Aipda Rawi atau AIPDA RAWI, sejauh ini hanya dikenal sebagai istilah nama jalan dan lapangan. Padahal, ia adalah sosok pejuang kemerdekaan.
Nabs, tercatat dalam sebuah “tinta emas” sejarah, bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Ngasem dilakukan Aipda Rawi. Sebuah nama yang tak asing bagi masyarakat Ngasem dan Bojonegoro pada umumnya.
Di Kecamatan Ngasem, nama Aipda Rawi diabadikan sebagai nama jalan di sekitar perempatan Ngasem ke selatan, bahkan di Desa Trenggulunan didirikan sebuah Monumen/Tugu yang memperingati perjuangan Aipda Rawi yang letaknya di sebelah barat jalan.
Sedangkan di Bojonegoro, nama Aipda Rawi diabadikan sebagai nama Markas Kesatrian Brimob Bojonegoro. Terlepas dari banyak dan familiarnya nama Aipda Rawi di Ngasem dan Bojonegoro, namun terlintas sebuah pertanyaan sederhana, siapa dia? dan bagaimana perjuangannya?
Tulisan ini hendak mengurai secara singkat tentang siapa AIPDA RAWI serta bentuk perjuangannya. Tujuannya pun sederhana, hanya supaya kita tidak terlegitimasi oleh “abu sejarah” belaka, namun juga melihat dan menilik “api sejarah” di dalamnya.
Sehingga jika terdengar nama Aipda Rawi tidak serta merta sebuah jalan, tugu, ataupun Markas Brimob yang kita tahu, melainkan kita juga tahu nilai-nilai perjuangan dari AIPDA RAWI yang semoga dapat dihayati dan diterapkan oleh pemuda plus pemudi Ngasem dan Bojonegoro pada umumnya dengan harapan semoga “AIPDA RAWI-AIPDA RAWI” baru tumbuh dan berkembang di bumi Ngasem dan Bojonegoro.
Nabs, masa kecil AIPDA RAWI tidak berbeda jauh dengan anak-anak lain seusianya. AIPDA RAWI yang merupakan anak dari pasangan Ngadenan dan Ramlah dilahirkan sekitar tahun 1928 tepatnya di Desa Karangpacar, Bojonegoro.
AIPDA RAWI merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara, masing-masing saudaranya yaitu: Rasiyem, Saleh, Aminah, Rais, Rahmat, Ramli, dan Asini.
Ayah AIPDA RAWI yang bernama Ngadenan merupakan seorang kusir yang berasal dari Kalitidu, sedangkan ibunya yang bernama Ramlah bekerja sebagai penjual perlengkapan pertanian.
Sejak kecil, AIPDA RAWI terkenal memiliki kepribadian sebagai pekerja keras dan tanggung jawab, sehingga sangat sesuai dengan kedudukannya sebagai anak sulung yang dapat dijadikan teladan bagi adik-adiknya.
Pada tahun 1948 ibu AIPDA RAWI yang bernama Ramlah meninggal dunia, sehingga membuat ayahnya yang bernama Ngadenan menikah lagi dengan Sumi namun tidak memiliki keturunan.
Masa remaja AIPDA RAWI diawali dengan diselesaikannya pendidikan pada SR (Sekolah Rakyat) sekitar tahun 1945.
Sebelumnya AIPDA RAWI pernah bergabung dalam organisasi semi-militer pada zaman pendudukan Jepang yaitu seinendan dan keibodan.
Organisasi seinendan mensyaratkan bahwa yang dapat bergabung dalam organisasi ini yaitu remaja putra yang berumur 14 sampai 25 tahun. Organisasi ini langsung di bawah pimpinan syaiko sykikan (Panglima Angkatan Darat Jepang yang bermarkas di Jakarta).
Tujuan dibentuknya Seinendan adalah untuk mempersiapkan pemuda Jawa sebagai pasukan bantuan terhadap militer Jepang dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya melawan sekutu.
Oleh karena itu, dalam “menggembleng” pemuda-pemuda Jawa ini, latihan-latihan di seinendan diisi dengan latihan menggunakan senapan tiruan, simulasi penggunaan bambu runcing, serta budaya-budaya kedisiplinan militer khas Jepang.
