Hari ini, bahkan utopia pun bisa dicicil lewat kredit.
Ada ironi yang tak kunjung padam di abad modern: bahwa manusia tampaknya lebih pandai membangun dunia setelah menghancurkannya terlebih dahulu. Ekonomi tumbuh subur di atas reruntuhan. Jalan-jalan baru dibuka setelah bom-bom menutup jalan lama. Keynesianisme, dalam sejarahnya, adalah bunga yang mekar di padang yang hangus oleh perang.
John Maynard Keynes tidak mencintai perang. Ia mencintai keteraturan, keseimbangan, dan rasionalitas ekonomi. Namun sejarah punya kebiasaan buruk: menjadikan teori yang lahir dari nalar sebagai alat bagi naluri paling purba manusia—bertahan dan menaklukkan.
Maka Keynesianisme, yang semula dimaksudkan untuk menyehatkan ekonomi melalui intervensi negara, justru menemukan lahan suburnya di masa kehancuran: ketika negara harus memproduksi senjata, membangun pabrik amunisi, dan menghidupkan kembali industri melalui perang.
Jerman di bawah Hitler mungkin contoh paling tragis sekaligus paling terang. Di tengah depresi dan pengangguran, rezim Nazi menghidupkan kembali perekonomian lewat industri militer: baja, mesin, senjata, tank. Angka pengangguran turun drastis; grafik pertumbuhan melonjak. Di atas kertas, Jerman makmur. Tapi di balik angka-angka itu, ada mayat-mayat yang tak terhitung.
Amerika pun tak jauh berbeda. Setelah Perang Dunia Kedua, negeri itu menjelma menjadi kekaisaran ekonomi dunia. “Military industrial complex,” kata Eisenhower, menjadi hantu yang tak pernah pergi—meski diserukan agar diwaspadai. Di situ Keynesianisme menemukan bentuk yang aneh: negara menjaga kesejahteraan warganya lewat belanja militer.
Senjata menjadi instrumen ekonomi. Damai membutuhkan perang yang terus dipelihara dalam bentuk yang lebih halus—perlombaan senjata, intervensi, konflik regional yang tak pernah selesai.
Mungkin di sinilah letak kejanggalan paling dalam peradaban modern: kita memelihara kemakmuran dengan sedikit kekacauan. Kita menciptakan ketertiban dengan ancaman. Keynesianisme, dalam wujud paling ironisnya, membuktikan bahwa stabilitas adalah anak dari instabilitas yang terencana.
Dan lihatlah Indonesia pada era pasca-kolonial. Semangat Keynesian pernah berdenyut di tubuh muda Republik: ketika Soekarno dan para perencana pembangunan berbicara tentang berdikari, tentang negara yang aktif membangun industri dasar, menggerakkan rakyat sebagai subjek ekonomi, bukan sekadar pasar.
Tapi sejarah kita memilih arah lain. Keynesianisme kita tumbuh pincang—disusupi ide-ide pembangunan yang justru mengabdi pada modal asing, bukan pada cita-cita kemerdekaan ekonomi.
Kini, di abad yang lain, kita kembali dihadapkan pada paradoks yang sama: negara berutang untuk “membangun”, meminjam agar bisa “berdaulat”. Jalan tol berdiri megah, tapi fondasi ekonominya rapuh. Lapangan kerja tumbuh, tapi upah tak cukup untuk hidup.
Pembangunan menjadi semacam perang sunyi—tanpa peluru, tanpa darah, tapi dengan luka yang lebih dalam: kehilangan arah.
Barangkali benar, seperti pernah dikatakan seorang filsuf sinis: “Manusia tidak bisa hidup tanpa musuh, sebab hanya musuh yang membuatnya merasa hidup.”
Maka ekonomi, politik, bahkan kemakmuran, semua menunggu hadirnya “musuh baru” untuk bergerak. Di Eropa abad ke-20, musuh itu bernama fasisme. Di abad ke-21, musuhnya bisa berupa “terorisme”, “inflasi”, atau bahkan “kemiskinan”—semua kata yang membuat negara tetap punya alasan untuk bertindak dan membelanjakan uangnya.
Namun, di balik semua itu, ada pertanyaan yang mungkin tak akan pernah selesai: mungkinkah kemakmuran tanpa perang? Atau, seperti Keynesianisme telah menunjukkan, mungkinkah sistem ekonomi yang menyejahterakan tanpa terlebih dahulu menciptakan ketimpangan agar punya alasan untuk diperbaiki?
Sejarah, tampaknya, hanya berputar dalam lingkaran yang halus tapi berbahaya: perang memacu ekonomi, ekonomi membiayai perang. Di tengah lingkaran itu, manusia sibuk menamai penderitaan mereka dengan istilah baru: stabilisasi, stimulus, pertumbuhan.
Kita hidup dalam dunia yang menganggap “kerusakan” sebagai awal dari kemajuan. Dalam logika itu, bom yang jatuh bisa berarti peluang kerja. Luka ekonomi dianggap prasyarat penyembuhan. Dan Keynesianisme, meski lahir dari keinginan menyembuhkan, akhirnya menjadi bagian dari penyakit itu sendiri.
Di sinilah kita berdiri: di antara reruntuhan ide dan keyakinan, mencoba percaya bahwa kemakmuran bisa lahir tanpa perang, bahwa kesejahteraan bisa hadir tanpa korban. Tapi mungkin—seperti sejarah telah berulang kali membisikkan—manusia memang tak pernah benar-benar menginginkan damai, melainkan hanya bentuk damai yang bisa diatur, dihitung, dan, bila perlu, dijual.
