Kami melakukan ekspedisi kecil-kecilan menelusuri jejak pelabuhan atau tambangan penyeberangan sungai (naditira pradesa) zaman Majapahit di sepanjang desa-desa tepi Bengawan, (Bojonegoro-Tuban).
Seperti yang dikabarkan dan diabadikan oleh Prasasti Canggu (1358 M), Raja Hayam Wuruk menetapkan kawasan pelabuhan penyeberangan sebagai daerah istimewa (swatantra) yang otonom dan bebas pajak.
Tiga di antara titik naditira pradesa adalah i pakbohan (Pakebohan/Boan?), i lowara (Lowara/Losari?), dan i duri (Duri), yang disebutkan prasasti secara berurutan.
Tambangan Boan?
Beberapa sejarawan menganalisa, berdasarkan toponimi, i pakbohan adalah dusun Boan, turut desa Kebomlati (Plumpang, Tuban). Berhadapan dengan Dusun Mranten (Baureno, Bojonegoro). Berbekal keterangan singkat demikian, kami langsung menuju lokasi dan segera mencari di mana jejak tambangan kuno itu berada.
Dan memang secara geografis, kawasan Boan terletak di lembah Bengawan, uniknya sepanjang jalan porosnya tepat berada di tepi sungai dan linier mengikuti lika liku alirannya.
Begitupun dengan rumah penduduk yang hampir semuanya berderet menghadap Bengawan, menjadi bukti empiris akan jejak keberadaan peradaban sungai itu. Sayangnya, kami tak menemukan lagi aktivitas penyeberangan. Meski demikian, menurut keterangan warga setempat, dulu memang ada tambangan yang kini sudah gantung perahu sejak tiga tahun terakhir (2021 M).
Akhirnya kami coba menelusuri jejaknya, dengan menyusuri pagar bambu yang berjajar rapi di sepanjang bibir sungai, lalu menemukan pintu masuk menuju titik pelabuhan yang telah lenyap.
Tambangan Lowara/ Losari
Kawasan mandala Majapahit selanjutnya, yang menjadi titik penyeberangan sungai (naditira pradesa) adalah i lowara dan i duri. J. Noorduyn dalam Further Topographical Notes on the Ferry Charter of 1358, setidaknya menafsirkan Lowara ini secara toponimi dekat dengan nama Losari. Hari ini menjadi sebuah dusun di Desa Pucangarum (Baureno, Bojonegoro), yang berjarak sekitar 8 kilometer dari kawasan Boan.
Setelah kami telusuri, memang benar ada titik penyeberangan di sana, dan sudah masyhur dengan sebutan Tambangan Losari. Menariknya, tak jauh dari sana, sekitar 700 meter ke barat kami temukan titik naditira pradesa selanjutnya, yakni Tambangan Nduri (i duri).
Tambangan i Duri / Nduri
Dan sewaktu kami menyeberang dari Losari, tambangan Nduri kelihatan, begitu juga sebaliknya. Karena memang keduanya secara teritori merupakan kawasan yang bersebelahan, meski beda desa dan kecamatan, Nduri atau Duri sendiri menjadi dusun di desa Kedungprimpen (Kanor, Bojonegoro).
Di sekitar kawasan Losari, secara sosio-kultural, sebagain masyarakat masih melestarikan tayuban dalam setiap tradisi nyadran, yang digelar di halaman punden berupa pohon asam tua, yang dikeramatkan. Dan di sebuah pohon asam besar itu, diyakini ada makam sesepuh bernama Mbah Sowiyah.
Secara geografi ekologis, di dasar Bengawan Losari diduga menyimpan pasir yang melimpah. Karena sewaktu kami melintas terlihat banyak perahu penambang pasir yang berlabuh di seberang tambangan (Sepat, turut desa Kedungrojo, Plumpang Tuban), sehabis mengeruk pasir dan mengangkut hasilnya ke dalam bak-bak truk yang sudah mengantri.
Menziarahi Prasasti
Setelah suntuk menziarahi tiga serangkai pelabuhan-tambangan kuno, tidak berhenti di situ, kami berlanjut menelusuri dan membuktikan kabar adanya sebuah prasasti. Dan memang betul, kami menemukannya di tengah-tengah kawasan antara Boan dan Losari-Nduri. Sebuah ekspedisi yang sungguh menggairahkan.
Ialah Prasasti Bandungrejo, lokasinya berada di kompleks makam Astana Krebut, di desa dengan nama yang sama (turut kecamatan Plumpang, Tuban). Kebetulan sekali bertemu dengan juru kunci makam, Mas Habibi, tak lama kemudian kami disilakan untuk melihatnya.
Prasasti tahun 1355 M ini, disimpan di dalam cungkup makam Mbah Karto Wijoyo (Sayyid Abdurrohman Abu Bakar Husni), ulama yang konon keturunan Fatahillah yang melarikan diri lewat Bengawan. Untuk diketahui, makam ini baru dibuat pada tahun 1970-an.