Sedangkan di organisasi lainnya yaitu Keibodan, yang bertujuan untuk membantu tugas-tugas kepolisian berupa penjagaan ketertiban dan keamanan desa, AIPDA RAWI juga mendapatkan beberapa latihan keterampilan diantaranya: penjagaan dan penyelidikan terhadap berita yang menyebar, penjagaan bahaya udara, penjagaan pantai, serta penjagaan keamanan kampung.
Sehingga, latihan-latihan yang didapat, baik dari seinendan maupun keibodan berdampak pada kemampuan AIPDA RAWI dalam menjalankan tugas dan upayanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
AIPDA RAWI kemudian masuk menjadi anggota POLRI dan diterima mengikuti pendidikan polisi di Padangan, Bojonegoro selama lima bulan pada tahun 1946 dan menyandang pangkat Agen Polisi II. Kemudian pada tahun 1947, AIPDA RAWI ditugaskan untuk menjaga status quo daerah Lamongan membantu Batalyon Djarot, karena wilayah Bojonegoro belum masuk dalam rencana pendudukan Belanda pada agresi militer ke I.
Setelah itu, AIPDA RAWI yang masih berusia 19 tahun masuk sebagai anggota Mobil Brigade Karesidenan Bojonegoro dan mendapat pangkat Agen Polisi I. Selama menjadi anggota Mobil Brigade, AIPDA RAWI merupakan prajurit yang teladan dan bertanggung jawab, sehingga dia ditunjuk sebagai pemimpin seksi ketika terjadi perang gerilya melawan pasukan Belanda pada tahun 1949 dengan daerah operasi Kalitidu, Ngasem, Bubulan, dan Purwosari.
Inspektur Polisi Tingkat II R. Soeprapto yang merupakan Komandan Kompi Polisi Karesidenan Bojonegoro tertarik dengan kepribadian seorang AIPDA RAWI yang tegas dan bertanggung jawab, sehingga dia dinikahkan dengan putrinya.
Namun dari pernikahan ini, AIPDA RAWI tidak memiliki keturunan, karena istrinya yang akrab disapa “Nyai” mengalami keguguran setelah mengandung selama 4 bulan.
Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 berdampak luas apalagi ibukota Indonesia pada saat itu yakni Yogyakarta berhasil direbut oleh Belanda. Beberapa pemimpin Indonesia bahkan sempat diasingkan oleh Belanda dan untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pusat memberikan mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Di Bojonegoro, seluruh anggota kompi diperintahkan untuk melakukan perlawanan secara “Gerilya” dengan dibaginya anggota kompi menjadi 3 bagian, yaitu: Seksi I dipimpin oleh Komandan Polisi Abdul Rahman yang bertugas melaksanakan penghadangan terhadap pasukan Belanda di daerah Clangap, Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu.
Seksi II dipimpin oleh AIPDA RAWI yang melaksanakan penyerangan di daerah Kalitidu, Ngasem, dan Purwosari. Sedangkan Seksi III, dipimpin oleh Komandan Polisi R. Soedjono bergerilya sebagai pasukan penghadang di daerah Bubulan.
Pada Bulan Maret 1949, AIPDA RAWI ditunjuk sebagai pemimpin pasukan stroot troopen (pasukan penyerang) melakukan penghadangan di Jalan Raya Bojonegoro-Cepu di daerah Clangap, Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu dan berhasil menghancurkan satu truk milik pasukan Belanda. Namun kekuatan pasukan Belanda yang sangat kuat berhasil menyerang dan menduduki wilayah Kalitidu dan menyebabkan pasukan AIPDA RAWI menghindar hingga di daerah Ngasem.
Api perjuangan Di Desa Trenggulunan,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perjuangan AIPDA RAWI memang sangat erat berkaitan dengan wilayah Ngasem dan sekitarnya, sampai pada perjuangan terakhirnya untuk mengusir penjajah di Desa Trenggulunan.
Perjuangan sampai meninggal di Desa Trenggulunan inilah yang secara metafora dapat dikenang sebagai “Perang Puputan Trenggulunan”. Istilah “puputan” mengacu pada beberapa perang yang terjadi di daerah Bali, Banyuwangi, dan Lombok.
