Kala penulis mengajar Mata Kuliah Jurnalistik di Kelas 7 D, C, dan B, Sabtu (16/9/23) ada pertanyaan unik yang coba penulis lontarkan kepada mahasiswa.
Pertanyaan penulis tersebut adalah apakah masih ada yang menulis catatan harian? Jawaban sementara hanya diam, saling senyum kepada sesama.
Kala penulis ubah pertanyaannya, kapan terakhir menulis catatan harian (diari)? Ada yang menjawab tahun 2020 yang lalu. Ada pula yang menjawab akhir Desember 2022. Bahkan ada yang sudah pensiun dini kala MTs/SMP, MA/SMA serta SMK.
Mengapa penulis menyisipkan item pertanyaan tersebut dalam Makul Jurnalistik? Bagi penulis kita perlu belajar sedikit bila Jurnalistik menurut Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat (2012:15) memiliki akar kata Journal (Perancis) atau Diurnalis (Latin) yang berarti catatan harian; atau catatan mengenai kejadian sehari-hari; hingga bermakna suratkabar.
Sehingga Jurnalistik menurut Curtis D. MacDougall dalam Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa.
Dalam istilah lain, Rahmat Patuguran dan Saroni Asikin (2020:5) mengartikan Jurnalistik sebagai aktivitas menghimpun, mengolah dan menyebarluaskan informasi.
Dikarenakan Jurnalistik memiliki akar kata Journal yang bermakna catatan harian tersebutlah, bagi penulis mahasiswa yang ingin belajar Jurnalistik kudu memiliki kemampuan menulis yang konsisten.
Konsistensi menulis sederhana dan dekat yang penulis maksud adalah, selalu mengabadikan momen yang terjadi pada dirinya sendiri melalui catatan harian. Bisa dalam coretan kertas, melalui gadget, atau laptop hingga personal computer (PC) yang dimiliki.
Manfaat Diari
Perlu diketahui menulis catatan harian yang dalam KBBI disebut diari memiliki manfaat tersendiri. Pertama, mudahkan penuangan ide menulis. Mudah menulis yang penulis maksud, melalui catatan harian yang dibuat setiap hari, itu jadi pintu awal meminjam bahasa Dan Poynter dalam Bambang Trim (2011:21) yang dikenal sebagai Goodfather of Self-Publishing Amerika sebagai “proses” yang memudah penuangan ide tulisan muncul.
Sebagaimana kita ketahui, proses untuk menghasilkan tulisan tidak terjadi secara ujug-ujug (tiba-tiba) begitu saja. Untuk bisa merampungkan tulisan, lalu jadi penulis -pemula hingga profesional- kudu berproses.
Kita perlu tahu pula, bila kebiasaan menulis yang langka atau jarang dilakukan bisa membawa implikasi nyata. Yakni saat akan mengawali menulis, yang muncul adalah kebingungan.
Kata apa yang akan ditulis pertama? Dari pembahasan mana dahulu disajikan? Hingga perasaan bingung sendiri akibat tidak kunjung nongol kata awal pembuka menulis. Alhasil, karya tulispun tidak akan dihasilkan bila sudah begini.
Hal itu berbeda manakala kita terbiasa menulis catatan harian dari peristiwa terdekat yang kita alami. Peristiwa terdekat yang terjadi pada kita adalah ide sederhana dan terdekat untuk ditulis. Alhasil, apa yang telah terjadi adalah peristiwa yang mahal untuk biarkan begitu saja.
Bila kepada hal-hal kecil yang terjadi pada kita saja kita open, logika sederhana berikutnya tentu aneka peristiwa yang ada disekitar sebagai misal melihat orang tua rentah namun masih mengayun becak guna mencari nafkah keluarga; perayaan karnaval hingga pengajian, perlombaan dalam rangka memperingati Kemerdekaan RI; serta bentuk peristiwa yang tersaji di medsos akan menjadi bahan ide tulisan yang tidak habis untuk ditulis.
Jika demikian, kebiasaan menulis catatan harian sesungguhnya bisa membentuk kepekaan sosial sejak dini berwujud ide, ide, dan ide tulisan yang menarik untuk ditulis. Sehingga, tidak ada lagi kala mau menulis “kebingungan ide” atau “tidak memiliki ide”.
Kedua, menyehatkan jiwa. Perlu kita ketahui bila kebiasaan menulis itu menyehatkan jiwa. Sebagai bukti, salah satu penulis bernama Afifah Afra dalam bukunya Be A Brilliant Writer (2011:54-55) menjelaskan pengalamannya “marah” kepada seseorang.
Kemarahan yang dialami itu membuat kepalanya berdenyut kencang lalu terasa pusing. Afifah menjelaskan, bila saat “marah” tersebut yang dipegang adalah gelas, barangkali barang pecah belah itu akan menjadi kepingan yang tidak bermakna karena sudah dibanting.
Hanya saja, yang Afifah lakukan tidaklah itu. Kala “marah” ia mengambil buku diari, kemudian menggoresinya dengan ujung pena hingga letupan kemarahan mulai dari air mata yang mengucur desar, emosi yang meletup-letup kala membahasakan kemarahan menjadi nyesss begitu selesai menulis.
Artinya apa, kemarahan yang telah terluap melalui tulisan meruntuhkan api kemarahan dihatinya berganti guyuran sumber air dingin. Unik lagi, ungkap Afifah, kala tulisan tersebut dibaca ulang tulisan tersebut, yang tersunggung di bibirnya justru sebuah senyuman.
“Masya Allah, betapa kekanak-kanakan dirinya saat itu,” paparnya.
Berdasar hal di atas, menulis ternyata menyehatkan mental. Bila masih penasaran, coba baca buku mantan wartawati Naning Pranoto berjudul Writing for Therapy (2015:xvii) yang menyebutkan bila menulis itu punya fungsi katarsis atau media ampuh menumpahkan segala uneg-uneg, apa saja yang mengganjal hati, tertimbun di alam bawah sadar, yang kesemuanya itu membikin hidup tidak tampil nyaman.
Dengan membuang bagaimana rasa tidak nyaman itu dengan gampang dan amat sederhana ke dalam kata, kalimat dan paragraf hal itu cara paling sederhana memulihkan gangguan jiwa.
Apalagi pada halaman 29, Naning menyebut bila menulis yang ada beberapa level, mulai dari exspressive writing, free writing, life writing, dan fun writing.
Ketiga, melahirkan karya buku. Bukti nyata, buku Happy Writing: 50 Kiat Agar Bisa Menulis dengan “Nyasyik” karya Andrias Harefa (2010:276) yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama adalah buku 38 yang lahir dari tulisannya yang diposting melalui laman facebook.
Setelah penulis membaca hingga hatam, setiap judul tulisan yang diposting melalui laman facebook-nya, juga disertakan komentar. Tidak ayal, berapun komentar yang ada setiap posting tulisan juga diikut sertakan sebagai feedback yang menarik dan menyuguhkan style berbeda konsep buku yang ditampilkan.
Terhadap hal di atas, sangat mungkin sekali dari catatan harian yang kita bikin bisa ditindak lanjuti menjadi buku. Karenanya, mari menulis agar ketiga manfaat sebagaimana penulis sebutkan di atas bisa diwujudkan. Amin ya rabbal ‘alamin.
Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah UNUGIRI.