Prasasti ini terbuat dari batu andesit yang berjumlah dua buah dan kembar. Yang mengherankan, pada 1970-an, kedua prasasti ini dijadikan nisan makam Mbah Karto Wijoyo. Kami bisa melihat secara langsung. Kedua prasasti itu ditutup kain putih, lalu disingkap oleh juru makam untuk kami lihat.
Tidak hanya itu, ditengah-tengah pusara makam tertancap sebuah lingga. Dan akhirnya kami benar-benar menziarahi prasasti sekaligus makam tersebut. Kami meyakini, pada momen seperti inilah, budaya literasi itu sangat penting.
Berdasarkan tutur sang juru kunci, Prasasti Bandungrejo ini berangka 1277 Saka atau 1355 Masehi, di mana isinya menceritakan peristiwa pemberontakan di tepi sungai (naditira) yang mampu dipadamkan orang Kuti Tuban.
Dan inilah satu-satunya prasasti yang menyebut nama Tuban, sebagaimana keterangan papan di samping makam. Selain prasasti dan lingga, ditemukan pula arca, ganesa, dan barang bersejarah lainnya yang sudah diboyong ke museum.
Dari sini muncul dugaan baru, adanya relasi dialektik antara peristiwa pemberontakan yang dikabarkan dalam Prasasti Bandungrejo (1355) dengan ditetapkannya kawasan pelabuhan penyeberangan (naditira pradesa) sebagai daerah istimewa dalam Prasasti Canggu (1358), di mana keduanya hanya berselang jarak tiga tahun.
Dan uniknya, dari lokasi Prasasti Bandungrejo kemudian lurus ke selatan, juga terdapat titik penyeberangan, menuju dusun Karanglo, turut desa Kadungrejo (Baureno, Bojonegoro), meski tidak termasuk titik naditira pradesa (Prasasti Canggu).
Sehingga dalam benak pribadi muncul dua dugaan. Pertama, bahwa i lowara yang dimaksud adalah Karanglo, bukan Losari. Kedua, kalau memang betul Losari, bisa jadi kawasannya mencakup wilayah pelabuhan Karanglo-Bandung.
Karena antara keduanya juga didukung akses jalan yang lebih terjangkau dan bisa menembus jantung kota di kedua kabupaten, Bojonegoro dan Tuban. Inilah yang menjadi alasan, kedepan akan segera diproyeksikan pembangunan jembatan, meski akan mengancam keberadaan tambangan (bersejarah?) di bawahnya.
Konklusi dan Refleksi
Boan-Losari-Nduri, ketiganya merupakan kawasan pelabuhan yang menjadi bagian dari mandala Majapahit di era keemasannya, beriringan pula dengan era kejayaan Bengawan, sebagai urat nadi ekonomi-politik pada zamannya. Sehingga ketiganya mungkin tidak hanya menjadi titik penyeberangan, tetapi juga menjadi bandar pelabuhan yang ramai, tempat transit kapal-kapal sungai yang mengangkut hasil bumi dari hulu ke hilir (pesisir), begitupun sebaliknya.
Hal ini tergambar dari geografis jalan dan pemukiman di sekitar bekas pelabuhan Boan, yang masih setia menghadap Bengawan. Di saat banyak rumah mulai membelakanginya dan menjadikannya tempat sampah. Sementara di kawasan Boan, sepanjang tepi Bengawan terlihat bersih dan terasa sejuk karena masih banyak pepohonan dan rerumpunan bambu.
Semakin ke barat menuju pelabuhan tambangan berikutnya, mulai terlihat banyak kerusakan ekosistem sungai, seperti erosi (jungkur). Karena selain minim tegakan pohon dan bambu yang bisa mengikat tanah, juga ditambah maraknya aktivitas tambang pasir di beberapa titik, dan pengangkutannya berpusat di samping tambangan Bandung dan tambangan Sepat.
Keberadaan desa-desa pelabuhan yang ramai, juga diperkuat oleh Prasasti Bandungrejo. Menjadi bukti empiris bahwa dinamika sosial di kawasan Boan-Losari-Nduri begitu diwaspadai raja Hayam Wuruk, lebih-lebih bisa mengancam kekuasaan Majapahit. Tentu hal ini menunjukkan adanya peradaban yang tidak kecil di kawasan sekitarnya. Hingga pada era Amangkurat II (1677-1703 M), seorang senopati Mataram (Karto Wijoyo) tertarik untuk berlabuh di sana. Setelah bergabung bersama pasukan Trunojoyo untuk menyerang balik Mataram yang bersekutu dengan kompeni.
Supaya tidak kehilangan jati diri dan terus berkutat pada dongeng-dongeng mistis. Jejak kemajuan masa lalu akan peradaban sungai Bengawan, niscaya dijadikan cagar budaya di setiap titik naditira pradesa, hingga menjadi wisata sejarah, yang terintegrasi dengan prasasti dan situs makam. Sembari merestorasi ekosistem sungai dari hulu hingga hilir, dan menjaganya dari sampah, limbah-limbah pabrik, dan tambang pasir.