda sifatnya. Ada beberapa yang egois. Dengan alasan pendaki pemula. Tidak kuat membawa barang bawaan yang berat. Itulah yang membuat saya semakin sabar. Setelah memenuhi persyaratan, sembilan dari kami berangkat berjalan menuju puncak Gunung Penanggungan.
Tiga kawan saya yang egois itu berjalan cepat. Wajar dia tak membawa apa-apa. Kami bertujuh hanya tersenyum. Apalagi 2 orang kawan yang sering mendaki ini bilang, “biarkan saja, nanti kalau dia capet ya berhenti.” Tidak lama kemudian, dia teriak-teriak minta minum. Semua itu tetap dikasih sama kawan-kawan.
Perjalanan panjang, dari pukul 2 siang hingga 4 sore. Kami mencapai pos 3. Pos dengan peristirahatan yang nyaman. Selain itu juga ada tempat itu meletakkan tas yang berat di atas batang pohon. Saya sudah semakin capek. Saya pun mengeluh kepada dua kawan saya.
“Mas, aku lho pegel.”
“Wes to ayok, kamu pasti bisa.”
“Wong telu kuwi ra gowo tas, lha ngeneki abot.”
“Wes lang ayok gasah sambat ae.”
Saya sempat iri pada 3 orang kawan yang tak membawa apa-apa. Namun, saya harus tetap berjalan. Walaupun jaluk semakin curam dan nanjak. Tak ada lagi jalur yang landai. Seperti di pos 1 maupun pos 2.
Kaki melangkah pelan. Sedikit demi sedikit. Dalam hati saya bicara, “saya harus bisa” semua itu tergantung diri kita. Semakin mengeluh akan semakin capek dan capek. Itulah sebabnya, mendaki gunung tidak boleh mengeluh. Bukan tentang mitos atau bagaimana. Tapi energi positif yang harus tetap dimunculkan dalam setiap pendakian.
Tak lama kemudian, pos 4 sudah di depan pelupuk mata. Saatnya berhenti sejenak dan meneguk air putih. Saya dan 2 orang kawan punya prinsip. “Ketika di gunung, kita minum buka karena dahaga, melainkan karena butuh tenaga.”
3 kawan saya yang tidak membawa tas itu semakin mengeluh. Dia tak mau melanjutkan perjalanan. Dengan alasan capek, dan kaki yang semakin sakit. Katanya seperti itu. Memang hal seperti itu sangatlah wajar dalam pendakian. Kawan-kawan menjawabnya dengan santai dan enak.
“Kalau nggak mau capek jangan mendaki gunung, tidur di kasur sangatlah enak.”
Kami sempat cekcok dan ada yang hampir bertengkar. Pada akhirnya kami yang semula sembilan terpecah menjadi dua bagian. Saya, Pahmi, Ucup dan Indra memutuskan naik ke puncak bayangan dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Dengan alasan, ketika mereka berlima sampai di puncak bayangan bisa langsung istirahat.
Saya berjalan bersama empat kawan. Perjalanan terasa sangat nyaman. Mereka yang bertiga tadi menjadi berlima. Ditemani oleh Asrof, seorang yang sering mendaki gunung di Jawa Tengah, 60 persen gunung di Jawa Tengah sudah pernah ia daki. Dan dia saya suruh sabar berlipat ganda. Tidak lupa, rasa istiqomah yang harus dipegang erat.
Tepat pukul 6 sore. Saya dan kawan-kawan sampai dipuncak bayangan. Kami bergegas mendirkan tenda. Tak kunjung lama, 4 tenda sudah terpasang dan rapi. Dan tidak lupa, memasak menu makanan khas gunung. Yaitu mie instan.
Kami berempat memutuskan tidur, agar tubuh kami fit kembali. Karena besok masih melanjutkan perjalanan lagi menuju puncak yang asli. Puncak Pawitra dengan ketinggian 1653 MDPL. Karena yang kami singgahi hanya puncak bayangan.
Begitulah. Mendaki gunung bukan sekadar jalan-jalan via trek menanjak. Mendaki gunung adalah mendaki tingginya keangkuhan hatimu. Iya, kamu. Dibutuhkan sikap istiqomah untuk menghajar keangkuhan hati.