Dalam bahasa Bali istilah “puputan” berarti selesai, tamat, atau berakhir. Sehingga perang “puputan” berarti perang sampai akhir atau perang sampai titik darah penghabisan. Istilah inilah yang kemudian digunakan untuk memberikan sebuah penggambaran perjuangan AIPDA RAWI yang disebut sebagai “Perang Puputan Trenggulunan” yaitu, perang sampai titik darah penghabisan yang dilakukan di Desa Trenggulunan.
Melanjutkan dari cerita sebelumnya, setelah dibagi menjadi tiga seksi, seksi yang dipimpin oleh AIPDA RAWI juga melakukan patrol di Desa Wadang dan mengalami pertempuran dengan pasukan Belanda.
Karena merasa terjepit, AIPDA RAWI dan pasukannya mengungsi di sekitar Desa Kalitidu dan menemukan beberapa benda dari pasukan Belanda diantaranya: 1 Megazen peluru bren dan sepatu. Kekuatan yang tidak seimbang antara pasukan Mobil Brigade yang dipimpin oleh AIPDA RAWI, menyebabkan AIPDA RAWI dan pengikutnya mulai mengungsi ke selatan yaitu ke daerah Ngasem, karena wilayah Kalitidu sepenuhnya ada pada kontrol tentara-tentara Belanda.
Pusat komando kompi pun oleh AIPDA RAWI dipindahkan ke Desa Deling. Pada tanggal 9 Agustus 1949 siang, saat AIPDA RAWI, Komandan Polisi Abdul Rahman dan seluruh pasukannya sedang beristirahat di Desa Trenggulunan mereka menerima laporan dari masyarakat bahwa pasukan Belanda sedang menuju di Desa Trenggulunan.
Pada sore hari pasukan Belanda sebanyak 22 orang di bawah pimpinan Letnan Asmax bergerak melewati Desa Trenggulunan dan berpapasan dengan AIPDA RAWI serta pasukannya. Terjadilah pertempuran besar antara satu pleton pasukan AIPDA RAWI yang juga dibantu masyarakat sekitar dengan pasukan Belanda dengan senjata lengkap.
Dengan taktik perang gerilya-nya AIPDA RAWI mencoba memojokkan pasukan Belanda yang memang secara geografis tidak menguasai medan. Akan tetapi, dengan strategi pengepungan yang diterapkan oleh Belanda, maka justru pasukan AIPDA RAWI yang terjepit pada pertempuran yang kurang lebih berlangsung selama 30 menit ini. Bunyi tembakan dan ledakan mesiu pun tak terhindarkan bahkan hingga terdengar dari jarak beberapa kilometer.
Karena semakin terjepit dan serangan membombardir Belanda dari segala sisi, akhirnya dengan tembakan beruntun dari pasukan Belanda, AIPDA RAWI akhirnya gugur tepat di tempat yang saat ini telah dibangun Tugu Peringatan AIPDA RAWI. Sedangkan makam AIPDA RAWI berada di Taman Makam Pahlawan Jl. K.H. Hasyim Asy’ari Bojonegoro dengan nomor register 44.
Sebuah perjuangan panjang dan melelahkan dalam upaya untuk terus mengusir penjajah, karena “satu ucap pekik merdeka, berarti merdeka selamanya”. Nabs, barangkali begitulah makna perjuangan dari AIPDA RAWI dan pasukannya serta masyarakat sekitar di Kecamatan Ngasem dan Desa Trenggulunan khususnya.
Sebuah perjuangan yang akan terus terkenang sepanjang masa dan semoga esensi nilai-nilai perjuangan AIPDA RAWI dapat menjadi semangat kita semua untuk mau berkorban untuk bangsa dan negara sesuai kapasitas dan kemampuan kita. Terlintas harapan yang sederhana dari tulisan yang amat sederhana dan jauh dari kata sempurna ini, semoga jika kita melintasi Jalan AIPDA RAWI bahkan mengetahui Tugu peringatannya, kita sembari berpikir, “Di tempat inilah dulu para pejuang bangsa berjuang dan gugur dengan bangga membela tanah airnya” serta dapat memotivasi generasi muda khususnya di Kecamatan Ngasem dan Bojonegoro pada umumnya bahwa semangat dan pengorbanan para pahlawan inilah yang harus kita terapkan dan lanjutkan karena masa depan bangsa ini sepenuhnya ada di dalam genggaman kita semua.
Penulis merupakan Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya.