Kala usia saya masih remaja, keberadaan sejumlah pengrajin dan pelaku UMKM batik di Desa Klampar, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan, cukup menyita perhatian saya. Desa tersebut bukan sekadar tempat di mana saya lahir, tumbuh, dan berkembang.
Lebih dari itu, menjadi titik awal di mana saya mulai memahami kekayaan budaya bangsa dairi desa saya. Perlahan terbentuklah cara pandang saya terhadap dunia batik. Bagaimana tidak, hampir setiap hari saya menjumpai warga desa yang bergelut dengan canting, malan (lilin), dan kain.
Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup, pengrajin tersebut berjibaku untuk menelurkan karya-karya yang berguna dan mempesona. Hanya saja, sayang seribu sayang, nasib pengrajin batik, khususnya di kampung saya, hari ini masih terkatung-katung.
Ditambah lagi, saat ekonomi masyarakat berjalan lambat, sebagian pengrajin memilih banting setir beralih ke profesi lainnya yang barangkali lebih menjanjikan pendapatan dan masa depan. Dan catatan ini sengaja saya buat memang untuk memperingati Hari Batik Nasional (HBN) 2 Oktober 2025 kemarin.
Setiap tahun kita memperingatinya. Kadang dengan beragam lomba seperti halnya fashion show, desain batik, karya tulis, vlog, dan semacamnya. Kompetisi yang sengaja dirancang untuk menambah semarak HBN. Bahkan, setiap HBN sebagian instansi, baik dari plat merah maupun swasta, seakan kompak mengenakan baju batik.
Ini menandakan, antusiasme masyarakat masih berdenyut. Namun, di balik itu semua, ada ujung tombak kebudayaan batik yang kerap kali kita sisihkan. Ya, siapa lagi kalau bukan pengrajin batik. Padahal, berkat tangan-tangan terampil penuh dedikasi itulah industri batik masih hidup hingga saat ini.
Saya ambil contoh pengrajin batik di Kampung Batik Klampar, yang hingga sekarang, seolah mengalami kondisi hidup tidak mau, matipun segan. Profesi pengrajin batik selama ini masih belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Jangkan meningkatkan kesejahteraan pengrajin batik, untuk sekadar tahu dan paham persoalan di lapangan tidak ada yang menjamin. Saya masih belum menjumpai aturan, program, dan kebijakan dari pemerintah yang menunjukkan keberpihakan secara total kepada pengrajin batik, khususnya dalam jangka panjang.
Kalaupun ada, itu biasanya hanya berupa bantuan-bantuan alat, bahan, uang tunai, ataupun pelatihan. Itupun sifatnya temporal, tidak berkelanjutan, tidak sistematis, dan minim pengawasan. Ditambah lagi, biasanya setiap ganti rezim pemerintahan, ganti pula program dan kebijakannya.
Lebih-lebih, kita sedang memasuki era digitalisasi yang begitu masif yang mana semuanya mendambakan kecepatan dan kepraktisan. Hal itu bertolak belakang dengan batik sebagai produk seni yang dihasilkan para pengrajin.
Untuk menghasilkan satu kain batik saja tidak jarang membutuhkan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan hingga satu tahun lebih. Semua tergantung tingkat kerumitan motif dan prosesnya. Sebab, batik sendiri bagi saya bukan hanya selembar kain yang bisa dijahit menjadi taplak meja, kemeja, sarung, dan semacamanya.
Lebih dari itu, di dalam batik tersimpan nilai filosofis, historis, dan estetis. Artinya, bukan hanya bernilai ekonomi. Tapi juga sangat indah, penuh sejarah, dan sarat makna. Itulah yang membedakan kain batik dengan kain lainnya.
Jika diidentifikasi lagi, persoalan seputar Kampung Batik Klampar di antaranya yaitu krisis pengrajin, regulasi dan program dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum sepenuhnya menyasar pengrajin, masifnya batik printing dengan harga miring, sebagian besar pengrajin gagap teknologi digital, minimnya promosi, dan lain-lain.
Persoalan semacam itu menjadi tantangan sekaligus alarm keras bagi kita semua bahwa industri batik, khususnya di Kampung Batik Klampar sedang tidak baik-baik saja.
Saya mencoba meneropong dan menerka-nerka bagaimana kelak nasib Kampung Batik Klampar jika kita semua berpangku tangan. Saya cemas bercampur waswas mengenai eksistensi Kampung Batik Klampar.
Bukan tidak mungkin, kampung tersebut hanya akan tinggal nama dan ceritanya. Sebelum terlambat, saya merekomendasikan empat jalur untuk menghidupkan kembali kampung tersebut. Pertama, jalur edukasi, yaitu jalur di mana setiap lembaga pendidikan (sekolah atau kampus) diwajibkan melakukan eduwisata ke Kampung Batik Klampar,
Kedua, jalur regulasi, maksudnya pemerintah menetapkan aturan yang mampu menstimulus pertumbuhan industri batik, khususnya di Kampung Batik Klampar. Seperti mewajibkan setiap siswa dan guru memakai batik tulis Madura setiap hari tertentu. Ketiga, jalur gerakan ataupun kampanye, artinya komunitas ataupun organisasi pemuda/mahasiswa mesti mengambil peran untuk mengajak masyarakat mencintai dan bangga terhadap budaya batik.
Bisa lewat diskusi, kajian, seminar, sosialisasi, dan semacamnya. Keempat, jalur promosi digital, artinya di jalur inilah kita semua bisa turun tangan untuk memperkenalkan Kampung Batik Klampar atau kampung-kampung batik lainnya lewat akun media sosial kita masing-masing. Bisa lewat postingan berupa teks, foto, grafik, video, dan semacamnya.
Kemudian, untuk memungkasi catatan ini, saya juga menawarkan strategi 3P yakni pendataan, pembidikan, dan pengkaderan. 3P bertujuan untuk mengatasi melahirkan lebih banyak lagi pengrajin batik yang berkualitas.
Pendataan maksudnya, pemerintah harus mendata jumlah pengrajin aktif. Pembidikan maksudnya, pemerintah harus menelusuri siapa saja yang berpotensi menadi calon pengrajin profesional.
Pengkaderan maksudnya pemerintah menjalankan sebuah program pendidika, pelatiha, pembinaan, dan pemberdayaan untuk mengkader calon-calon pengrajin batik yang andal. Dengan demikian, besar harapan saya, industri batik kembali menggeliat, khususnya di Kampung Batik Klampar. Akhirnya saya mengucapkan syukur.








