“Alhamdulillah wasy Syukru lillah. Dini hari ini, Gusti Allah masih mengaruniai kesempatan menghirup hawa yang segar.” Demikian gumam pelan bibir saya, dini hari ini. Ya, dini hari ini, ketika dengan pelan jendela-jendela dan pintu-pintu saya buka semua. Lebar!
Itulah kebiasaan saya. Setiap dini hari. Sejak berpuluh tahun yang lalu. Kebiasaan yang saya teladani dari ayah saya, KH A.Z. Dahlan, seorang kiai di Blora, Jawa Tengah.
Ayah saya, setiap dini hari, sebelum mandi, shalat Tahajjud, dan menjadi Imam shalat di masjid pesantren, senantiasa membuka lebih dulu seluruh jendela dan pintu rumah. Sehingga, udara segar dan sehat memasuki seluruh sudut rumah.
Kemudian, seusai mandi, shalat Tahajjud, menulis dan melaksanakan shalat Shubuh, saya pun berdiri di balkon di rumah saya, di Baleendah, Kabupaten Bandung. Alam sekitar masih kelam, tapi sangat indah. Kadang, di sana sini terdengar suara ayam-ayam yang mengajak kita bertashbih: mengagungkan Allah. Udara dingin membuat suasana terasa sangat indah.
Dalam suasana dan keadaan demikian, entah kenapa dalam benak saya timbul pertanyaan, “Mengapa shalat Shubuh terdiri dari dua rakaat?”
Duh, ternyata, pertanyaan yang demikian itu lama tidak mau juga berlalu dari benak. Dari pada pening kepala, saya pun segera mencari jawabannya. Alhamdulillah, akhirnya, saya menemukan jawabannya.
Menjawab pertanyaan demikian, seorang ulama terkemuka asal Patani, Thailand, Syaikh Daud bin Syaikh Wan Abdullah bin Syaikh Wan Idris Al-Jawi Al-Fathani, dalam sebuah karyanya berjudul Munyah Al-Mushallî, mengemukakan jawaban yang menarik.
Menurut ulama yang lahir di kampung Parik Kerisek, Patani, Thailand pada Ahad, 1 Muharram 1183 H/7 Mei 1769 M tersebut, setiap shalat dari lima shalat wajib lima waktu memiliki kaitan yang erat dengan shalat yang pernah dilakukan para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw.
Nah, orang yang pertama-tama melaksanakan shalat Shubuh, menurut Syeikh Al-Fathani, adalah Nabi Adam a.s. Sang Nabi melaksanakan shalat tersebut selepas “diusir” dari surga, karena suatu kesalahan yang ia lakukan.
Lantas, ketika sang Nabi diturunkan ke Bumi dan pertama kali menyaksikan kelamnya Bumi pada saat malam, ia pun ketakutan, karena ia belum pernah menyaksikan pemandangan kelam seperti itu.
Kemudian, ketika fajar menyingsing, hatinya terasa damai dan tenang. Karena itu, ia pun segera melaksanakan shalat dua rakaat. Rakaat pertama sebagai rasa syukur karena ia telah melewati kelamnya malam yang membuat ia ketakutan. Sedangkan rakaat kedua sebagai rasa syukur atas kehadiran fajar yang membangkitkan rasa damai.
Demikian paparan menarik Syeikh Al-Fathani: guru sederet ulama Asia Tenggara. Paparan yang menarik!