Kita sering membayangkan bahwa ekonomi tumbuh dari kerja keras, inovasi, dan produksi. Tapi sejarah modern mengajarkan sesuatu yang lebih gelap: bahwa kemakmuran sering kali lahir dari kehancuran yang direncanakan. Dari perang yang dikalkulasi. Dari penderitaan yang bisa dijadikan angka dalam laporan keuangan.
Keynesianisme adalah doktrin yang tampak mulia—negara hadir untuk menyeimbangkan pasar, membangun lapangan kerja, dan melindungi rakyat dari krisis. Namun seperti semua ide besar dalam sejarah, ia berubah wujud begitu menyentuh kekuasaan. Ia menjadi dalih bagi industrialisasi senjata, bagi hutang negara, bagi bank-bank besar yang menulis ulang nasib dunia dengan bunga majemuk.
Ekonomi perang Jerman di bawah Hitler, misalnya, tidak berdiri di atas keajaiban nasionalisme semata. Ia berdiri di atas modal yang disalurkan oleh bank-bank Amerika—Wall Street—yang melihat perang bukan sebagai bencana, tetapi sebagai peluang investasi. Tank dan peluru tak lahir dari kebencian, melainkan dari kredit. Maka benarlah tesis lama yang sering diabaikan: all wars are bankers’ wars.
Di titik ini, Keynesianisme bergeser menjadi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar teori ekonomi. Ia menjadi pola pikir. Sebuah watak peradaban. Peradaban yang percaya bahwa hidup hanya berarti ketika ada yang bisa ditaklukkan. Bahwa damai hanyalah jeda di antara dua peperangan.
Bangsa-bangsa kulit putih, dalam perjalanan panjangnya, menulis sejarah dengan darah dan bunga pinjaman. Mereka menaklukkan dunia sambil menyebarkan kata-kata indah: progres, demokrasi, pembangunan. Tapi di bawah kata-kata itu, selalu ada mesin perang yang bekerja dalam diam—pabrik baja, bank internasional, kapal perang, dan sistem keuangan yang memaksa dunia tunduk lewat utang.
Ketika perang dunia berakhir, senjata tidak berhenti dibuat. Ia hanya berganti rupa: menjadi pembangunan.
Jalan raya menggantikan tank. Bendungan menggantikan bom. Namun uang yang mengalir berasal dari tempat yang sama: perbankan global. Maka jangan kaget bila teori pembangunan ekonomi yang kita pelajari di universitas—yang kita terapkan sejak Orde Baru—sesungguhnya masih berakar pada military Keynesianism. Hanya saja, kali ini pelurunya adalah kredit luar negeri, bukan mesiu.
Ketika Soekarno berbicara tentang berdikari, ia sesungguhnya mencoba memutus rantai itu. Ia ingin membangun ekonomi tanpa bergantung pada bank-bank asing, tanpa tunduk pada logika “bantuan” yang sebenarnya perang dalam bentuk baru. Tapi sejarah menulis bab yang lain: Soekarno tumbang, dan negeri ini memasuki babak pembangunan. Kata yang manis di lidah, tapi getir di kenyataan.
Pembangunan Orde Baru bukan sekadar proyek ekonomi. Ia adalah reinkarnasi halus dari war economy. Ada musuh baru: kemiskinan, keterbelakangan, “subversif.” Semua harus diberantas, dengan cara yang rapi dan birokratis. Negara berutang untuk membangun jalan, pabrik, dan proyek-proyek prestisius—sementara generasi baru dibesarkan dengan utang yang tak mereka pahami.
Di bawah jargon “stabilitas nasional,” militer menjadi tulang punggung ekonomi. Itulah bentuk tropis dari military Keynesianism: rezim yang memadukan pembangunan dengan pengawasan, pertumbuhan dengan ketakutan. Bank Dunia dan IMF menjadi panglima tak terlihat; mereka tak perlu mengirim pasukan, cukup mengatur angka di atas kertas.
Kita, anak-anak dari masa itu, tumbuh dengan keyakinan bahwa kemajuan adalah satu-satunya jalan. Tak ada yang salah dengan membangun, kita diajarkan. Tapi tak pernah diajarkan bahwa setiap pembangunan adalah utang, dan setiap utang adalah bentuk penaklukan yang sah.
Hari ini, setelah setengah abad, kita masih hidup dalam gema Keynesianisme yang sama.
Hanya medan tempurnya yang berubah. Perang kini tak lagi berlangsung di parit, melainkan di pasar saham, di bursa valuta, di meja rapat lembaga keuangan internasional. Para jenderalnya memakai jas, bukan seragam. Peluru mereka adalah algoritma.
Mungkin inilah wajah paling sempurna dari war economy: dunia tanpa damai, tapi juga tanpa perang. Dunia di mana semua orang bekerja keras untuk membayar bunga atas perang yang tak pernah mereka ikutkan.
Di titik ini, pertanyaan menjadi getir: apakah kemakmuran bisa lahir tanpa musuh? Apakah damai mungkin tanpa perintah dari bank?
Barangkali jawaban itu tidak akan datang dari Eropa atau Amerika—tempat di mana perang sudah menjadi bagian dari identitas.
Mungkin hanya bangsa-bangsa yang pernah dijajah, pernah direbut, pernah dipaksa tunduk, yang masih punya kesempatan untuk menemukan arti damai yang sejati: damai yang tidak lahir dari perang, dan tidak bergantung pada pinjaman. Tetapi itu pun masih sebuah utopia. Karena hari ini, bahkan utopia pun bisa dicicil lewat kredit.[]








