Malam lalu, kami sedang membicarakan perihal eksistensi puisi pada tubuh pengarang dan perkembangan wawasan ilmu pengetahuan yang didapati selama proses berlangsung. Bagaimana upaya puisi dipersepsikan pembaca sebagai penafsiran begitu bebas.
Seperti yang sering saya dengar di berbagai pembicaraan bahwa setiap karya puisi memiliki ruang tersendiri atau hubungan sangat terpisah.
Saya ingin merespon tentang upaya puisi sangat memiliki hubungan yang kuat dengan penyair, tentang pengalaman yang setiap kali didudukkan argumentasinya sebagai landasan mutakhir untuk menyublim keutuhan puisi yang direduksi atas ide dan gagasan penyairnya.
Kami membincangkan sampai jelang sahur dengan teman-teman, dan saya masih saja tetap kekeh dengan proses pengetahuan yang didapat dari pengalaman sama-sama memiliki hubungan, tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Sedikit menyinggung persoalan perkembangan filsafat modern sebagian besar dipengaruhi oleh adanya suatu reaksi keras terhadap aliran filsafat empirisme bahwa kebenaran pengetahuan hasil dari pengalaman, seperti yang disampaikan dalam buku filsafat ilmu dan logika karya Waston, sumber dari segala pengetahuan adalah pengalaman (empiris) dari pancaindra dan kulit.
Bahkan secara sosiologis manusia modern memposisikan diri sebagai identitas tunggal yang lahir atas otoritas kebudayaan dan lingkungan masyarakat, sehingga pengetahuan-pengetahuan mengalami perkembangan yang signifikan di kalangan tertentu untuk memberikan sepenuhnya kebenaran terhadap peristiwa yang terjadi.
Kembali lagi pada persoalan puisi, setidaknya pengarang memiliki hubungan yang kuat dengan perjalanan pengalaman dan ilmu pengetahuan. Apalagi kritis terhadap fenomena sosial dan budaya dan senantiasa merawat skeptis untuk tidak merasa kenyang terhadap situasi yang tidak cukup menentu.
Dua minggu lalu, saya mendapatkan notif dari Youtube Belantara Kata, ada puisi terbaru yang tayang di kanal Youtube tersebut dan sama sekalipun belum saya mengenali siapa pemiliknya dan berdomisli dimana.
Puisi Zakiyatur Rosyida yang berjudul Aku Melipatmu dalam Album. Saya mencoba memahami dengan sederhana pada dua bait yang berisi masing-masing empat baris: berbulan-bulan aku melipatmu dalam album/tapi hari ini/riwayat itu terlepas dan mengelupas/ia menatapku lekat-lekat/tergambar bayang melambai dari luar
Bait pertama Zakiya mencoba untuk membuka ulang ingatan-ingatan yang pernah dikumpulkan pada albumnya, entah apa yang sedang digambarkannya pada sebuah album tersebut, baik itu album foto maupun buku catatan hariannya yang beberapa hari disimpan itu. Namun, ada kejanggalan bagi saya, pada baris kedua yang berbunyi album terlepas dan mengelupas, sebenarnya ia juga tidak perlu memberikan tambahan kata mengelupas jika sudah ada terlepas. Karena segala yang terlepas itu sudah melalui proses ketidak-hubungan dari suatu hal ke hal lain.
Berlanjut pada baris selanjutnya, tiba-tiba ada bayangan melambai dari luar. Bagi saya baris keempat pada bait pertama kurang kuat, karena ia mencoba membicarakan perihal album, dan tiba-tiba sosok bayangan itu nampak dari luar rumahnya.
Sebenarnya ia ingin menggunakan kekuatan imajinasinya dalam bangunan unsur puisi, seperti bait kedua ini; bulir air hujan, sebatang anggrek putih, dan pohon kelapa yang tingginya tak seberapa tepat di halaman rumahku/semuanya mengatup padaku/lantas cahaya meredup dari sorot matamu
Memang membangun keutuhan puisi sangatlah pelik apalagi mencapai kesempurnaan dalam menampilkan wajah puisi itu sendiri, hanya gara-gara struktur kata yang kurang tepat sehingga menafikan hubungan dan makna begitu kurang efektif dalam membaca keseleruhan puisi itu sendiri.
Dan begitu figuratif maupun jelas struktur fisik pada puisi Zakiya tersebut, bait berikutnya menjelaskan tentang bagaimana album tersebut diasosiasi sebagai kenangan, entah itu perjalanan suatu hubungan percintaan, perjalanan karir, dan nasib.
Dan jelas sekali pada bait berikutnya, bahwa puisi ini mencerminkan sebagai seseorang yang pernah ada dan perlahan susut dalam ingatanya. /kaca jendela tak luput dari uap gerimis/di antara butiran debu yang menyelimuti/kala kemarau memanjang sebelum tiba musim penghujan/tak ada lagi senyum manis, murung, atau pucat pasi yang terlukis/di luar jendela, perlahan wajahmu menyusut dan tak lagi mengintip/senyatanya namamu telah mengabur buram dalam napasku/jauh;/jauh sebelum album itu jatuh menyibak seluruh kenangan masa lalu_
Pada ulasan puisi kali ini saya sedang tidak membanding-bandingkan pada proses kekaryaan satu dengan lainnya, misal kita membaca puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul: ‘Kenangan’.
KENANGAN
ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang
tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci
ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik
Puisi Sapardi tersebut memang tersusun begitu biasa, ia menggunakan kemampuan berbahasa yang begitu berbeda dengan lainnya. Namun, puisi-puisi Sapardi mampu memengaruhi sebagian pembaca milenial bahwa proses mengarang puisi tidak segampang itu walaupun ia kerap sekali mengarang puisi yang begitu dekat denan kehidupan sehari-hari.
Ia mencoba untuk membicarakan persoalan masa lalu yang sama sekalipun tidak layak untuk selalu diingat-ingat. Karena masa lalu hanyalah sebatas perjalanan yang terkadang sebagian orang-orang sulit menerima atau memaafkan.
Saya menemukan beberapa keunikan yang dimiliki oleh Sapardi dalam menulis puisi, dengan citra pendengaran dan majas metafora membuat struktur puisinya nampak memberikan ruang segar bagi pembaca dan penikmatnya, misal pada baris; /di laci meja dan menguncinya. Baris tersebut merupakan majas metafora. Berlanjut pada baris; /tak didengarnya lagi suara air mulai mendidih/ baris tersebut ia memberikan citra pendengaran yang cukup maksimal.
Terkadang dalam menemukan sisa nasib puisi yang selama proses kepengarangan ada yang langsung jadi, ada pula yang masih sulit diterima diri sendiri dan orang lain, bahkan puisi yang bisa diterima secara umum hasil dari ketidaksengajaan penyair.
Baik, siapa pun berhak menulis puisi, saya sedikit saja menulis ulasan ini, dengan upaya sebagai ruang belajar, membaca dari beberapa saja sudut pandang mengenai puisi. Saya juga tidak mempersoalkan puisi bagus dan jelek. Namun, bagaimana puisi itu dibangun bukan hanya sebatas ide dan gagasan, tapi kemampuan berbahasa yang menitikberatkan pada gaya ungkap yang mampu mendorong proses kekaryaan bisa maksimal.