Muslimah Mendobrak Bias merupakan buku pembelajaran dalam merekam sekian persoalan kemanusiaan. Salah satunya tentang pernikahan anak.
Saya berbincang dengan 3 kawan saya tentang pernikahan anak ini beberapa hari lalu melalui live instagram. Mengapa tema tersebut menarik untuk dituliskan?
Pernikahan anak bukan masalah satu atau dua orang atau keluarga saja. Melainkan pernikahan anak ini merupakan masalah struktural yang butuh pendekatan dan intervensi secara struktural untuk mengatasinya.
Pernikahan anak ini terjadi bisa berangkat dari pelbagai macam faktor dalam kehidupan ini, ada yang menyebutnya masalah ekonomi, sosial, budaya dan juga karena tradisi.
Mungkin faktor itu juga banyak muncul dan disebutkan dalam penelitian. Dalam pandangan saya, pernikahan anak ini juga tidak lepas dari cara pandang manusia yang bias.
Cara pandang yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua atau makhluk yang lemah (perlu perlindungan ekstra dari laki-laki) dan perempuan sebagai objek.
Pernikahan anak dilakukan untuk menghindari zina, padahal belum tentu juga ketika perempuan dinikahkan di usia anak ia akan bebas dan terhindar dari zina? dan kalaupun ia sudah menikah, maka orang dewasa merasa sudah menjalankan tugasnya dengan baik.
Memberikan perlindungan padanya dan dialih tanggungjawabkan pada si suami. Persepsi, kalau sudah ada suami aman dan akan terhindar dari segala macam fitnah kehidupan.
Dengan tanpa menyadari apakah seorang anak yang dinikahkan ini sudah benar-benar siap. Siap tidak hanya secara fisik luar, melainkan siap secara biologis, finansial, mental dan emosional.
Terlebih, anak perempuan di bawah umur yang dinikahkan ini akan memiliki kecenderungan dan risiko yang berat dibandingkan dengan laki-laki. Kalau kata Nyai Nur Rofiah, laki-laki tidak akan mengalami sakitnya pengalaman biologis (menstruasi, melahirkan, nifas) yang dialami oleh perempuan.
Perempuan yang dinikahkan di bawah umur tentu kemungkinan berhubungan seksual dan memiliki anak juga besar. Anak di bawah umur memiliki anak? Membayangkannya saja saya tidak sanggup, apalagi ketika mendapati kenyataan ini, rasanya sakit.
Anak yang harusnya menikmati dunia di usianya, sekolah, bermain dan bersenang-senang harus sudah memikirkan lembaga kehidupan bernama “pernikahan rumah tangga” ini.
Belum lagi ketika si anak harus mengurus dan mengasuh bayinya yang kecil, yang bisa jadi diusia anak saja ia belum benar-benar siap secara emosional.
Anastasia Satryo, seorang psikologi anak pernah mengatakan bahwa seseorang benar-benar mampu dan matang secara emosional itu ketika menginjak usia 25 tahun.
Kalau si anak belum siap, pola pengasuhan yang diberikan pada si bayi juga belum benar-benar menguatkan dia. Meski, tidak menutup kemungkinan juga orang dewasa yang mengasuh anaknya tidak akan seratus persen mulus, pasti ada naik turunnya.
Sebab, menikah dan mengasuh anak adalah proses dan pembelajaran panjang dalam hidup yang tidak hanya bulanan.
Anak yang harus mengurus bayi diusia anak itu perlu energi yang benar-benar cukup. Butuh kematangan emosional dan support system yang bagus. Kalau itu tidak didapatkan, bisa jadi pola pengasuhan dengan kekerasan anak terjadi.
Anak menjadi pelampiasan marah orang tua, membentak dan mengolok-ngoloknya ketika tindakan si anak tidak sesuai dengan kemauan dan keinginan orang tua.
Apakah siap dengan segala ketidaksempurnaan anak dan keistimewaanya? Hal tersebut bisa tidak bagus untuk tumbuh kembang si anaknya, jika pola pengasuhannya harus dengan cara kekerasan.
Belum lagi kalau ditinjau dari aspek kesehatan, apakah organ tubuh si perempuan yang menikah di usia anak sudah benar-benar siap mengandung anak?
Rasanya memang jawabannya akan panjang dan sangat pelik.
Berhenti menikah di usia anak dan berhenti memaksa/menikahkan saudara atau anak di bawah umur sama dengan mengurangi kekerasan pada perempuan dan anak.
Ketika menikah dan menikahkan saudara atau anak diusia dan waktu yang benar-benar matang sama dengan mempersiapkan generasi yang lebih berkualitas.
Salam hangat untuk kawan perempuan dan orang tua yang hari ini sedang berjuang membesarkan anak-anaknya diberikan kekuatan dan dimampukan dalam menghadapi merah birunya kehidupan.